Efek Jera Pelaku Kekerasan pada Anak
- ANTARA/Muhammad Adimaja
VIVA.co.id - Vonis 10 tahun penjara terhadap tenaga pengajar Jakarta International School dalam kasus pelecehan seksual terhadap muridnya telah jatuh.
Meski vonis terhadap Neil Bantleman dan Ferdinand Tjong itu di bawah tuntutan jaksa (12 tahun), putusan pengadilan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, Nur Aslam, dianggap sebagai sebuah terobosan hukum.
"Putusan ini hendaknya menjadi peringatan bagi para pelaku lainnya untuk tidak berani-berani memikirkan, apalagi sampai melakukan kekerasan seksual terhadap anak," ujar Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, Jumat, 3 April 2015.
Saat pembacaan putusan dua terpidana itu, sempat terjadi dissenting opinion. Hakim ketua menghendaki keduanya dijatuhi kurungan 15 tahun penjara. Namun, akhirnya vonis menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan bagi keduanya.
Atas putusan tersebut, kepada VIVA.co.id, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni'am Sholeh juga mengapresiasi vonis hakim.
Tapi, yang jadi pertanyaan, sepadankah hukuman itu? Barangkali, 10 tahun merupakan waktu yang pendek dibanding trauma yang harus diderita korban sepanjang hidupnya. Dan, adakah jaminan setelah masa hukuman habis, pelaku tak akan mengulang perbuatannya?
"Sodomi dan pencabulan terhadap anak-anak merupakan kejahatan yang sangat besar dan tidak bisa dimaafkan, karena bisa berefek panjang bagi psikologi anak," tutur Asrorun.
Maka akan terdengar wajar bila Majelis Ulama Indonesia (MUI) mewacanakan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan seksual.
"Penyimpangan seksual seperti gay, lesbian, sodomi, dan pencabulan merupakan haram, bentuk kejahatan keji serta mendatangkan dosa besar dan bisa dihukum mati," ujar Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin AF, saat mengumumkan beberapa fatwa di Gedung MUI, Jakarta awal pekan ini.
Hasanuddin meminta pemerintah serius memperhatikan kejahatan penyimpangan seksual. Selain dapat merusak moral bangsa, perilaku seks menyimpang juga sebuah tindakan kejahatan.
Kejahatan seksual meningkat
Melansir data yang diolah Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak, setidaknya setengah dari 21.689.797 pelanggaran hak anak merupakan kasus kejahatan seksual.
Masih menurut data yang dirilis pada November 2014 itu, persentase kekerasan seksual pada anak terus meningkat. Pada 2012, kejahatan seksual mencapai 41 persen dari 2.637 kasus kejahatan pada anak.
Kasus kejahatan seksual itu kembali meningkat pada 2013. Persentasenya mencapai 60 persen dari total kejahatan pada anak. Sementara itu, hingga pertengahan tahun 2014, sekitar 60 persen dari 1.039 kasus merupakan kejahatan seksual pada anak.
Data tersebut belum termasuk kasus-kasus pelecehan seksual, khususnya pada anak, yang terjadi belakangan ini. Hampir tiap hari orang membaca atau melihat berita tentang pelecehan seksual.
Yang lebih ironis, makin banyak tenaga pengajar menjadi pelaku pelecehan seksual. Selain kasus JIS, belakangan ini banyak muncul pelaporan kekerasan seksual di sekolah.
Siswi SD di salah satu sekolah internasional di Jakarta, HighScope Indonesia melapor telah jadi korban pelecehan seksual. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Martinus Sitompul, mengaku masih memeriksa barang bukti dan keterangan saksi-saksi.
Menanggapi kasus ini, HighScope mendukung penuh kepolisian. "Saat ini SHI mendukung proses penyelidikan yang sedang berlangsung dan menunggu hasil visum pihak polisi sebagai pihak berwenang," tulis Chief of Academic Operations Sekolah HighScope Indonesia, Jossy Soenarjo.
Kasus pelecehan juga terjadi di Banten. Tepatnya, di Desa Sukanegara, Kecamatan Gunung Kencana, Kabupaten Lebak. Seorang kepala sekolah berinisial DS diduga mencabuli lima pelajar kelas satu dan dua sekolah dasar.
Dayat, Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Sukanegara mengatakan, pencabulan itu dilakukan pelaku dengan memberi uang Rp2-4 ribu pada korban. Saat ini, pelaku diamankan di Mapolsek Gunung Kencana.
Itu baru beberapa contoh saja. Masih banyak daftar pelaku kejahatan seksual lainnya yang terjadi di Indonesia. Entah itu melibatkan ayah ke anak, saudara, tetangga, dan sebagainya.
Orang dekat
Dari pola kejahatan seksual pada anak, hampir semua pelaku dan korban saling mengenal. Antara pengajar dan siswa, orang tua dan anak (kandung maupun angkat/tiri), atau tetangga dekat.
Ketua KPAI, Arist Merdeka Sirait membenarkan fakta tersebut. Menurut dia, para pelaku kekerasan seksual pada anak lebih memilih orang-orang yang dikenal sebagai korban. Setidaknya, mereka harus mengenal para korbannya.
Sayangnya, banyak korban kekerasan seksual enggan melapor. Para korban, terutama keluarga, menganggap musibah itu sebagai aib.
Ketua LPSK, Abdul Harris Semendawai menduga korban maupun saksi mengalami tekanan-tekanan saat akan mengungkapkan kasus yang mereka alami.
"Apalagi, tindak pidana yang melibatkan anak, biasanya dilakukan oleh kelompok atau disebut sebagai kejahatan terorganisasi," ujar Semendawai.
Ini mengakibatkan kejahatan seksual, utamanya pada anak, terus berulang dan terjadi di antero Indonesia. "Kemudian, penegakan hukum sangat rendah. Banyak pelaku dihukum ringan. Bahkan malah ada yang bebas, sehingga kasus pelecehan seksual anak terus bermunculan," Arist Merdeka menimpali.
Yang dikatakan Arist bukanlah tanpa fakta. Sebab, sejauh diketahui, hingga saat ini belum ada pelaku kejahatan seksual (murni) yang dijatuhi hukuman berat.
Indonesia memang pernah menjatuhi hukuman mati pelaku sodomi, Ciswanto alias Robot Gedek. Namun, yang memberatkan Robot Gedek adalah kasus pembunuhan dan mutilasi. Bukan kekerasan seksualnya.
Mungkin baru kali ini pelaku kejahatan seksual pada anak dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Tapi memang, yang namanya putusan pengadilan selalu mengandung "ketidakadilan" bagi pelaku maupun korban.
Meski begitu, layak berharap vonis 10 tahun penjara pengajar JIS, bisa menangkal ulah para penoda tunas bangsa. Semoga.
![vivamore="Baca Juga :"]
Baca liputan mendalam lainnya
[/vivamore]