Orang Rimba Kini Memakan Dewanya

CAKRAWALA TOPIK KITA ANTV : Suku Kubu di Persimpangan Jalan
Sumber :
  • ANTV

VIVA.co.id - Keberadaan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam Jambi terancam. Kelaparan kini jadi hantu menakutkan bagi mereka. Hutan yang menjadi sumber kehidupan, sudah tak lagi menyediakan banyak makanan dan air. Beralih fungsi, jadi hamparan kebun kelapa sawit.

Sejak Desember 2014, sudah 11 Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas meninggal akibat kelaparan. Mereka berasal dari Kelompok Terap yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal, dan kelompok Serenggam yang dipimpin Tumenggung Nyenong.

"Sungguh ironis, mereka kelaparan karena perbuatan dari saudara mereka sendiri yang membabat habis hutan tempat mereka mencari makan," ujar aktivis Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, Kamis 12 Maret 2015.

Kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari dengan enam kasus kematian, yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa.

Menurut Fasilitator Kesehatan KKI Warsi, Yomi Rivandi, dugaan sementara kasus kematian beruntun pada Orang Rimba disebabkan karena kesulitan untuk mendapatkan pangan yang layak, serta ketersediaan air bersih.

"Hutan semakin sempit, sehingga Orang Rimba tidak lagi melangun ke dalam hutan, namun ke pinggir-pinggir desa dan ladang masyarakat. Tentu saja di kawasan ini akan sedikit bahan pangan yang biasa didapatkan Orang Rimba dari berburu dan meramu hasil hutan," kata Yomi.

Melangun adalah tradisi berpindah-pindah tempat bagi warga Suku Anak Dalam. Jika ada anggota keluarga Suku Anak Dalam meninggal dunia, maka mereka akan pergi meninggalkan tempat tinggalnya ke tempat lain.



Ritual adat ini dijalankan untuk mengekspresikan kesedihan, membuang sial ketika ada kematian dengan pergi jauh meninggalkan tempat tinggal asal ke tempat baru untuk jangka waktu yang cukup lama. Namun, selama melangun itu, ada saja anggota kelompok mereka yang sakit.

Pengobatan tradisional yang biasa mereka gunakan sudah tidak ada lagi, karena keterbatasan tanaman obat di lokasi baru. Begitu juga bahan makanan, sudah sangat terbatas. Akhirnya, mereka sakit dan meninggal.

"Ketika melangun, pasokan makanan kurang, menyebabkan daya tahan tubuh berkurang, sehingga banyak yang sakit. Sebagian ada yang mencoba berobat ke rumah sakit terdekat, seperti Sarolangun. Namun karena belum ditanggung BPJS mereka harus membayar. Akhirnya memilih tak mau dirawat dan banyak yang meninggal dunia," kata Yomi.

Untuk bertahan hidup, berbagai cara mulai ditempuh. Orang Rimba banyak yang terpaksa keluar hutan mencari makan. Bahkan dalam beberapa hari terakhir, terlihat orang-orang Suku Anak Dalam sudah memenuhi jalan-jalan di Kota Jambi. Padahal, jarak dari hutan mereka tinggal ke Kota Jambi sangat jauh, ratusan kilometer.

Mereka mengemis dari toko ke toko yang berada di pinggiran jalan untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan makan. Orang Rimba yang kebanyakan perempuan, sambil menggendong anaknya, menyisir jalan berharap bantuan.

Sebelum turun ke jalan, Orang Rimba yang berasal dari Kecamatan Singkut, Sarolangun, dan Pamenang, Kabupaten Merangin, serta dari Desa Tanjung, Kabupaten Bungo, masih bertahan hidup dengan menjual hasil hutan di pinggiran hutan tempatnya tinggal.

Tapi, sumber makanan di hutan sudah kritis. Mereka terpaksa mencari cara lain untuk tetap hidup. Padahal, sebelum hutannya rusak, Suku Anak Dalam hidup berlimpah makanan. Hidup mereka kini menyedihkan.

"Krisis pangan akibat hutan tempat mencari makan bagi mereka telah punah, dijadikan lahan perkebunan skala besar. Kondisi ini memaksa Orang Rimba mencari makan dengan cara apapun agar tidak mati kelaparan," ujar Ade Chandra, Koordinator Project KKI Warsi.

Makan harimau

Hutan belantara Jambi yang dulunya banyak menyajikan makanan, kini sudah tidak lagi. Untuk mendapatkan seekor rusa pun rasanya sulit. Padahal, dahulu belantara hutan Jambi adalah surga makanan bagi Suku Anak Dalam.

Tak cuma keluar hutan, untuk bertahan hidup mereka bahkan nekat berburu Harimau Sumatera. Hewan pemangsa yang buas itu terpaksa menjadi santapan Orang Rimba.

"Harimau adalah dewa bagi mereka, tapi sekarang terpaksa dimakan agar tetap bisa hidup," kata Robert Aritonang.

Sebelumnya, tiga pemburu yang tertangkap Kepolisian Resor Sarolangun, mengaku mendapat daging dan kulit Harimau Sumatera dari Suku Anak Dalam. Tiga pemburu ini mengatakan daging yang didapat dari Orang Rimba itu akan dijual ke pasar tradisional.

"Kami ini hanya membeli saja. Mereka yang memburu harimau itu," kata salah satu tersangka berinisial TH, saat menjalani pemeriksaan di Polres Sarolangun, Senin 23 Februari 2015.

TH menuturkan, dia dan kedua rekannya, KJ dan FT tidak memiliki keberanian untuk memburu Raja hutan itu. "Yang berburu itu orang kubu, kita tidak berani berburu harimau," ujar TH.

Saat ditangkap, polisi menemukan belasan kilogram daging Harimau Sumatera beserta kulitnya yang digulung dan siap dibawa untuk dijual. Daging harimau ditemukan dalam kondisi terpotong-potong kecil.

Beberapa waktu sebelumnya, Polisi Hutan dan TNI Angkatan Darat juga menemukan seekor Harimau Sumatera yang dibunuh dan dijadikan santapan oleh warga Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin, Jambi.

Petugas menemukan belasan warga Suku Anak Dalam sedang menyantap daging harimau. Potongan tulang dan kulit harimau yang masih utuh juga ditemukan di lokasi.

Pihak pemerhati berharap ada penanganan segera dari pemerintah untuk mengantisipasi bertambahnya jumlah Orang Rimba yang meninggal akibat kelaparan. Sumber makanan maupun kondisi kesehatan Orang Rimba harus menjadi perhatian.

Janji pemerintah

Dodi, relawan dari sekolah rimba yang biasa membantu masyarakat Suku Anak Dalam, berharap pemerintah mencari cara yang tepat untuk melindungi Suku Anak Dalam. Saat ini masyarakat Suku Anak Dalam menghadapi masalah yang kompleks.

"Lahan mencari makan semakin terbatas, lahan mereka diambil, mereka terkurung oleh kebun sawit. Di hutan pun mereka terbatasi oleh peraturan zonasi hutan lindung," kata Dodi di kantor Kementerian Sosial, Jakarta, Rabu 11 Maret 2015.

Pemerintah menjanjikan program hunian tetap untuk memastikan warga Suku Anak Dalam terdaftar di kartu penduduk. Selama ini Suku Anak Dalam dikenal suku nomaden atau berpindah-pindah.

"Mereka tidak dapat makanan karena kemarau, berpindah-pindah, kelelahan, sakit, tidak dapat pelayanan kesehatan," kata Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa.

Khofifah menjelaskan bahwa selama ini Suku Anak Dalam belum terdaftar di Komunitas Adat Terpencil (KAT) di bawah binaan Kementerian sosial. Mereka berada di bawah tanggung jawab pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Provinsi Jambi.

Kementerian Sosial, kata Khofifah, akan memberi pendampingan dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk segera mendaftarkan Suku Anak Dalam ke dalam KAT.

Direktur Jenderal Perlindungan Sosial dan Kemiskinan Kementerian Sosial, Hartono Laras, mengatakan bahwa program hunian tetap merupakan implikasi dari Peraturan Presiden Nomor 186 Tahun 2014 tentang pemberdayaan masyarakat terpencil.

Dengan program hunian tetap, Suku Anak Dalam akan mendapatkan kartu-kartu perlindungan sosial dari Kementerian Sosial.

"Pendekatan utama dengan sistem hunian. Karena nomaden, mereka kami upayakan dapat kartu-kartu itu supaya lebih mudah mendeteksi mereka,” ujar Hartono.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, berjanji akan memberi perhatian khusus terhadap persoalan semua Suku Anak Dalam yang ada di Indonesia.

"Sesuai dengan pesan Presiden Joko Widodo, bahwa sudah seharusnya hutan memberi kesejahteraan bagi rakyat," ujar Siti Nurbaya, Rabu, 11 Februari 2015.

Siti menegaskan, beberapa solusi yang bisa ditempuh oleh kementeriannya sesuai kewenangannya, yaitu dengan pola enclave untuk Suku Anak Dalam di Taman Nasional dengan zona tradisional untuk pergerakan Suku Anak Dalam, dan pola kolaborasi Suku Anak Dalam dan taman nasional untuk sarana dan prasarana.

"Selain itu juga akan dibangun pola kemitraan bersama swasta pemegang izin yang ada di sekitar kawasan," ujar Siti.

Menteri Siti berjanji akan membawa masalah ini melalui pembahasan di Tim Pengaduan Masalah Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dipimpin Deputi Penataan Hukum LH dan Irjen Kehutanan serta beranggotakan unsur-unsur Walhi, AMAN, Epistema, Institut Ecosoc, Huma serta unsur LSM kebijakan publik.

Yang lebih penting, kata Siti, adanya kejelasan untuk masyarakat menyampaikan pengaduan kepada pemerintah dan memantau penyelesaiannya.

"Pemerintah akan hadir di tengah rakyat, sesuai janji Presiden Jokowi dalam sistem pemerintahannya sekarang," kata Siti.
 
Berdasarkan data Kementerian Sosial, kini ada sekitar 228 ribu kepala keluarga KAT di 28 provinsi, dan 78 ribu kepala keluarga sudah diberdayakan sistem hunian.

Untuk Suku Anak Dalam, berdasarkan data sementara Kementerian Sosial, berjumlah sekitar 156 kepala keluarga yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.

Bayu Alfarizi/Jambi

![vivamore=" Baca Juga :"]
[/vivamore]