Modifikasi Cuaca, Efektifkah Hadang Banjir?
- FOTO ANTARA/Andika Wahyu
VIVA.co.id – Banjir yang melanda beberapa hari belakangan ini menimbulkan kembali wacana yang telah lama didengungkan, yaitu menggunakan teknologi modifikasi cuaca untuk menghadang banjir besar.
Sayangnya, tidak mudah menerapkan aplikasi itu dan banyak hal yang harus diperhatikan, mulai dari efektivitas, biaya, sampai dampak yang ditimbulkan.
Rencana ini kembali menyeruak, setelah pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), melalui Kepala Bidang Pengkajian Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan, UPT Hujan Buatan BPPT, Tri Handoko Seto, menyarankan modifikasi cuaca untuk mengurangi intensitas hujan yang berujung pada potensi pencegahan banjir.
Namun, ternyata rencana ini dianggap tidak efektif bagi beberapa pengamat dan institusi.
Pengamat Tata Kota, Yayat Supriyatna, kepada VIVA.co.id, Selasa 10 Februari 2015, mengatakan butuh waktu dan effort yang lumayan besar untuk menerapkan hal ini dan sifatnya hanya periodik. Sedangkan yang dibutuhkan Jakarta, untuk menanggulangi banjir adalah penanggulangan untuk jangka waktu panjang.
“Tanggal 12-14 Februari, curah hujan akan kembali tinggi. Ini yang harus diantisipasi pemerintah dengan mempersiapkan segala sesuatunya, agar tidak terulang lagi banjir besar seperti saat ini. Pompa harus dipersiapkan dengan baik, jangan sampai mati, lalu menyalahkan PLN. Modifikasi cuaca juga tidak akan efektif. Kita belum bisa memprediksi cuaca dengan tepat, sedangkan modifikasi cuaca dilakukan dalam waktu yang lama sebelum hujan turun,” ujar Yayat.
Yang dibutuhkan itu, kata Yayat, adalah upaya penanggulangan jangka panjang dengan pemetaan dan perbaikan infrastruktur. Drainase yang kurang, sehingga saluran tersier lebih rendah dengan saluran penghubung dan tidak bisa terbuang ke saluran makro.
Belum lagi, tambahnya, beberapa daerah yang mengalami penurunan permukaan. Dan, yang perlu diingat, adalah pembangunan gedung secara besar-besaran. Inilah yang membuat banjir semakin luas tiap tahun dan tidak terbendung.
Sama halnya dengan Yayat, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain, mengatakan bahwa bencana banjir tersebut tidak bisa dilakukan dengan pendekatan satu aspek saja, melainkan perlu pendekatan multi aspek.
Menurut dia, modifikasi dan teknologi cuaca itu bukan menjadi faktor utama, melainkan harus adanya pembangunan infrastruktur, misalnya drainase, sumur resapan, dan ruang terbuka hijau.
“Indonesia tidak memiliki teknologi modifikasi cuaca. Teknologi itu hanya dipergunakan untuk menanggulangi bencana yang berdampak kerugian dan korban yang besar. Banjir tidak termasuk. Amerika Serikat dan Eropa sangat membutuhkan modifikasi cuaca, karena sering terjadi tornado di wilayah itu,” ujar Iskandar kepada VIVA.co.id.
Dampak modifikasi cuaca
Dalam modifikasi cuaca, yang diperkirakan memakan biaya Rp20 miliar ini menggunakan pesawat yang akan menyebar senyawa bernama silver iodide. Senyawa itu, disinyalir bisa membuat kualitas air menjadi buruk dan berujung pada cacat temporer pada biota laut, mamalia, hingga manusia.
Dilansir melalui laman EcoEarth, konsentrasi Iodide pada proses rekayasa cuaca diperkirakan mencapai 100 kali lebih banyak dibanding kadar normal. Harusnya, kandungan Iodide sekitar 0,1 mikrogram per satu liter air. Public Health Service di Amerika memberikan standar Iodide dalam air sekitar 50 mikrogram yang dianggap masih dalam kadar aman.
Namun, Weather Modification Association (WMA) membantah hal ini. Menurut mereka, Iodide, senyawa dengan rumus kimia AgI, tidak memiliki pengaruh berbahaya terhadap lingkungan. Iodide perak biasanya dikomersilkan dalam bentuk bubuk dengan kombinasi beberapa senyawa kimia. Kebanyakan adalah garam dan sering digunakan sebagai glaciogenic.
Silver Iodide dipastikan sebagai senyawa yang larut dalam air. Artinya, satu gram senyawa itu dicampur satu gram air, maka sepersemilar gram Iodide akan larut dalam air, meski sisanya tidak akan larut.
“Karena itu, dalam proses modifikasi cuaca, kami hanya menggunakan Iodide dalam jumlah kecil. Untuk kepentingan personal, seperti menahan hujan untuk pesta luar ruangan, hanya butuh Iodide 5 - 25 gram saja. Sedangkan untuk kepentingan wilayah, untuk menanggulangi bencana cuaca, bisa sampai beberapa kilogram per jam, disemai dari pesawat. Namun, itu tergantung pada besarnya wilayah yang ditargetkan. Lagi pula, sejumlah kecil AgI yang disemai bisa menghasilkan banyak sekali Kristal es sehingga tak perlu banyak,” tulis WMA.
Namun, perubahan atmosfir sudah pasti akan terjadi. Awan yang seharusnya menurunkan hujan di wilayah yang membutuhkan harus menjadi kering, karena dimodifikasi untuk menghalau hujan di wilayah lain. Begitu juga sebaliknya.
Dalam sejarahnya, pada 4-15 Agustus 1953, sebuah projek bernama Operation Comulus dilakukan oleh British Royal Air Force dan ilmuwan barat untuk memodifikasi cuaca. Namun, proyek itu berakhir dengan banjir besar-besaran dan menewaskan banyak orang di wilayah Devon.
Kendati demikian, ke depan, teknik modifikasi cuaca ini akan sangat dibutuhkan, seiring dengan semakin gencarnya perubahan iklim di masa depan, dampak dari pemanasan global.
Menurut PBB, dua per tiga dari seluruh dunia akan menderita kekeringan pada 2025 nanti. Times of London, bahkan menulis bahwa Yaman akan menjadi negara pertama yang kekurangan air dalam kurun 10 tahun ke depan, atau lebih cepat jika populasi di wilayah itu tumbuh drastis.
***
Cara Kerja Modifikasi Cuaca
Menurut sejarah yang dipaparkan WMA, modifikasi cuaca sejatinya ditemukan sejak 1946. Namun, kala itu digunakan untuk peperangan. Amerika memodifikasi cuaca, saat ingin menyerbu Ho Chi Minh di perang Vietnam pada 1967.
Sedangkan Rusia, menebar senyawa di awan Belarus pada 1986, untuk menghadang penyebaran radioaktif sampai ke Moskow, akibat bencana nuklir Chernobyl.
Namun, sejak 1978, modifikasi cuaca dilarang digunakan untuk perang dan hanya diperbolehkan untuk tujuan damai. Seperti Tiongkok yang mencegah hujan untuk melancarkan perhelatan Olimpiade Beijing 2008, dan perayaan 60 tahun partai komunis berkuasa di 2009.
Modifikasi cuaca digunakan untuk mengurangi banjir dan kekeringan, melenyapkan asap kebakaran hutan, dan mengubah cuaca untuk kepentingan perayaan, atau penerbangan pesawat.
Materinya terbagi menjadi dua kategori, pembentuk es (glaciogenic) yang terdiri dari es beku, propan cair yang telah dipadatkan, dan karbondioksida. Sedangkan pemicu air (hygroscopic) menggunakan garam, urea, dan ammonium nitrat.
Untuk mencegah banjir di Jakarta, kata Tri Handoko, mengacu bagaimana hujan terjadi. Hujan akibat awan yang tumbuh di Jabodetabek, dan awan yang di luar Jabodetabek, tetapi bergerak ke Jakarta dan akhirnya bisa menyebabkan hujan.
Maka metodenya, jelas dia, untuk awan di Jabodetabek, pertumbuhannya diganggu dengan memberikan partikel halus dalam jumlah besar, menggunakan peralatan darat di Bogor sampai Jakarta.
“Ukurannya kurang dari dua mikron dan banyak. Partikel itu diletakkan di atmosfer itu, sehingga ganggu pertumbuhan awan dan tidak hasilnya hujan. Metode kedua, terhadap awan yang tumbuh di luar Jakarta. Awan yang bergerak kita hujankan sebelum sampai ke Jabodetabek, supaya berkurang banyak. Caranya dengan bahan semai NhCl yang ukurannya lebih dari 10 mikron, sekitar 10-100 mikron,” kata dia.
Menurut Tri Handoko, dalam sebulan intensitas hujan di Jakarta bisa mencapai 350-400 milimeter (mm) di musim hujan. Jika tiap hari merata, drainase yang baik mampu mengatasi. Namun permasalahannya, hujan di Jakarta saat ini bisa sangat tinggi, mencapai 50 mm sehari.
“Dua hari kemarin, intensitasnya 100 mm, maka drainase tak akan mampu mengatasi. Untuk itulah teknologi modifikasi cuaca dibutuhkan, mengurangi curah hujan, targetnya 30 persen,” kata Tri. (asp)
BACA JUGA: