Menggoyang Bisnis Besar Pakaian Bekas Impor

Konsumen Baju Bekas Punya Kiat Khusus untuk Bersihkan Bakteri
Sumber :
  • Aceng Mukaram/Pontianak

VIVA.co.id - Jual beli pakaian bekas impor di Pasar Senen, Jakarta Pusat, sudah ada sejak berpuluh tahun yang lalu. Berbagai jenis pakaian bekas dijual di sini, mulai dari baju, celana, jas, hingga pakaian dalam seperti bra dan celana dalam dari Korea Selatan dan Jepang.

Sekilas, pasar ini memang terkesan kumuh dan kotor. Ribuan baju bekas berwarna lusuh tergantung di sejumlah toko. Sebagian lagi, berserakan dan menumpuk. Tapi, jangan salah, praktik jual beli pakaian bekas impor di pasar ini tak ada matinya.

Siapa sangka, penjual pakaian-pakaian bekas impor di Pasar Senen mampu meraup omzet yang cukup menggiurkan.

Berbincang dengan VIVA.co.id, Marpaung, salah satu pedagang pakaian bekas impor di Pasar Senen, mengungkapkan, dalam sehari minimal omzet yang didapatkan mencapai Rp700 ribu, dengan keuntungan per bulan rata-rata Rp4 juta.

Marpaung mengaku, sangat bersyukur dengan adanya bisnis pakaian bekas impor. Meskipun, di sisi lain sebagian besar masyarakat menganggap pakaian bekas sebagai sampah.

"Ini bisa membuka lapangan kerja, kami punya beberapa karyawan. Dengan jualan ini keluarga kami bisa makan, bahkan anak-anak sampai kuliah," tuturnya.

Menelisik alur masuk

Marpaung mengungkapkan, pedagang pakaian bekas impor di Pasar Senen mendapatkan stok sebanyak 600-1.200 bal (karung) per bulan dari Batam.

"Stok ke Pasar Senen biasanya minimal 600 bal per bulan, ini barang dimasukkan dari Batam," tuturnya.

Lain lagi dengan pedagang pakaian bekas impor di Yogyakarta. Pedagang mengaku, baju bekas impor yang dijual di Yogyakarta kebanyakan berasal dari Makassar dan Jakarta. Jadi tidak ada barang yang langsung dikapalkan ke Yogyakarta.

"Hampir semua barang-barang di sini diambil dari Makassar. Biasanya datang karungan besar, kami beli putus," kata salah seorang pedagang itu saat ditemui di lokasi berdagangnya, Jalan Parangtritis, Yogya.

Pemerintah pun mengaku kesulitan menelusuri pihak yang memasok baju bekas impor. Demikian pengakuan dari Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Widodo.

Menurut Widodo, pihaknya pernah bertanya kepada pedagang pakaian bekas tentang asal-muasal baju bekas impor itu.

"Begitu coba ditanya asalnya dari mana, mereka hanya mengatakan ditawari berjualan pakaian bekas dan diberi nomor teleponnya," kata dia, ketika dihubungi VIVA.co.id.

Widodo menyampaikan, kalau mereka mengontak nomor telepon yang menawarkan dagangan, pakaian tersebut akan dikirim dengan mobil boks.

"Seperti sistem perdagangan putus. Kami tidak tahu dari mana asalnya," tuturnya.

Selain itu, Widodo juga menjelaskan, banyaknya jalur masuk baju bekas. Faktor kekurangan petugas pengawas pun juga menjadi penyebab pakaian tersebut bisa masuk ke Indonesia.

"Selain banyaknya pelabuhan tikus, mungkin masuknya pada tengah malam. Pelaku, kan, tahu medan di perjalanan dan luasnya pelabuhan. Jumlah pengawas juga kurang," tambahnya.

Sementara itu, Kasubdit Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Haryo Limanseto, mengaku telah melakukan pengawasan terhadap impor pakaian bekas dengan ketat.

"Kami mencegah masuknya pakaian ilegal, tapi kami tahu ada keterbatasan," kata Haryo, ketika dihubungi VIVA.co.id.

Dia mengatakan, bahwa jumlah pintu masuk pakaian bekas itu sangat banyak. Disebutkan, pelabuhan tikus banyak terdapat di daerah pesisir, seperti pesisir Sumatera bagian Timur, yang berdekatan dengan Singapura.

"Kenapa banyak yang merembes? Karena dekat dengan pinggiran dan ada kapal-kapal kecil di sana, terutama di pesisir Sumatera. Itu kesulitannya," kata Haryo.

Modus kedua yang kerap digunakan untuk menyelundupkan pakaian bekas impor, adalah dengan memalsukan dokumen barang sehingga seolah-olah barang tersebut dibuat menjadi perdagangan antar pulau.

Pakaian bekas dari Malaysia dibawa dulu ke Kalimantan, lalu dibawa ke Sulawesi dengan kapal dan akhirnya dikirimkan ke Jawa.

"Kalau perdagangan antar pulau, Bea Cukai tidak memeriksanya," kata dia.

Berpotensi mengandung HIV

Kini, perdagangan pakaian bekas impor banyak disorot publik. Hal itu, karena Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, akan menghapus perdagangan pakaian bekas impor. Pemerintah ingin menghentikan impor ini.

Selain mengganggu perkembangan industri garmen, pakaian bekas impor ini juga membahayakan kesehatan manusia. Rachmat mengatakan, pakaian bekas bisa mengandung kuman dan virus yang bisa membahayakan manusia, mulai dari penyakit kulit, bahkan sampai berpotensi mengandung virus HIV/AIDS.

"Berpotensi penyakit kulit dan bisa HIV. Itu hasil laboratorium," kata Rachmat di DPR, Jakarta.

Untuk itu, dia melanjutkan, Kementerian Perdagangan menyosialisasikan bahaya pakaian impor bekas ini.

Dengan penghentian impor tersebut, diharapkan industri garmen bisa memasok produk jadinya ke luar negeri. "Misalnya di Cibaduyut, di sana usaha yang kecil-kecil banyak, tapi bisa impor. Sebetulnya, garmen ini harusnya bisa impor," kata dia.

Pasar Menjanjikan

Rachmat Gobel mengakui pakaian impor bekas ditemui di banyak tempat. Setidaknya, menurut dia, ada dua alasan utama mengapa pakaian ini "menjamur" di pasar. Dia tak memungkiri impor ilegal pakaian bekas itu dilakukan berdasarkan faktor pasar.

"Yang pertama, pasarnya besar," kata dia.

Yang kedua, adalah faktor sosial masyarakat. Masyarakat Indonesia, kata Rachmat, membeli barang dengan pertimbangan harga. Mereka lebih menyukai barang dengan harga yang murah, tapi kualitasnya abal-abal dibandingkan dengan barang yang harganya lebih mahal, tapi kualitasnya lebih baik.

"Yang kedua, kita ini (suka yang) murah, murah, murah, tapi tidak berkualitas," kata dia.

Protes pedagang dan pembeli

Wacana penghapusan itu, menuai protes. Salah satunya dari masyarakat Kota Medan, Sumatera Utara. Harga pakaian bekas yang murah, namun berkualitas menjadi faktor masyarakat memburu pakaian bekas impor ini.

Di Kota Medan, Sumatera Utara, pasar pakaian bekas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Monza terdapat hampir di seluruh pasar-pasar tradisional. Namun, sentral pakaian bekas dapat ditemukan di pasar Melati, Kecamatan Medan Selayang dan Pasar Perumnas Simalingkar.

"Baju Monza lebih berkualitas dengan yang dijual di toko makanya saya selalu mencari baju di sini," kata Ramlan Taringan.

Untuk mendapatkan pakaian bekas impor berkualitas, Ramlan mengaku harus menempuh perjalanan lebih dari 20 kilometer dari rumahnya di kawasan Kota Binjai. "Lihat saja, saya baru dapat baju merek Levis hanya Rp50 ribu, bayangkan harganya jika beli di toko atau di mal," terangnya.

Sejumlah pedagang pakaian bekas impor juga mengaku pernyataan menteri perdagangan tidak masuk akal. "Saya lebih dari 20 tahun berjualan pakaian Monza, jangankan HIV, penyakit kulit juga tidak pernah,” terang Lafaboro Laia, salah satu pedagang.

Laporan Gomgom Simanungkalit