Harap-harap Cemas Ebola Masuk Indonesia

Dokter Kuba dalam latihan menangani pasien ebola di Afrika Barat.
Sumber :
  • Reuters

VIVAnews - Tak terbantahkan lagi, dunia memang harus mewaspadai Ebola Virus Disease (EVD) atau lebih akrab disebut Ebola. Virus yang pada mulanya muncul di Republik Kongo dan Sudan, tahun 1976 itu mewabah di seantero Afrika sejak awal Februari 2014 lalu.

Menurut WHO, penyakit ini terpusat di segala penjuru Afrika, khususnya di Sierra Leone, Liberia dan Nigeria. Data terakhir yang dimiliki lembaga kesehatan dunia itu menunjukkan, virus tersebut telah menginfeksi 1.323 orang di tiga negara tersebut. Dari angka itu, 729 penderita berakhir meninggal.

Tingkat kematian pada penderita Ebola bisa mencapai 90 persen dari kasus. Tak heran jika ratusan orang harus meninggal dunia akibat virus mematikan tersebut.

Publik Tanah Air sebetulnya tidak menutup mata atas wabah yang menjangkiti para warga di luar negeri tersebut. Pemerintah kala itu sudah merespons dengan baik. Mereka mengimbau agar masyarakat waspada dan senantiasa hidup bersih. Boleh dikatakan bahwa masyarakat masih bisa bernafas lega karena belum ada suspect dari virus tersebut di dalam negeri.

Situasi mendadak berubah begitu dua Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Madiun dan Kediri diduga terjangkit virus Ebola karena mengalami gejala panas dan demam tinggi. Lebih mengkhawatirkan lagi, mereka adalah TKI yang baru pulang bekerja dari Liberia, salah satu negara yang menjadi pusat penyebaran virus Ebola.

Indonesia cemas. Bagaimana tidak, wabah yang tadinya berada di tempat yang jauh dari negara ini, sekarang tiba-tiba muncul di tengah-tengah masyarakat.

Dari situlah awal kegelisahan dunia medis Indonesia. Sebab, Ebola memiliki ciri-ciri yang sama dengan gejala yang diderita dua TKI asal dua daerah di Jawa Timur tersebut.

Berdasarkan keterangan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, mereka termasuk di antara 28 orang TKI yang pada 26 Oktober 2014 tiba di Tanah Air setelah menyelesaikan pekerjaan dari Liberia.

"Selama di pesawat, tidak ada satupun penumpang yang sakit dan tidak ada yang memerlukan bantuan dokter," kata Tjandra.

Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta, petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) memeriksa seluruh warga negara Indonesia yang baru tiba dari Liberiaā€ˇ. Dari pemeriksaan, tidak ada seorangpun dari mereka yang sakit.

"Sebagai tindak lanjut, para TKI diberi penyuluhan untuk waspada terhadap kesehatannya dalam 21 hari ke depan," ujar Tjandra.

Ternyata, setelah beberapa hari, terdapat laporan keluhan demam dari TKI yang berasal dari Madiun dan Kediri. Tentu saja, gejala demam tersebut belum tentu Ebola. Bisa saja penyakit Malaria, atau penyakit lain. Demi kewaspadaan dan kehati-hatian, Rumah Sakit mengambil tindakan dengan merawat pasien diduga terjangkit Ebola di ruang isolasi.

Diperiksa Intensif

Kini, kedua TKI itu tengah diperiksa secara intensif di ruang isolasi. TKI asal Kediri dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Pare, Kediri. Sementara TKI dari Madiun berinisial MS (29) dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) dr Soedono Madiun, Jawa Timur. Sejauh ini, MS sudah menjalani tiga kali tes spesimen.

Spesimen diambil dari urine pasien suspect, darah, dan lendir tenggorokan. Pasien juga dilakukan diagnosa, apakah menderita penyakit lain, atau tidak. Diperkirakan hasil laboratorium akan selesai pada Selasa 4 November 2014.

"Setiap pasien kita lakukan diagnosa, apakah ada penyakit lain," jelas Kepala Subsi Surveillance Kementerian Kesehatan, Ratna Budi Hapsari, di RS Soedono.

Sementara itu, RS Soedono menegaskan bahwa pasien suspect Ebola, MS, belum bisa dinyatakan negatif terjangkit virus ebola. Meski, hasil tes spesimen pertama atas MS, negatif. Mereka masih menunggu dua tes spesimen terhadap yang bersangkutan.

"Jika tes spesimen pertama negatif, harus diikuti dua tes spesimen berikutnya juga harus negatif," kata Direktur Rumah Sakit, Sasongko.

Sasongko menjelaskan, pasien dinyatakan positif apabila ketiga spesimen yang dikirim ke laboratorium Kementerian Kesehatan hasilnya positif. Meskipun ketiga tes spesimen itu nantinya menunjukkan gejala negatf, RSUP dr Soedono, tetap melakukan isolasi kepada MS.

"SOP-nya harus seperti itu. Karena masa inkubasi virus ini selama 21 hari. Dan untuk menyatakan pasien suspect itu negatif Ebola, kami harus menerima surat resmi dari Kementerian Kesehatan RI," jelasnya.

Terkait pernyataan Kepala Balitbangkes Kemenkes bahwa pasien suspect ebola Madiun negatif terjangkit virus Ebola, Sasongko tidak berani terburu-buru membenarkan pernyataan itu.

"Tes spesimen pertama negatif. Tetapi tes spesimen kedua dan ketiga, kami belum menerima hasilnya, apakah negatif atau positif. Jadi kami belum bisa menyatakan pasien suspect dinyatakan negatif. Itu SOP yang harus kami jalankan," ujarnya.

Namun, Sasongko mengakui, tanda-tanda yang ada pada MS, memang menunjukkan arah negatif. Misalnya, gejala penderita ebola seperti pendarahan, nyeri otot, diare, sakit perut, demam, dan sebagainya, tidak sepenuhnya ada pada MS.

"Sekarang kondisinya sudah membaik. Ketika datang ke rumah sakit demamnya mencapai 39-40 derajat, sekarang suhu badan pada angka 36 derajat. Dan itu tidak diikuti gejala lain," tambahnya.

Dan Senin, Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan bahwa dua TKI yang baru saja datang dari Liberia dinyatakan negatif dari virus Ebola. Hasil itu diungkapkan setelah keduanya melalui proses pemeriksaan intensif di ruang isolasi di rumah sakit khusus.

"Hasil terakhir tadi malam negatif. Tetapi kita antisipasi menjaga itu saja," kata Nila di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 3 November 2014.

Namun, Nila tak mau kecolongan bila sewaktu-waktu virus mematikan itu masuk ke Indonesia. Salah satu langkah yang ditempuh misalnya dengan melakukan karantina di pelabuhan bandara.

"Kantor pelabuhan yang pulang dari daerah-daerah endemis kita lakukan," ujarnya.

Nila menuturkan, mereka yang pulang dari daerah endemik Ebola, sebenarnya sudah ada pemeriksaan tetapi masa inkubasi virus itu selama 21 hari.

"Pokoknya kita ambil sampel darahnya, kita cek 48 jam. Kalau hasilnya negatif kita tetap antisipasi ya," kata dia.

Berdasarkan catatan medis, sepulang dari Liberia, Muklis Sugiarto atau MS, 29 tahun, terjangkit penyakit malaria. Ketika datang ke Indonesia, MS diduga terkena virus Ebola, dan dirawat di RSUP Madiun.

MS yang tercatat sebagai warga Desa Gemarang, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun dirawat di RSUP dr Sudono itu diduga terjangkit setelah bekerja di Liberia selama 7 bulan, sebagai buruh pemotong pohon, bersama 28 rekan lainnya dari Indonesia.

Direktur Afrika Kementerian Luar Negeri RI, Lasro Simbolon, menjelaskan 29 WNI kembali ke Indonesia dari Liberia secara sukarela dan bukan karena menderita Ebola. Mereka, melihat situasi di Liberia kurang begitu kondusif. Selama di Liberia, puluhan WNI itu bekerja di sektor kehutanan dan jauh dari pusat kota.

"Selama bekerja di sana, mereka relatif aman. Kami terus memastikan komunikasi dengan mereka dan WNI lainnya yang berada di Liberia. Jadi, kepulangan mereka ke Indonesia merupakan bagian dari upaya pencegahan," kata Lasro.

Dia menambahkan, jumlah WNI yang berada di Liberia mencapai sekitar 153 orang. Selain bekerja di sektor kehutanan, seperti di industri pemotongan kayu, para WNI bekerja di pelabuhan.

Jangan Panik

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama menegaskan, belum ada kasus Ebola maupun MERS-CoV di Indonesia. Dia pun meminta masyarakat untuk tidak panik, dengan tidak langsung memvonis seseorang yang baru kembali dari negara endemik Ebola, maka orang tersebut telah tertular.

"Bila ada yang baru datang dari negara terjangkit Ebola, lalu dia demam, maka belum tentu demam tersebut diakibatkan oleh virus Ebola, bisa saja karena penyakit lain. Namun, memang waspada dan kehati-hatian kita perlukan," ungkap dr. Tjandra yang dikutip dari situs resmi Kemenkes RI.

Dia mengatakan, ada empat gejala yang menjadi indikasi kuat seseorang terjangkit penyakit Ebola. Gejala ini, khususnya bagi mereka yang baru saja pulang dari negara-negara endemik.

"Pertama, demam yang tidak diketahui penyebabnya. Dua, nyeri otot hebat, ketiga, gangguan saluran pencernaan, dan keempat, manifestasi pendarahan," papar dia.

Beberapa rumah sakit di beberapa daerah telah mempersiapkan diri untuk merawat pasien penyakit mematikan itu.

"(Khusus Jawa Timur) ada delapan rumah sakit rujukan regional," kata Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, Harsono ketika dihubungi VIVAnews.

Delapan rumah sakit rujukan di Jawa Timur itu adalah RSU Soedono di Madiun, RSUD Jombang, RSUD Pare di Kediri, RSUD Tulung Agung, RS Saiful Anwar di Malang, RSUD Soepomo di Surabaya, RSUD Soebandi di Jember, dan RSUD Ibnu Sina di Gresik.

Masing-masing rumah sakit, kata Harsono memiliki satu ruangan khusus yang bisa menampung sekitar 15 pasien. "Ada 15 bed dalam satu ruangan di masing-masing rumah sakit," ujar dia.

Selain Jawa Timur, semua rumah sakit di Semarang juga menyediakan ruang khusus untuk merawat pasien suspect Ebola.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Dr. Widoyono, mengatakan sejauh ini seluruh rumah sakit di Kota Semarang, menyiapkan antisipasi terhadap masuknya virus Ebola.

Widoyono mengatakan, sejumlah dokter khusus, obat-obatan, hingga sarana prasarana lain juga telah disiagakan di tiap rumah sakit.

"Pakar-pakar kesehatan kita juga terus melakukan kajian tentang virus ini. Mereka dipilih khusus bagi yang memiliki kualifikasi di Asia Tenggara," ujar dia.

Tak hanya rumah sakit, sebagai gerbang masuknya virus mematikan itu, Bandara Internasional Soekarno-Hatta juga meningkatkan kewaspadaan.

Untuk itu, khusus di pintu kedatangan dari penerbangan Timur Tengah dipasang alat pendeteksi.

"Dipasang satu alat di terminal kedatangan, alatnya seperti x-ray," kata Kepala Bagian Humas PT Angkasa Pura II (Persero), Achmad Syahir ketika dihubungi VIVAnews, kemarin.

Alat bernama thermoscanner itu, kata Syahir, sudah terpasang ketika wabah virus Mers menghebohkan dunia. Ini adalah alat pendeteksi panas yang dapat mengenali suhu tubuh penumpang yang mengalami demam.

Sehingga, saat ini, jika ada penumpang yang berasal dari wilayah Timur Tengah alat itu langsung diaktifkan. Sebab, penerbangan secara langsung dari Afrika yang merupakan negara endemik Ebola ke Indonesia, tidak ada. Namun, mereka transit di Timur Tengah.
 
"Alat sudah ada tinggal diaktifkan, jika memang butuh," ujar dia.

Sementara itu, kedua TKI yang baru saja pulang dari Nigeria itu, termasuk yang sudah melalui proses screening dari petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan.

Tak hanya di Bandara Soekarno-Hatta, untuk  pencegahan masuknya Ebola rumah sakit di Semarang juga dengan menempatkan sejumlah personil medis di Bandara Internasional Ahmad Yani, dengan bekerja sama dengan kantor kesehatan pelabuhan. Teknisnya, dengan melakukan screening di tiap pintu masuk bandara menggunakan alat temperatur detektor.

Jika pendatang dari negara lain, maupun WNI yang datang ke Kota Semarang, mengalami gejala khusus, alat itu akan merekam secara otomatis. Seperti halnya, bila ada yang mengalami demam tinggi dan gejala lain yang tidak wajar.