Tinggal di Atas Tanah Bergerak

Tanah bergerak
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jafkhairi

VIVAnews - Senin pagi, 17 Februari 2014, Gunung Merbabu tiba-tiba berdentum. Dentuman yang disusul gempa itu terjadi selama beberapa detik. Apalagi sebelum dentuman terjadi, tanah di sekitar gunung terangkat dan sesaat terempas kembali. Fenomena alam apakah ini?

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, saat dihubungi VIVAnews, Rabu 19 Februari 2014, menjelaskan, gempa tektonik di Merbabu terjadi pukul 06.00 WIB. Gempa itu, katanya, tidak berefek terjadi letusan. "Gunung Merbabu aman," katanya.

Akibat gempa di Gunung Merbabu, 45 rumah di Dusun Krajan, Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang mengalami kerusakan.

Menurut saksi mata, Suparman, dusun di lereng Gunung Merbabu itu paling dekat dengan pusat getaran dan suara dentuman. "Suara dentuman keras tadi pagi juga terdengar hingga beberapa kilometer dari Gunung Merbabu," kata Suparman.

Menurut Suparman, awalnya terdengar suara ledakan keras. Tak lama kemudian, warga merasakan ada getaran seperti gempa bumi. "Sebelumnya terlihat kilat dari arah Gunung Merbabu, terus terdengar suara ledakan dan bergetar," katanya.

Dari 45 rumah yang rusak, milik Suwarji (51) warga di RT 01, yang mengalami rusak paling parah. Gentengnya rontok, kaca jendela pecah, dan tembok retak.

Sementara itu, dikonfirmasi soal peristiwa itu, Humas Basarnas Semarang, Aris Triyono membenarkan adanya peristiwa itu. Hingga kini, Basarnas dan aparat Koramil Getasan masih menyelidiki sumber dentuman serta getaran tersebut.

"Yang pasti tidak ada korban jiwa. Kami bersama aparat setempat masih menyelidiki hal itu," kata Aris.

Fenomena Tanah Lempung

Surono menjelaskan, sebetulnya tidak ada yang aneh dari gerakan tanah itu. Fenomena itu terjadi karena tanah yang bergerak mencari keseimbangan baru. "Gerakan tanah ini disebut juga rayapan. Ini sering terjadi kok. Jadi, bukan sesuatu yang ajaib dan misterius," kata Surono.

Dia lantas memberikan ilustrasi menggunakan kursi. Jika sebuah kursi ditarik di atas lantai, akan menimbulkan bunyi. "Dan, di atas permukaan lantai itu kan sebenarnya ada getaran juga. Nah, ini sama dengan rayapan," ujarnya.

Tanah-tanah yang retak kemudian bergerak untuk menemukan keseimbangan baru. Dalam skala besar, gerakan tanah ini akan menimbulkan bunyi dentuman dan goyangan yang mirip gempa. "Seperti yang di Gunung Merbabu itu," kata dia.

Biasanya, kata dia, fenomena ini terjadi saat hujan lebat turun dalam jangka lama. "Saat hujan, bobot tanah di atas kan bertambah," katanya.

Menurut Surono, fenomena alam ini sering terjadi. "Rayapan terbesar itu pernah terjadi di Pulau Samosir (Sumatera Utara). Ini terjadi tahun 2005," kata dia saat dihubungi VIVAnews, Rabu 19 Februari 2014.

Kala itu, kata Surono, ada retakan di tanah sepanjang 3 kilometer di Kecamatan Nainggolan, paska gempa di Pulau Nias. Tanah-tanah tersebut kemudian bergerak untuk mencari keseimbangan baru. "Karena blok-blok tanahnya besar, dentuman dan gerakannya sangat besar. Warga di sana sempat ketakutan karena mengira Samosir mau ambles," kata dia.

Selain Samosir, kasus serupa juga terjadi di Yogyakarta pada 2006 dan Majalengka (Jawa Barat). "Di Majalengka, sekitar 2001 atau 2002. Saya ingat, saat itu menjelang Lebaran," jelas Surono.

Sebetulnya, kata dia, tanah bergerak ini juga menjelaskan kontur tanah di Hambalang, Bogor. Di sana, bangunan --termasuk proyek pusat olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga yang belakangan bermasalah-- kerap retak karena pergerakan tanah. "Tapi, di sana skalanya kecil," jelas Surono.

Pada 2012, Surono yang saat itu masih kepala Pusat Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan, Desa Hambalang tidak layak huni karena wilayah itu memiliki karakter tanah yang labil. “Daerah itu memiliki jenis batuan dasar lempung sehingga tidak mungkin tersedia air tanah. Artinya tidak memungkinkan adanya suatu kehidupan. Oleh karena itu, tahun 2002 kami nyatakan daerah itu tidak layak huni,” kata Surono.

Ia pun menilai pembangunan pusat olahraga di Desa Hambalang akan sulit dilakukan. Sebab, tidak ada rumah yang memiliki konstruksi dengan fondasi sampai batuan keras. “Sangat mahal dan tidak ekonomis,” kata Surono.

Penyebab tanah longsor sehingga bangunan di pusat olahraga Hambalang itu ada yang ambles, ujar Surono, adalah karena batuan dasar di sana berupa lempung. Lempung jika terkena air akan berubah menjadi bubur dan licin. “Ini tidak bisa direkayasa dengan jalan apa pun. Lempung punya sifat dasar tanah seperti itu,” terang Surono.

Meski demikian, Surono mengatakan, ada bangunan yang berhasil dibangun dalam kondisi tanah berlempung itu. Misalnya di Tol Cipularang KM 56,92, dan tol dari Semarang ke Ungaran. “Itu daerah-daerah rawan gerakan tanah,” kata dia.

“Membangun di atas batu lempung bagai simalakama. Kalau kena air akan membubur sehingga lapisan di atasnya mudah tergelincir jika diberi beban. Sebaliknya, kalau kena panas, bangunan akan retak-retak,” papar Surono.

Di Magelang, juga ada fenomena serupa. Tim Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama dua peneliti dari Kyoto University, Jepang, bekerja sama memantau pergerakan tanah di Desa Sidosari, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.

Ketua tim peneliti, Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, mengatakan banyaknya rumah retak di wilayah itu akibat pergerakan tanah yang dipicu tingginya tingkat curah hujan. Keretakan bertambah akibat gempa bumi Kebumen.

"Kami meminta warga agar memantau pergerakan tanah. Apabila pertambahan keretakan terjadi sangat drastis, kami meminta mereka untuk melakukan evakuasi sementara," kata Dwikorita, Senin 27 Januari 2014.

Menurut dia, pergerakan tanah di lokasi desa ini sudah terjadi sejak lama. Sementara itu, yang menjadi masalah di lokasi tersebut belum dibangun sistem drainase yang baik.

Air buangan dari setiap rumah dialirkan seadanya, merembes dan meresap ke dalam lereng justru akan memperbesar tingkat ancaman longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Tim merekomendasikan agar masyarakat tidak melakukan penggalian tanah di bawah lereng.

Peneliti dari Kyoto University Prof. Hiroshi Fukoka menambahkan, daerah yang ditempati warga memiliki bentuk topografi yang berundak-undak. Ratusan tahun lalu, kawasan ini merupakan daerah bekas longsor. Bila melihat dari kondisi retakan di setiap rumah, menandakan bahwa mereka menempati daerah lereng zona bergerak. (art)