Pahlawan Nasional Itu Bernama Soekarno-Hatta

Megawati Hadiri Anugerah Pahlawan Nasional Bung Karno
Sumber :
  • Biro Pers Istana Presiden/Abror Rizki

VIVAnews - Gelar Pahlawan Nasional akhirnya disematkan kepada Soekarno dan Mohammad Hatta, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Gelar itu diberikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara.

Pemerintah menilai Dwi Tunggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu telah menunjukkan jasa, perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian kepada bangsa dan negara.

"Pada hari ini, selaku Presiden Republik Indonesia, dan atas nama negara dan pemerintah, dengan rasa syukur dan penuh hormat, menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Bapak Ir Soekarno dan Bapak Drs Muhammad Hatta, yang selama ini lebih lekat di hati kita dengan panggilan Bung Karno dan Bung Hatta," kata Presiden SBY di Istana Negara, Rabu 7 November 2012.

Gelar diterima langsung oleh ahli waris kedua pahlawan itu. Soekarno diwakili putra sulungnya Guntur Soekarnoputra, dan Hatta diwakili putri sulungnya Meutya Hatta.

Sebelum serah terima, diawali pembacaan Keppres Nomor 83 Tahun 2012 tentang penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada DR (HC) Ir Soekarno, yang juga mantan Presiden. Dibacakan juga Keppres Nomor 84 tahun 2012 tentang penganugerahan kepada Dr (HC) Drs Moh Hatta, mantan Wakil Presiden.

Dengan gelar pahlawan itu, SBY mengajak seluruh rakyat Indonesia menghilangkan stigma negatif yang menyertai setiap polemik atas Bung Karno dan Bung Hatta. Stigma yang dimaksud, adalah TAP MPR/S tentang dugaan Soekarno terlibat dalam G30S/PKI, yaitu TAP MPRS Nomor 33/1967.

"Sebagai bentuk kecintaan, penghormatan dan penghargaan kepada keduanya dengan Bapak dan Guru Bangsa ini, kita tinggalkan segala stigma dan pandangan yang tidak positif, yang tidak perlu dan tidak semestinya," kata SBY.

Sebenarnya rakyat Indonesia, melalui MPR dengan ketetapannya, juga telah menghapuskan stigma yang tidak baik yang mungkin ada terhadap Bung Karno, Pahlawan dan Bapak Bangsa. Tentang review ketetapan MPR/S pada masa Orde Baru itu telah dilakukan MPR periode 1999-2004. "Sungguh, beliau berdua, adalah Pahlawan Nasional dan Tokoh Besar bangsa Indonesia," ujarnya.

Sebelum gelar pahlawan nasional, Soekarno-Hatta juga sudah dianugerahi gelar Pahlawan Proklamator. Gelar itu diberikan pada 23 Oktober 1986.

Pemerintahan Presiden Soeharto saat itu menilai keduanya telah memimpin dan melakukan perjuangan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain mencapai kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu, keduanya juga dinilai melakukan pengabdian dan perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya. Serta dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.

Gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno disambut gembira anaknya, Megawati Soekarnoputri. "Gelar pahlawan yang diberikan pada kedua tokoh nasional ini (Soekarno-Hatta) merupakan suatu hal yang sangat wajar," kata Megawati. Ia mengatakan, pahlawan nasional merupakan gelar paling tinggi dan paling utama dari seluruh gelar yang ada dalam kriteria tanda jasa dan kehormatan.

Mega juga menggarisbawahi pidato Presiden SBY bahwa dengan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soekarno, artinya stigma negatif tentang Soekarno telah terhapus. "Hal-hal yang terjadi di masa lalu, terutama mengenai Tap MPRS yang selama ini membelenggu Presiden Soekarno, sudah dinyatakan tidak ada lagi," kata dia.

Selain Mega, Meutia Hatta juga gembira atas gelar pahlawan nasional yang akhirnya diterima ayahnya, Bung Hatta. "Kami sekeluarga sangat berbahagia karena Bung Hatta dicintai rakyat. Tentu rakyat Indonesia juga merasa gembira Bung Karno dan Bung Hatta mendapat gelar ini," kata Meutia Hatta.

Menurutnya, Soekarno-Hatta sangat layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Bung Hatta sendiri sudah mulai berjuang untuk kemerdekaan Indonesia di usia 23 tahun. "Saya berterima kasih kepada Bapak Presiden SBY dan pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara yang mendukung itu (pemberian gelar pahlawan nasional)," ujar Meutia Hatta.

Di usia 23 tahun, Hatta memperjuangkan penggunaan nama Indonesia menggantikan nama Hindia Belanda. Ia juga menanamkan pikiran bahwa Indonesia harus merdeka. "Dalam pidatonya di Lapangan Ikada (Monas dulu), beliau lebih suka melihat Indonesia tenggelam di dasar lautan daripada jadi embel-embel bangsa asing," kata Meutia.

Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu berpendapat, gelar pahlawan nasional kepada tokoh yang telah berjasa memang wajar diberikan secara bertahap, karena Indonesia memiliki banyak pejuang yang layak menjadi pahlawan.

"Rakyat memerlukan idola, panutan, dan teladan untuk membangun masa kini. Jadi yang diteladani itu prinsipnya – cinta tanah air, cinta rakyat, dan pantang mundur dalam membangun tanah air," ujar Meutia.

Gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Soekarno-Hatta ternyata dikritik sejawaran LIPI Asvi Warman Adam. Asvi menilai gelar pahlawan nasional yang diterima justru menurunkan derajat proklamator itu.

"Pada tahun 1986, Presiden Soeharto mengatakan kepada menantunya Hatta, Sri Edi Swasono, bahwa pahlawan proklamator itu lebih tinggi dari pahlawan nasional," kata Asvi. Ia mengakui soal penderajatan itu hanya sebatas lisan, namun terucap dari seorang presiden yang saat itu berkuasa di era Orde Baru.

"Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 jelas disebutkan, gelar kepahlawanan itu mencakup gelar sebelumnya seperti pahlawan kemerdekaan nasional, proklamator, dan pahlawan revolusi. Maka gelar ini menurunkan derajat Soekarno-Hatta," ujar Asvi.

Pada era Bung Karno menjadi Presiden pun, imbuh Asvi, sudah banyak gelar tanda pahlawan disematkan kepadanya. Saat itu dia diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Kemudian setelah PKI tumbang, muncul gelar Pahlawan Revolusi. "Jadi apakah mereka semua itu perlu diangkat lagi menjadi Pahlawan Nasional?" kata Asvi.

Meski demikian, Megawati Soekarnoputri meminta status kepahlawanan ayahandanya tak dipolemikkan lagi, apakah sebutannya pahlawan nasional atau pahlawan proklamator. Mega menjelaskan, Bung Karno pada masa Orde Baru memang disebut pahlawan proklamator. Namun istilah pahlawan proklamator tak dikenal dalam legal formal ketentuan tentang tanda gelar dan penghargaan.

"Karena saya pernah jadi Presiden RI kelima, saya mengetahui aturan bahwa bagi mereka yang diberikan tanda jasa dan tanda kehormatan nasional, secara hukum formal memang tercatat. Tetapi pahlawan proklamator yang telah diberikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta pada waktu zaman Pak Harto itu tidak ada di dalam perundangan kita," ujar Megawati.

Menurutnya, penganugerahan gelar pahlawan nasional hari ini merupakan penegasan bahwa Bung Karno adalah pahlawan bangsa. "Sehingga tidak ada lagi ketakutan untuk membicarakan pikiran-pikiran Bung Karno. Dan mereka yang dulunya berjuang sebagai pengikut Bung Karno, menyatakan bahwa hari ini hari mereka ikut merasa berbahagia," kata Mega.

Hal senada diperkuat oleh Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri. Mensos menegaskan tidak ada istilah turun derajat bagi Soekarno-Hatta karena gelar pahlawan nasional justru paling tinggi derajatnya. "Pahlawan proklamator itu malah derajat paling tinggi," kata dia di Kementerian Sosial.

Salim menjelaskan, Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1986 memang sesungguhnya telah menyebutkan Soekarno-Hatta sebagai pahlawan proklamator. Keppres itu pun sesungguhnya otomatis menjadikan Soekarno-Hatta sebagai pahlawan nasional.

Sejak tahun 1987 atau setelah Keppres Nomor 81 Tahun 1986 itu dikeluarkan, hak-hak dan tunjangan kepada keduanya selaku pahlawan nasional sudah diberikan pemerintah. "Kami berikan tunjangan dan kesehatan kepada keluarganya. Ada pula pemugaran dan pemeliharaan (bangunan atau monumen terkait mereka), serta hak-hak lainnya," ujar Mensos.

Ia menjelaskan, gelar pahlawan nasional yang diberikan pemerintah itu hanya sebagai penegasan secara definitif bahwa Soekarno-Hatta adalah pahlawan nasional. Pengusulan pemberian gelar Soekarno-Hatta itu, menurut Salim, datang dari DPR, MPR, dan masyarakat.

Salim juga membantah pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soekarno-Hatta untuk memuluskan mantan-mantan Presiden RI lainnya, termasuk Soeharto guna memperoleh gelar serupa. Jika ada yang menginginkan mantan presiden lainnya diberi gelar pahlawan nasional, maka pihak terkait harus tetap mengusulkan dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

"Silakan kalau memang ingin mengusulkan pemberian gelar pahlawan nasional bagi mantan presiden lain. Yang penting, syarat utamanya (presiden tersebut) harus almarhum dulu, dan perjuangan beliau sepanjang hidupnya memang untuk NKRI," ucap Salim. Perjuangan itu bisa di segala bidang. "Pahlawan kan tidak harus bawa bedil," imbuhnya.

Proses gelar pahlawan diusulkan dari tingkat kabupaten lewat bupati atau wali kota atau gubernur, kemudian diserahkan ke Dinas Sosial provinsi, dan diteruskan ke Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). "Lalu Mensos mengajukan usul itu ke Presiden melalui Dewan Gelar. Jadi tidak definitif mantan presiden langsung bisa dapat gelar pahlawan nasional," papar Mensos.


9 Calon Pahlawan Nasional

Selain menyematkan gelar pahlawan nasional ke Soekarno-Hatta, Menteri Sosial Salim Segaf mengatakan, saat ini sudah ada sembilan nama yang sudah memenuhi syarat sebagai calon pahlawan nasional.

Sembilan nama itu, lanjut Salim, merupakan hasil pembahasan, penelitian, dan pengkajian dari Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) yang bekerja sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

"Mereka bekerja untuk meneliti dan mengkaji. Apakah nama-nama itu memenuhi syarat atau tidak. Tapi untuk tahun ini sudah ada dua yang diberi gelar pahlawan nasional," kata dia. "Saat ini sembilan nama itu sedang diajukan ke Pak Presiden untuk dipertimbangkan," kata Salim.

Berikut sembilan nama calon pahlawan nasional:

1. Kolonel (Purn) Alex Evert Kawilarang dari Sulawesi Utara
Alex (1920-2000) dikenal sebagai perwira militer yang masuk angkatan '45. Hidupnya dihabiskan di dunia militer. Tercatat dia pernah terdaftar sebagai anggota KNIL, Komandan Brigade Divisi Siliwangi, Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara.

Saat menjabat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur, Alex memimpin operasi penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makasar, pemberontakan Republik Maluku Selatan, dan pemberontakan Kahar Muzakkar. Alex juga berjasa dalam membidani kelahiran Kopassus.

Sebagai panglima, Alex juga dikenal pernah menampar Letkol Soeharto. Saat itu, Soeharto menjadi bawahan Alex. 

Selain itu, Alex pernah memiliki dosa saat menjabat sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dia memimpin langsung pemberontakan PRRI/Permesta pada 1958. Namun, akhirnya pemberontakan itu dapat diatasi karena Permesta mau diajak berunding oleh pihak Tentara Republik Indonesia.

Dosa Alex dihapus, saat menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno pada 1961. Namanya pun akhirnya direhabilitasi dan akhirnya Alex memutuskan pensiun dari TNI. Sebagai imbalan dari dosanya, pangkatnya diturunkan menjadi kolonel.

2. Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima) dari Nusa Tenggara Barat
Sultan Muhammad Salahuddin (1888-1951) dikenal sebagai pemimpin perjuangan mengusir penjajah Belanda. Sultan Bima sempat membawa daerahnya itu merdeka selama 103 hari dari penjajahan. Namun, Sultan Bima akhirnya wafat saat perang membela kemerdekaan dari pendudukan Jepang di NTB.

3. I Gusti Ngurah Made Agung dari Bali
I Gusti Ngurah Made Agung adalah Raja Badung VII yang memerintah pada 1902-1906. Dia dikenal sebagai pejuang dalam peristiwa yang dikenal Puputan Badung pada 1906 melawan kolonialisme Belanda.

4. Prof DR Dr M Sardjito, MD, MP.H dari Yogyakarta
Nasib Prof DR Dr M Sardjito (1889-1970) sebenarnya hampir sama dengan Soekarno-Hatta. Di balik jasa-jasanya dalam kemerdekaan Indonesia, baru saat ini dia menjadi calon kuat menerima gelar pahlawan nasional.

Sardjito dikenal sebagai founding father Universitas Gadjah Mada. Sebagai dokter, dia berperan membantu perjuangan dalam hal menyediakan obat-obatan bagi prajurit yang berjuang. Bahkan dia sempat dikenal akibat penemuan 'biskuit Sardjito' yang dipakai sebagai makanan praktis para prajurit.

Sardjito juga disebut sebagai peletak fondasi pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran dan peletak fondasi kampus kerakyatan.

5. Jenderal Mayor TKR (Purn) H R Mohamad Mangoendiprojo dari Jawa Timur
HR M Mangoendiprojo dikenal sebagai tokoh yang mengalami perubahan dalam tiga zaman yakni revolusi sebelum kemerdekaan, masa penjajahan Jepang, dan paska revolusi.

Dia pernah dikenal sebagai hamba kolonial Belanda, kemudian dia pernah masuk pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada masa penjajahan Jepang, dan dia juga ikut terlibat dalam pengusiran Belanda di Surabaya.

Mangoendiprojo juga pernah menduduki jabatan penting seperti bendahara Badan Keamanan Rakyat, Kepala Tentara Keamanan Rakyat urusan darat wilayah Jawa Timur, hingga menjadi anggota MPR hingga 1992. Pada masa pemerintahan Soeharto, Mangoendiprojo pun pernah dianugerahi Bintang Mahaputra.

6. Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara
LN Palar (1900-1981) dikenal sebagai tokoh yang berulang kali pernah mewakili Indonesia dalam posisi diplomat, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia pernah menjabat sebagai duta besar di India, Jerman Timur, Uni Soviet, Kanada, dan Amerika Serikat.

7. Drs Franciscus Xaverius Seda dari Nusa Tenggara Timur
Frans Seda (1926-2009) dikenal sebagai politisi, menteri, tokoh gereja, pengamat politik, dan pengusaha Indonesia. Dia juga pernah merasakan pemerintahan tujuh presiden Indonesia.

Tercatat, dia pernah menjadi Menteri Perkebunan dalam Kabinet Kerja IV (1963-1964) dan Menteri Keuangan (1966-1968), serta Menteri Perhubungan (1968-1973) dalam Kabinet Pembangunan I.

Selain sebagai politikus, Frans Seda juga dikenal sebagai pendiri dan perintis Yayasan Atma Jaya dan Universitas Katolik Atma Jaya. Dia tercatat sebagai dekan pertama Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya.

8. Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yii Ko) dari Sulawesi Tenggara
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sultani Liyauddin Ismail Muhammad Saidi dikenal sebagai pemimpin perjuangan mengusir VOC di Sulawesi Tenggara, khususnya di Buton.

Karena keberaniannya dalam mengusir penjajah, dia diberi gelar Oputa Yii Ko oleh rakyatnya. Artinya sultan di hutan. Selain itu, dia juga mendapat julukan Sang Gerilyawan Gunung Siontapina Namun aksinya ini luput dari catatan sejarah karena Buton dikenal sebagai sekutu abadi Belanda.

9. Abdul Rahman Baswedan dari Yogyakarta
AR Baswedan (1908-1986) adalah seorang tokoh yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, diplomat, jurnalis, dan sastrawan. Dia juga pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Menteri Muda Penerangan, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia, anggota parlemen, dan anggota Dewan Konstituante.

Sebagai keturunan Arab, AR Baswedan pernah menyerukan orang-orang keturunan Arab untuk ikut membantu mengusir penjajah dari Indonesia. Ia pun mengumpulkan warga keturunan Arab yang akhirnya berkumpul dengan sejumlah gerakan pemuda yang pada akhirnya mengumandangkan Sumpah Pemuda. (eh)