Nasib Ahmadiyah di Pemerintahan SBY
- http://hizbut-tahrir.or.id
VIVAnews – Setelah selamat melewati beberapa rezim pemerintahan, nasib Jemaat Ahmadiyah Indonesia kemungkinan besar akan berakhir pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pasalnya, Kementerian Agama sudah bersikeras membubarkan organisasi yang berdiri sejak 1925 tersebut.
Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa Ahmadiyah telah mengganggu kerukunan umat beragama. Bahkan dengan lantang, ia menyebut Ahmadiyah telah menistakan dan menodai agama lain.
"Dia merupakan cikal bakal terjadinya perpecahan di masyarakat, yang dapat mendorong terjadinya konflik," kata Suryadharma usai bertemu pimpinan MPR di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa 31 Agustus 2010.
Suryadharma beralasan, apabila tidak dibubarkan maka permasalahan Ahmadiyah dan segala turunannya akan terus berkembang. Kasus terakhir adalah bentrokan berhari-hari di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kerusuhan tersebut dipicu penyegelan masjid yang kerap digunakan Jemaat Ahmadiyah beribadah.
Ahmadiyah sudah difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2005. Salah satu pertimbangan prinsipil adalah Ahmadiyah menyebut Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai nabi penutup, bukan Nabi Muhammad SAW.
Penegasan kesesatan Ahmadiyah itu kemudian dituangkan dalam Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep- 033/A/JA/6/2006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Keputusan berlaku sejak 9 Juni 2008.
Dari enam poin utama dalam Surat Keputusan Bersama itu, perbedaan prinsipil Ahmadiyah dengan Islam tercantum dalam klausul kedua yakni:
"Memberi peringatan dan memerintahkan penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW."
"Maka itu, kalau mengaku Islam...ya menyebarkan ajaran yang sesuai dengan Islam," kata Suryadharma.
Perbedaan lain, lanjut dia, Islam mengakui Al Qur'an sebagai kitab terakhir, sedangkan Ahmadiyah memiliki kitab yang lain. Selain itu, Ahmadiyah memodifikasi dan mengacak-acak sejumlah ayat Al Qur'an.
"Ini tentu akan menyinggung penganut agama Islam. Sama seperti umat Kristen apabila ayat Injil diacak-acak oleh kelompok keyakinan tertentu," ujar menteri yang juga Ketua Umum PPP ini.
Bagaimanapun, ia mengingatkan pembubaran Ahmadiyah tidak dilakukan dengan serta-merta, melainkan melalui proses secara bertahap. "Nantilah setelah lebaran."
Menanggapi pernyataan Menteri Agama tersebut, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan tegas membantah telah melanggar Surat Keputusan Bersama. Kegiatan Ahmadiyah yang dilakukan saat ini hanya di bidang sosial.
Bahkan, Ahmadiyah menyerang balik 'kelemahan' dalam Surat Keputusan Bersama itu. Dalam Surat Keputusan Bersama itu tidak disebutkan adanya kata-kata pembekuan atau pembubaran. "Apakah dengan demikian itu Ahmadiyah dilarang beribadah? Dilarang salat? Salat itu kan ajaran Islam. Kalau disebutkan kita melanggar SKB, bagian mana yang kita langgar. Kegiatan kami hanya kegiatan sosial," kata Yendra Budiana, anggota Pengurus Besar Jemaah Ahmadiyah Indonesia.
Dia menegaskan, segala kegiatan yang kini dilakukan Ahmadiyah sudah berdasarkan apa yang diatur dalam SKB. Ahmadiyah bukanlah organisasi politik. Ahmadiyah hanya melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan beribadah. Organisasi yang telah memiliki cabang di 174 negara ini hanya menuntut jaminan dari pemerintah, yakni jaminan kebebasan beribadah.
"Jangan sampai konflik-konflik ini semakin meningkat dan menimbulkan ketidakstabilan. Pemerintah harus bersikap tegas di atas semua golongan," kata pria yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Pemuda Ahmadiyah ini.
Menanggapi masalah yang sedang dihadapi Ahmadiyah, tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan pada dasarnya setuju dengan fatwa sesat bagi organisasi tersebut. Kendati demikian, cara-cara yang dilakukan Menteri Agama dinilai tidak bijak. "Meski saya tidak setuju dengan ideologi Ahmadiyah, caranya tidak bisa seperti itu," kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang meraih penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina ini.
Syafii menduga, sikap Menteri Agama itu berdasarkan masukan-masukan dari beberapa pihak yang tidak bertanggunjawab. Ia menyarankan agar Menteri Agama mendengarkan masukan dari ulama-ulama yang lain untuk menghindari konflik di masyarakat yang semakin meluas.
Salah satu Ketua PBNU, Slamet Effendi Yusuf, memberikan solusi masalah tersebut. Agar terhindar dari pembubaran, Slamet mengusulkan sebaiknya Ahmadiyah mendeklarasikan diri sebagai agama baru. "Tinggal menyatakan kami bukan Islam. Kami agama sendiri, Ahmadiyah. Itu selesai."
Dia menjelaskan, Ahmadiyah sebagai bukan agama Islam itu bukanlah barang baru. Kejadian serupa terjadi di Inggris dan Pakistan yang sudah ada agama Ahmadiyah. Di sana, Ahmadiyah hidup berdampingan dengan pemeluk agama Islam lainnya.