Siap-siap Gaduh Gara-gara Reshuffle Kabinet

Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin memperkenalkan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju di tangga beranda Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro

VIVA – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengancam untuk merombak (reshuffle) kabinetnya bukan ultimatum samar-samar. Kepala Negara bahkan terang-terangan akan membubarkan lembaga yang dianggap tak maksimal bekerja, alih-alih sekadar mengganti menteri yang berkinerja buruk.

Jokowi mengungkapkan tanpa tedeng aling-aling bahwa sejumlah sektor pemerintahan yang kinerjanya dalam penanganan wabah virus corona ternyata jauh dari target, dan karenanya, solusinya adalah reshuffle. Anggaran penanganan Covid-19 di tiga sektor utama—kesehatan, perlindungan sosial, dan ekonomi—dialokasikan puluhan hingga ratusan triliun rupiah, Jokowi menalar, tetapi yang terserap minim sekali. Artinya, banyak program kerja tidak berjalan padahal uangnya telah disediakan.

Presiden memperingatkan dengan keras bahwa jangan sampai menunggu situasi benar-benar memburuk, apalagi sampai rakyat bertumbangan, untuk mengatasi pandemi dan dampak-dampaknya. Sekarang bukan saatnya bekerja biasa-biasa saja, tetapi harus luar biasa, karena situasinya memang tidak biasa.

Kapan Reshuffle dan Siapa?

Maklumat Jokowi tentang isyarat reshuffle itu sebenarnya awalnya untuk kalangan terbatas internal kabinet. Soalnya, Jokowi mengungkapkan itu di hadapan para menterinya di Istana Negara pada 18 Juni, dan tertutup untuk pers, tetapi rekaman videonya dipublikasikan oleh Sekretariat Presiden 10 hari kemudian. Tak pelak lagi, isu reshuffle segera menjadi konsumsi publik.

Tidak disebutkan menteri siapa saja yang Jokowi anggap kinerjanya payah. Namun petunjuknya cukup terang benderang, yakni tiga sektor utama—kesehatan, perlindungan sosial, dan ekonomi. Di bidang kesehatan, Jokowi mencontohkan, anggarannya Rp75 triliun (sesungguhnya Rp87,55 triliun setelah penambahan postur anggaran), tetapi yang terserap cuma 1,53 persen (naik 4,68 persen dalam 10 hari setelah teguran keras Jokowi).

Dalam bidang perlindungan sosial, Jokowi tak menyebut secara lugas, namun masih ditemui banyak kendala distribusi bantuan sosial dan belum 100 persen tersalurkan. Padahal, seharusnya sekarang sudah beres.

Di sektor ekonomi, Jokowi mengamati, anggaran untuk stimulus bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, dan usaha berskala besar, termasuk perbankan, belum terserap maksimal. Padahal, stimulus itu begitu penting untuk mencegah atau mengurangi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jangan sampai stimulus itu diberikan, Presiden memperingatkan, setelah semuanya terlambat—gelombang PHK tak terbendung.

Meski menegur dengan keras dan terang-terangan mengaku jengkel, Jokowi tidak memberikan isyarat kapan Kepala Negara akan membongkar-pasang formasi kabinetnya. Jokowi hanya mempertegas tak akan ragu untuk membuat kebijakan-kebijakan extraordinary alias luar biasa, kapan pun dan di mana pun. Dia bertekad harus bekerja lebih keras dan akselerasi lebih kencang demi berpacu dengan situasi tak normal akibat pandemi Covid-19.

Sejumlah pengamat politik menganalisis pernyataan Jokowi itu sudah cukup jelas, dan sejauh ini nyaris tak pernah Kepala Negara mengisyaratkan merombak kabinet seterang-terangan itu. Bahkan, pengamat politik Yunarto Wijaya memprediksi perombakan kabinet bisa saja terjadi sebelum agenda pidato kenegaraan Jokowi pada 16 Agustus 2020. Dalam momen setiap 16 Agustus biasanya Jokowi menyampaikan pidato tentang APBN yang bertepatan dengan sidang tahunan MPR, DPR, dan DPD.

Prediksi Yunarto tidak asal-asalan, bukan pula hanya karena Jokowi menegur keras menteri-menterinya di pertengahan Juni sebagai prakondisi sebelum benar-benar dieksekusi satu-dua bulan berikutnya. Faktanya, berdasarkan catatan VIVAnews, di periode pertamanya sebagai presiden, Jokowi membongkar-pasang kabinetnya pada bulan Juli atau Agustus.

Pada 12 Agustus 2015, Jokowi merombak lima kementerian utama dan strategis seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, dan Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Belum genap setahun usia kabinet baru, pada 27 Juli 2016, Jokowi merombak lagi formasi para pembantunya. Kali ini lebih besar-besaran dan yang tergusur lebih banyak, meliputi 13 kementerian/lembaga, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, BKPM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan lain-lain.

Potensi Gaduh

***

Sedikit atau banyak yang di-reshuffle kelak, kalau benar terjadi, Jokowi diyakini akan sangat berhati-hati agar tidak malah jadi berantakan dan kacau-balau. Pakar komunikasi politik Effendi Gazali menengarai prosesnya bakal tidak mudah, terutama kalau berurusan dengan menteri-menteri dari kalangan partai politik.

Partai Gerindra, Effendi mencontohkan, punya dua wakil di kabinet, yakni Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo. Partai pimpinan Prabowo Subianto itu merupakan rival utama dan bebuyutan Jokowi sejak 2014 namun masuk ke pemerintahan pada 2019 sehingga daya tawarnya tidak kecil. Nyaris mustahil, menurutnya, Jokowi mencopot satu atau dua menteri dari Gerindra.

Tak cermat dan hati-hati mencopot menteri utusan partai, meski berkinerja buruk, katakanlah, bisa terjadi kegaduhan yang tak penting, apalagi sekarang pemerintah memerlukan energi besar dan tim yang kokoh untuk menangani wabah corona serta dampak-dampaknya. Ada 16 menteri dari total 34 menteri yang berasal dari partai politik di kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Lebih separuh di antaranya tergolong menteri strategis dan vital, misal Yasonna Laoly, Tjahjo Kumolo, Juliari Batubara, Airlangga Hartarto, Agus Suparmanto, Ida Fauziyah, Prabowo Subianto, dan Edhy Prabowo.

Terlepas dari menteri dari kalangan partai politik maupun nonpartai politik, menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, secara umum para pembantu presiden itu memang tidak bermutu tinggi. Kalau dinilai berdasarkan skala 1 sampai 10, katanya, menteri-menteri Jokowi di periode kedua justru kurang dari 6. Para menteri Jokowi di periode pertamanya saja bernilai 6, dan karenanya, reshuffle tak terhindarkan bahkan ketika usia kabinet belum genap setahun pada 2015.