Fenomena Jemput Paksa Jenazah Corona
- VIVAnews/Irfan
VIVA – Sebanyak 33 orang diperiksa polisi, buntut dari aksi penjemputan paksa jenazah pasien corona di Sulawesi Selatan. Sepuluh di antaranya resmi jadi tersangka.
Aksi mereka bukan saja melanggar hukum, tapi juga sangat berbahaya. Mereka berpotensi tertular virus mematikan itu dari jenazah yang digotong-gotong untuk dibawa pulang. Belum lagi virus dari jenazah dapat menularkan ke orang-orang sekitar.
Untuk memastikan adanya penularan itu, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan pun menggelar pemeriksaan rapid test terhadap para pelaku. Dan, benar saja. Dari pemeriksaan itu didapati lima orang reaktif corona.
"Nah, pada saat rapid test, ada lima reaktif. Kelimanya kami isolasi di hotel khusus untuk mengisolasi PDP corona," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Komisaris Besar Polisi Ibrahim Tompo, Rabu, 10 Juni 2020.
Ibrahim mengatakan kelima orang yang reaktif corona itu saat ini masih berstatus sebagai saksi. Meski begitu, polisi tetap akan memproses mereka sesuai aturan hukum yang berlaku. Sebagai bentuk proteksi diri, seluruh tim yang memeriksa para pelaku juga dilengkapi alat pelindung diri (APD).
Untuk jumlah tersangka kemungkinan akan terus bertambah karena polisi masih melakukan penangkapan terhadap para pelaku.
Ibrahim menjelaskan, saat melakukan aksinya, para tersangka berbeda peran. Ada yang berperan membawa mobil dan mengangkut jenazah. Ada juga yang memprovokasi dan mengajak orang untuk melakukan aksi penjemputan.
"Dari para pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka ada yang merupakan anggota keluarga. Ada juga yang bukan keluarga pasien, hanya tetangga," katanya.
Kesepuluh tersangka itu sudah dijerat Pasal 214, 335, 207 KUHP dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.
Ribut status jenazah
Aksi penjemputan paksa ini bukan tanpa alasan. Para penjemput ingin ada kejelasan dari pihak rumah sakit mengenai status anggota keluarganya yang meninggal; apakah negatif atau positif corona.
Seperti yang terjadi di Rumah Sakit Dadi Makassar. Keluarga bersama puluhan orang yang mengambil secara paksa jenazah pasien berstatus PDP, tidak mendapatkan kejelasan soal statusnya.
Pasien rujukan dari Rumah Sakit Akademis Makassar ini, sejak Senin, 1 Juni 2020, sebelumnya menunjukkan gejala seperti batuk, demam tinggi, sesak napas, dan muntah.
Kemudian, pada tanggal 3 Juni 2020 pasien itu meninggal dunia. Pihak rumah sakit langsung menghubungi Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 untuk melakukan pemakaman sesuai protokol Covid-19.
Sementara pihak Humas RS Dadi Makassar menjelaskan belum sempat mengambil sampel swab terhadap pasien tersebut untuk diperiksa. Sehingga belum ada kejelasan apakah korban positif Covid-19 atau negatif. Hal inilah yang diduga kuat memicu keluarga nekat mengambil jenazah untuk dimakamkan secara agama.
Alasan ini kemudian menjadi poin dalam telegram Kapolri bernomor ST/1618/VI/Ops.2/2020 tanggal 5 Juni 2020.
Surat telegram Kapolri itu ditujukan kepada para Kasatgas, Kasubsatgas, Kaopsda, dan Kaopsres Opspus Aman Nusa II 2020 untuk berkoordinasi, bekerja sama dan mendorong pihak rumah sakit rujukan Covid-19 untuk melaksanakan tes swab terhadap pasien yang dirujuk.
"Terutama pasien yang sudah menunjukkan gejala Covid-19, memiliki riwayat penyakit kronis, atau dalam keadaan kritis," ujar Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komisaris Jenderal Polisi Agus Andrianto, Selasa, 9 Juni 2020.
Telegram itu juga memerintahkan para Kasatgas, Kasubsatgas, Kaopsda (Kapolda), dan Kaopsres (Kapolres) Opspus Aman Nusa II 2020 berkoordinasi dan bekerja sama dengan pihak rumah sakit rujukan Covid-19, untuk memastikan penyebab kematian pasien apakah benar-benar korban Covid-19 atau tidak.
Dengan ada kejelasan status pasien, apakah positif atau negatif Covid-19, sehingga diharapkan tidak akan timbul keraguan dari pihak keluarga kepada rumah sakit terkait tindak lanjut penanganannya.
Jika pasien terbukti positif, maka keluarga harus menyerahkan sepenuhnya kepada pihak rumah sakit untuk melaksanakan pemakaman sesuai dengan protokol Covid-19.
Namun jika terbukti negatif, pihak rumah sakit harus mengembalikan jenazah pasien ke keluarga untuk dimakamkan sesuai dengan ketentuan agama masing-masing. Meski begitu, dalam persemayaman dan pemakamannya tetap harus menerapkan protokol kesehatan, dengan menggunakan masker, jaga jarak aman dan mencuci tangan dengan sabun antibakteri.