Mencla-mencle soal Mudik Lokal
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengklarifikasi kesimpangsiuran informasi tentang boleh atau tidaknya warga mudik secara lokal saat libur Idul Fitri. Sang gubernur menegaskan bahwa mudik, dalam skala lokal maupun nasional, tetap dilarang demi membatasi pergerakan orang agar upaya menghentikan penularan wabah virus corona tidak sia-sia.
Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2020 yang memuat ketentuan izin bagi warga luar DKI Jakarta yang hendak masuk wilayah Ibu Kota bukanlah pelonggaran kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Soalnya, peraturan itu berlaku untuk aktivitas pelayanan publik yang bersifat esensial dan memang dikecualikan dalam masa PSBB, seperti kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, logistik, dan lain-lain.
Masalahnya, kesimpangsiuran informasi itu sudah telanjur meluas dan masyarakat galau untuk memedomani aturan atau anjuran yang mana. Kebijakan pemerintah DKI Jakarta tak selalu selaras dengan pemerintah pusat. Begitu pula dengan pemerintah daerah-pemerintah daerah di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Silang pendapat
Istilah “mudik lokal” sebetulnya hanyalah kreasi masyarakat yang memaknai silang pendapat pejabat publik tentang aktivitas pulang kampung saat Lebaran. Mulanya, karena wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada dasarnya dianggap satu kawasan atau satu kesatuan dan hanya dibatasi oleh ketentuan administratif.
Semua wilayah itu pun telah menerapkan PSBB yang berarti pembatasannya tidak hanya berlaku bagi warga Jakarta melainkan Jabodetabek.
Polri, sebagaimana dikatakan oleh Kepala Bagian Operasional Korps Lalu Lintas Komisaris Besar Polisi Benyamin, berpendapat bahwa mudik lokal di dalam kawasan Jabodetabek boleh saja meski harus tetap mematuhi aturan-aturan PSBB. Namun, sehari kemudian dia mengoreksi dengan mengatakan bahwa ketentuan itu bukan berarti membolehkan masyarakat untuk mudik melainkan “silaturahmi” saja.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Arifin juga sempat menafsirkan kebijakan PSBB di Jabodetabek berarti warga di kawasan itu boleh bepergian, termasuk untuk mudik, meski dia tak setuju dengan istilah mudik lokal. Alasannya, Jabodetabek ialah kawasan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan apalagi sama-sama menerapkan PSBB.
Anies Baswedan sampai harus mengoreksi pernyataan anak buahnya itu dengan menegaskan bahwa mudik tetap dilarang. Tidak ada istilah mudik lokal atau regional/nasional.
Dia malah memperkenalkan istilah baru, yakni mudik virtual, alias tidak mudik tetapi tetap bersilaturahmi dengan sanak-keluarga melalui fasilitas teknologi informasi semacam video call.
Virus Corona, katanya memperingatkan, tidak mengenal hari, termasuk hari Lebaran. Karena itu, tidak ada alasan untuk menoleransi warga bepergian demi mudik atau bersilaturahmi dengan kerabat meski hanya di kawasan Jabodetabek.
"Jangan kita membuat kondisi Jabodetabek kembali ke bulan Maret,” dia mewanti-wanti, “dan membuat usaha yang sudah berjalan selama dua bulan lebih ini menjadi sia-sia”.
Daerah-daerah penyangga DKI Jakarta punya sikap masing-masing atas mudik lokal itu. Pemerintah Kota Bekasi seirama dengan Jakarta yang melarang warganya mudik ke wilayah-wilayah di Jabobetabek.
Tetapi Kota Bogor, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Depok, dan Kabupaten Tangerang mengizinkan warganya mudik lokal meski dengan catatan tetap harus disiplin menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 seperti menjaga jarak dan rajin mencuci tangan.
Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, misal, mengaku tak kuasa mencegah warganya untuk mudik ke daerah-daerah sekitarnya. Andai dilarang pun dia meyakini masyarakat akan tetap bepergian untuk bersilaturahmi dengan saudara-saudara mereka.
Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, senada dengan Airin. Pemerintah Kota Bogor sebetulnya bisa saja melarang warganya untuk mudik lokal, tetapi selagi transportasi publik, misal, kereta commuter line alias KRL tetap beroperasi, tidak akan banyak gunanya membuat larangan bepergian.
Pemerintah Kota Bogor bersama kota-kota lain penyangga Jakarta bahkan sudah dua kali mengusulkan penghentian sementara operasional KRL. Namun pemerintah pusat menolaknya.
Bikin bingung
Kebijakan yang tak padu dan mencla-mencle alias berubah-ubah itu terang saja membikin publik bingung. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, bahkan mengakui dan memaklumi gejala itu. Selain karena perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, keterbatasan informasi yang masyarakat miliki juga bersumbangsih atas kebingungan itu.
Namun, pada dasarnya, kebijakan umumnya tetap sama, yakni mudik dilarang. Kementerian Perhubungan membuat aturan yang mengizinkan angkutan publik beroperasi lagi bukan untuk mengangkut atau memfasilitasi pemudik, melainkan pengecualian untuk mereka yang bekerja di sektor-sektor yang dikecualikan. Mereka yang diizinkan bepergian pun tetap dilarang memanfaatkan kebijakan khusus untuk mudik.
Rencana melonggarkan PSBB, sebagaimana mengemuka dalam dua pekan terakhir, bukan pula untuk mengizinkan masyarakat mudik. Rencana itu, Presiden Joko Widodo menegaskan, baru sebatas skenario dan belum diputuskan sampai sekarang. Jika kelak pemerintah mengambil kebijakan itu, semuanya akan didasarkan pada perhitungan-perhitungan yang terperinci dan terukur alias tidak sembarangan.