Ancaman Resesi Efek Corona Disiasati Hari Libur

Ilustrasi kendaraan pemudik.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nz/18

VIVA – Tanggal merah alias hari libur nasional bertambah banyak sepanjang 2020. Pemerintah merevisi ketetapan sebelumnya dan menambah empat hari cuti bersama sehingga total ada dua puluh empat hari libur (termasuk hari libur pada bulan-bulan yang telah lewat).

Tambahan empat hari cuti bersama yakni pada 28-29 Mei, 21 Agustus, dan 30 Oktober. Dua hari cuti bersama pada Mei ialah tambahan cuti bersama hari raya Idul Fitri. Satu hari tambahan cuti bersama lagi pada 21 Agustus untuk melengkapi libur Tahun Baru Hijriah. Sehari tambahan cuti bersama pada Oktober untuk melengkapi libur Maulid Nabi.

Sebetulnya tak disebut dengan terang alasan merevisi keputusan yang disepakati oleh empat menteri terkait itu. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, hanya menyatakan bahwa penambahan hari libur dan cuti bersama sebagai stimulus atau rangsangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sang Menteri bahkan berargumentasi secara normatif bahwa keputusan itu agar masyarakat saling mengenal dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak dijelaskan bagaimana hari libur yang lebih banyak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bukannnya malah menurunkan produktivitas.

Ancaman Resesi

Pemerintah menyadari situasi ekonomi dunia sedang lesu dalam beberapa tahun terakhir dan belum pulih sampai sekarang. Ditambah lagi wabah virus corona jenis baru yang dinamai Covid-19 kian menghantui dunia dan telah menjangkiti 110 negara, termasuk Indonesia. Dunia menghadapi ancaman resesi.

Banyak ahli telah memperingatkan ancaman merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat faktor global dan domestik—dampak wabah corona atau faktor lain. Pakar ekonomi Rizal Ramli, misal, mencatat faktor wabah corona ditambah skandal besar di PT Jiwasraya dan PT Asabri berpotensi memicu krisis ekonomi di Indonesia.

Dia mencontohkan, pertumbuhan kredit di Indonesia sekarang berkutat di angka 4 persen, merosot dari 6,02 persen pada 2019. Padahal, menurut Rizal, melihat banyak hal yang telah dirintis oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode pertamanya, mestinya pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-18 persen.

Diakui atau tidak, wabah corona mulai dirasakan dampaknya bagi perekonomian nasional. Rizal bahkan membuat prediksi muram atas pertumbuhan kredit yang bisa saja menjadi minus satu persen.

Wabah corona yang belum diketahui sampai kapan meredanya, ditambah sejumlah gelembung masalah ekonomi, akan membuat Indonesia berpotensi mengalami krisis pada kuartal kedua 2020. Situasi terburuknya adalah ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3 persen.

Pemerintah Indonesia menyiasatinya dengan memperbanyak hari libur. Ringkasnya, pemerintah berharap masyarakat dapat memanfaatkan hari-hari libur itu untuk berwisata dan berbelanja, misalnya, ketika mudik Lebaran nanti, sehingga perekonomian menjadi tak lesu-lesu amat meski ada wabah corona. Industri kreatif seperti kuliner dan sejenisnya diyakini akan bergeliat.

Seperti yang disampaikan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, seusai rapat dengan menteri Muhadjir dan dua menteri lainnya di Jakarta, pemerintah menetapkan dua puluh empat hari libur/cuti bersama itu berkaca pada tahun 2018. “Ternyata,” katanya, “pertumbuhan ekonomi tahun 2018 itu lebih baik karena, kalau dilihat liburnya, lebih lama satu hari”.

Ida mengklaim, keputusan itu juga sudah dikoordinasikan dengan para pengusaha, terutama dengan Kamar Dagang dan Industri dan Asosiasi Pengusaha Indonesia. Mereka, katanya, meyakini penambahan empat hari libur itu tidak akan menurunkan produktivitas. Malahan, dia berdalih, para pekerja akan meningkat produktivitasnya kalau habis berlibur karena ada semangat baru.

Kebijakan Aneh

***

Sayangnya tak semua setuju dengan resep memperbanyak hari libur itu. Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), berpendapat bahwa belum tentu pertumbuhan ekonomi bakal otomatis naik seiring penambahan hari libur atau cuti bersama.

Kalau yang diharapkan salah satunya di bidang pariwisata, misalnya, menurut Bhima, sektor itu justru sekarang satu di antara yang paling terdampak wabah corona. Sebab, orang berpikir dua kali untuk berlibur di tengah ancaman wabah corona di mana-mana. Lagi pula, tak ada yang tahu kapan wabah itu bakal mereda, tidak hanya di Indonesia melainkan seluruh dunia.

“Cukup aneh kalau ada dampak libur yang signifikan ke ekonomi,” katanya mengkritik. “Yang terjadi justru masyarakat lebih banyak berdiam di rumah. Terlebih daya beli masyarakat sedang lesu. Mungkin kalau berdampak ke pesanan antar makanan yang naik”.

Selain dianggap aneh, perubahan kebijakan di tengah jalan seperti itu pertanda buruknya perencanaan. Bahkan, menurut anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Mardani Ali Sera, bisa jadi kebijakan itu pun diputuskan atas pertimbangan yang tidak matang dan berpeluang diubah di kemudian hari.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menganalogikan negara ini seperti kereta dengan rangkaian gerbong yang panjang. “Perubahan mendadak dapat membuat rakyat sebagai penumpang dalam gerbong pembangunan ini akan oleng,” katanya.

Kalaupun pemerintah meyakini penambahan hari libur dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, mesti diungkap juga target-target pencapaiannya secara statistik sehingga publik dapat mengukur tingkat keberhasilannya.