Reynhard Sinaga, Predator Seks dan Dugaan Psikopat

Reynhard Sinaga Memenuhi Halaman Depan Media-media Inggris
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Pengadilan Negeri Inggris menjatuhkan putusan penjara seumur hidup untuk Reynhard Sinaga (36 tahun), pria asal Indonesia yang juga mahasiswa S-3 di Manchester, Inggris. Reynhard Sinaga divonis atas 159 dakwaan kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 korban, semuanya pria. Perlakuan keji tersebut ia lakukan dalam rentang waktu 2,5 tahun, sejak 1 Januari 2015 hingga 2 Juni 2017.

Saat membacakan putusannya, Hakim Suzanne Goddard menyebutkan Reynhard sama sekali tidak menunjukkan penyesalan dan tidak mempedulikan kondisi korban ketika melakukan aksinya. Dalam satu sidang, seorang korban yang memberi kesaksian bahkan menyebut pria berkacamata itu sebagai 'monster.' Dalam persidangan juga diungkapkan, Reynhard bahkan melakukan perkosaan berkali-kali pada beberapa korban.

Pria yang digambarkan sebagai seorang yang cerdas itu melakukan aksinya dengan mengajak korban yang tampak mabuk untuk ikut ke apartemennya yang berlokasi di wilayah ramai di Manchester. Ia lalu memberi korban minuman, yang dicurigai telah dicampur obat bius GHB (gamma hydroxybutyrate), yaitu obat bius yang menyerang sistem saraf. Selama korban tak sadar, Reynhard melakukan aksi gilanya dan merekam dengan dua ponselnya. 
 
Awal kasus ini terungkap pada 2 Juni 2017, setelah korban terakhir tersadar ketika Reynhard tengah melakukan aksinya. Ia memukul Reynhard, merampas salah satu ponsel dan melarikan diri. Korban langsung melaporkan kasusnya ke Kepolisian Manchester Raya. Polisi tak langsung percaya, karena ketika dicek ke apartemen Reynhard dalam kondisi tak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit, dan setelah tersadar menanyakan ponselnya, dan berusaha merampas dari polisi. Polisi lalu menahan ponsel tersebut dan akhirnya menemukan puluhan rekaman video Reynhard ketika melakukan aksinya.

Tanggal 3 Juni 2017, Reynhard ditangkap. Awalnya Reynhard mengatakan hubungan seks yang terekam adalah suka sama suka. Tapi polisi tak percaya. Kepolisian Manchester Raya lalu melakukan investigasi atas kasus ini, yang dinamakan 'Operation Island.' Polisi berhasil menemukan bukti-bukti dari dua iPhone, lima laptop, dan empat penyimpan data dengan total dokumen sebanyak 3,29 terabite. 

Satu demi satu rekaman ditemukan. Total sekitar 193 pria menjadi korban perilaku bejat Reynhard. Polisi mulai melacak para korban. Hampir 70 orang berhasil diidentifikasi. Usia mereka berkisar antara 17 hingga 36 tahun. Kebanyakan tak menyadari bahwa mereka menjadi korban perkosaan, dan baru tahu apa yang terjadi setelah dikontak dan diberitahu polisi. Dalam persidangan terungkap, rekaman tindak perkosaan berdurasi mulai dari belasan menit hingga lebih dari enam jam.

Reynhard Tenang, Happy dan Tak Merasa Bersalah

***

Sejak tertangkap, Reynhard tak pernah mengaku bersalah. Ia terus mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar suka sama suka. Bahkan meski polisi sudah membeberkan perilakunya, Reynhard tetap teguh pada pendiriannya. 

Pejabat konsuler KBRI, Gulfan Afero, mengaku pihaknya telah dikontak polisi Manchester sejak 5 Juni 2017. Gulfan, yang menjabat sebagai koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI London, mengatakan sejak itu pihak KBRI terus mendampingi Reynhard. Bahkan selama empat kali persidangan, pihaknya selalu hadir. 

Kondisi Reynhard, menurut Gulfan Alfero, tidak menunjukkan stres. "Saya tiga kali bertemu [di penjara], Reynhard tak terlihat dalam kondisi stres. Dia happy , sehat, tenang, dia tahu kasus yang dihadapi. Dia tidak menyampaikan penyesalan karena dia menyatakan tidak bersalah dan tidak merasa terbebani atas kasusnya. Dia terlihat biasa-biasa saja," kata Gulfan seperti dikutip dari BBC, 6 Januari 2020.

Gulfan juga mengatakan, dalam sebuah pembicaraan dari hati ke hati, Reynhard mengakui adalah seorang homoseksual dan mengaku telah berhubungan seks dengan hampir 200 laki-laki.

Goddart, salah satu hakim yang memimpin empat sidang kasus perkosaan berantai ini mengatakan menerima surat dari ibu dan adik perempuan Reynhard. "Saya telah membaca dua referensi dari ibu dan adik perempuan Anda. Mereka tak tahu bahwa Anda adalah pemerkosa berdarah dingin, licik dan penuh perhitungan," kata hakim dalam putusan sidang kedua pada Juni 2019.

Tampilan Reynhard yang tetap tenang, happy dan tak merasa bersalah, berbeda jauh dengan kondisi korban-korbannya. Polisi Manchester akhirnya bekerja sama dengan unit rumah sakit yang khusus menangani serangan seksual di Manchester, Saint Mary`s Sexual Assault Referral Centre, karena sebagian korban menjadi trauma setelah menyadari mereka adalah korban perkosaan.

Kepolisian Manchester mengatakan para korban lain sulit diidentifikasi karena stigma dan perasaan malu menjadi korban perkosaan pria. Sebagian korban mengatakan mereka bahkan belum memberitahu keluarga atau teman karena trauma. Sebagian lainnya mengatakan mereka sangat khawatir berita dari pers akan mengungkap mereka sebagai korban perkosaan Reynhard Sinaga.

Reynhard Psikopat atau Bukan?

***

Sikap Reynhard yang tetap tenang, happy dan tak merasa bersalah membuat publik marah. Apalagi ia telah melakukan perbuatan keji tersebut pada hampir 200 orang dan membekaskan trauma pada korban-korbannya.

Dua psikolog klinis dari Yayasan Pulih -sebuah yayasan yang bekerja untuk korban perkosaan dan trauma- Gisella Tani Pratiwi, M.Psi, Psikolog dan Lintang Mas Melati, M.Psi, Psikolog mengaku tak dapat menjabarkan apa yang membuat Reynhard melakukan hal tersebut. Kedua psikolog ini kompak mengatakan bahwa secara kode etik profesi mereka tak bisa menjabarkan kasus, apalagi tanpa data primer dan tak menangani kasus secara langsung. 

"Tapi secara umum, latar belakang perilaku pelaku kekerasan seksual memang bisa beragam dan dinamikanya tidak bisa disamakan/digeneralisir. Misalnya karena motivasi dendam, gangguan psikologis, trauma masa lalu dan sebagainya," ujar keduanya kepada VIVAnews melalui pesan singkat, Selasa, 7 Desember 2019.

Kedua psikolog ini juga tak mengatakan dengan tegas, apakah yang dilakukan Reynhard masuk kategori perbuatan seorang psikopat atau orang dengan gangguan kepribadian anti-sosial. Keduanya hanya menjabarkan ciri-ciri psikopat berdasarkan teoritisnya. 

"Ciri-ciri psikopat atau orang dengan gangguan kepribadian anti-sosial di antaranya adalah tidak memiliki empati terhadap orang lain, tidak peduli dengan benar-salah, kerap berbohong, memanipulasi, dan mengeksploitasi orang lain untuk keuntungan diri sendiri tanpa merasa bersalah atau penyesalan. Untuk memahami seseorang psikopat atau tidak, diperlukan pemeriksaan yang detail," ujarnya menerangkan.

Soal penyebaran wajah Reynhard yang terpublikasi secara luas, kedua psikolog ini mengatakan bahwa pada dasarnya setiap individu, termasuk pelaku kejahatan memiliki HAM yang perlu dilindungi. Namun untuk penyebaran identitas dan wajah pelaku, ujar mereka, misalnya pada kasus ini, maka perlu dicek dari perspektif keamanan masyarakat luas dan norma hukum yang berlaku. 

Reynhard melakukan perkosaan pada sesama jenisnya. Pemerkosaan yang dilakukan Reynhard membantah stigma bahwa pria tak mungkin menjadi korban pemerkosaan, apalagi sampai trauma. Dari kampanye yang dilakukan Yayasan Pulih di Instagram, disebutkan pria bisa menjadi korban pemerkosaan dan trauma yang dialami pria korban pemerkosaan bisa bermacam-macam. Mulai dari penyangkalan diri, self esteem yang buruk, masalah interpersonal, post traumatic stress disorder (PTSD), gangguan kecemasan, depresi, mimpi buruk, hingga gangguan tidur. 

Kondisi tersebut persis seperti yang disampaikan oleh Kepolisian Manchester tentang kondisi korban pemerkosaan Reynhard saat ini. Para korban mengalami trauma mendalam, dan sebagian "mencoba bunuh diri" akibat tindakan "predator setan" Reynhard."Bila tidak ada ibu saya, saya mungkin sudah bunuh diri," kata Simkin mengutip seorang korban, seperti dilaporkan oleh BBC.

Selain itu, baik Gisella maupun Lintang juga mengatakan, apa yang dilakukan oleh Reynhard tak terkait dengan orientasi seksualnya. Menurut keduanya, individu dengan ragam orientasi seksual apapun termasuk heteroseksual dan homoseksual memiliki kemungkinan menjadi pelaku kekerasan seksual. Tidak semua individu gay misalnya, merupakan pelaku kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual yang heteroseksual pun banyak ditemukan. 

"Jadi tidak tepat jika menyimpulkan bahwa orientasi seksual seseorang bisa membuat ia menjadi seorang pelaku kekerasan seksual," ujar mereka menegaskan.