Erupsi Krakatau dan Bayangan Gelap Tsunami Senyap
- ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki
VIVA – Setahun lalu, 22 Desember 2018, pesisir Banten dan Lampung dihantam tsunami. Lebih dari 400 orang tewas tersapu ombak tinggi. Aktivitas vulkanik gunung Anak Krakatau (GAK) ditengarai sebagai sumbernya.
Saat itu terjadi erupsi di GAK. Erupsi terjadi dengan tinggi kolom abu sekitar 400 meter di atas puncak dan 738 meter di atas permukaan laut. Pada saat itu GAK masih berada di Level II atau Waspada. Meski kekuatan erupsi tak besar, tapi telah memicu terjadinya longsor di lereng GAK seluas 64 hektare.
Peristiwa erupsi tercatat di seismograf PVMBG atau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, namun tak mencatat potensi tsunami. Sebab, sensor seismograf hanya mencatat potensi tsunami yang bersumber dari gempa tektonik, bukan dari erupsi dan longsoran gunung. Alat pendeteksi tsunami saat itu tak memberi peringatan. Dan malam itu, tsunami datang dalam senyap.
Provinsi Banten dan Lampung, yang berada paling dekat dengan GAK terkena imbasnya. Sekitar 430 orang dinyatakan tewas, 7.200-an luka-luka, dan 150-an orang dinyatakan hilang. Ratusan bangunan hancur dan rusak tersapu gelombang.
Jelang akhir 2019, gunung Anak Krakatau kembali beraksi. Senin pagi, hanya dua hari jelang pergantian tahun, gunung yang berada di tengah Selat Sunda tersebut kembali erupsi. Ketinggian kolom abunya bahkan mencapai 2.000 meter dari puncak kawah. Kepala Pos Pantau gunung Anak Krakatau Andi Suandi membenarkan terjadinya erupsi.
"Benar, telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau pagi tadi pukul 07.53 WIB dengan tinggi kolom abu teramati 2.000 meter di atas puncak. Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal, conding ke arah selatan," ujar Andi ketika dikonfirmasi melalui pesan singkatnya, Senin 30 Desember 2019.
Pemetaan di Dasar Laut
***
Longsor di lereng GAK yang diduga menjadi penyebab terjadinya tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 silam akhirnya berhasil dipetakan. Satu tim peneliti telah coba merekonstruksi apa yang terjadi sejak peristiwa itu. Dikutip dari BBC, 16 Desember 2019, mereka menggunakan peralatan sonar untuk mendapatkan gambaran bongkahan-bongkahan batu besar yang meluncur ke lautan ketika satu sisi Anak Krakatau runtuh.
Tim ini melakukan penelitian lebih mendalam dengan menyelidiki massa gunung berapi yang hilang untuk mendapatkan deskripsi yang lengkap tentang peristiwa Anak Krakatau. Menggunakan alat pemancar sonar atau echosounder multibeam, Prof Dave Tappin dan sejumlah rekannya mencoba memetakan dasar laut.
"Model awal keruntuhan didasarkan pada citra satelit yang hanya melihat bagian subaerial dari gunung berapi," kata ilmuwan Survei Geologi Inggris itu ketika memaparkan hasil temuannya pada Pertemuan Musim Gugur Tahunan American Geophysical Union di San Fransisco.
"Kami melakukan pencitraan pada kedalaman 200 meter dan melihat balok berbentuk segitiga, yang pada dasarnya koheren, dan mereka membentuk- sebelum gunung itu runtuh- sisi barat daya Anak Krakatau," ujarnya menambahkan.
Puing itu luruh 2.000 m dari gunung berapi. Survei seismik yang juga dilakukan oleh tim itu menunjukkan bagaimana materi ini berada di atas deposit yang lebih tua. Pencitraan bawah air ini juga telah memungkinkan tim Prof Tappin untuk merevisi estimasi volume batu yang luruh. Dan jumlahnya lebih kecil dari yang diperkirakan sebelumnya.
Sebelumnya, berdasarkan perhitungan di atas air terhadap gunung yang dahulunya setinggi 335 meter itu menunjukkan angka 0,27 km kubik. Pengukuran baru menunjukkan bahwa yang luruh ke laut adalah 0,19 km kubik, hampir 200 juta meter kubik. Simulasi asli mereka tentang bagaimana gelombang yang dihasilkan oleh reruntuhan, yang bergerak melintasi Selat Sunda, telah terbukti cocok dengan apa yang diamati pengukur pasang laut dan dari apa yang diketahui dari kerusakan di sepanjang pantai terdekat.
Tim Prof Tappin juga menemukan bahwa tingkat kelongsoran lereng gunung-sudut kemiringan di mana massa batuan meluncur- lebih dangkal daripada asumsi sebelumnya. Namun, sekarang jelas bahwa lereng yang runtuh memasuki air jauh lebih dekat permukaan.
"Kami telah memperbaiki pemodelan dengan resolusi yang lebih baik berdasarkan batimetri (pengukuran kedalaman laut) baru dan hasilnya hampir sama, meskipun dengan volume batu yang lebih kecil," ujar salah satu anggota tim yang juga pakar tsunami, Prof Stephan Grilli dari University of Rhode Island.
"Luncuran yang lebih dangkal terjadi hampir seperti lompatan ski. Keruntuhan yang lebih dekat ke permukaan membuatnya lebih tsunamigenik (berpotensi menghasilkan tsunami) daripada keruntuhan yang lebih curam, yang akan membawa sedimen turun lebih dalam, lebih cepat," ujarnya menjelaskan.
Anggota tim lainnya, Prof Hermann Fritz dari Institut Teknologi Georgia, meninjau kerusakan di pantai-pantai terdekat. Ia menyimpulkan tinggi gelombang tsunami dari studi di lapangan, dan seberapa cepat air mencapai daratan. Di pulau-pulau di sekitar Anak Krakatau, pohon hingga 80 meter di atas permukaan laut normal tercabut dari akarnya. Sebagian besar energi gelombang mengambil jalur dari gunung berapi ke arah kehancuran yang sama - ke barat daya.
Peristiwa itu menghasilkan gelombang setinggi 10 meter yang menyerang sudut Taman Nasional Ujung Kulon di Pulau Panaitan - berjarak 50 km dari Anak Krakatau.
"Penduduk lokal sangat beruntung bahwa keruntuhan itu terjadi di arah barat daya, ke arah di mana sedikit orang tinggal - menuju taman nasional," ujar Prof Fritz.
"Jika arah keruntuhannya berbeda, hasilnya bisa sangat berbeda juga dalam hal ketinggian tsunami di daerah berpenduduk," ujarnya menambahkan.
Gunung Anak Krakatau Setahun Terakhir
***
Erupsi GAK yang terjadi di akhir tahun 2019 melempar ingatan publik pada erupsi, yang berujung tsunami pada 2018 itu. Trauma wisatawan yang belum pulih bahkan hingga sekarang membuat pantai di pesisir selatan Banten tak sesemarak tahun-tahun sebelum terjadi tsunami. Meski peristiwa alam tak pernah bisa diprediksi, erupsi kali ini tetap menciutkan nyali.
Ketinggian gunung berapi di tengah perairan Selat Sunda itu sebelum longsor mencapai 338 meter dari permukaan laut (mdpl). Kemudian, usai longsor dan menyebabkan tsunami, ketinggiannya berkurang menjadi 110 mdpl. Kini, setelah satu tahun tsunami, ketinggian bertambah menjadi 157 mdpl dalam kurun waktu satu tahun.
Berdasarkan catatan PVMBG, (Gunung Anak Krakatau) telah erupsi sebanyak 106 kali sepanjang tahun 2019 dan kegempaannya terbanyak berjumlah 80 kali dalam sehari.
Meski aktivitas erupsi tinggi dan Senin kemarin terjadi peningkatan, status GAK masih di level II. Kepala Pos Pantau GAK Lampung mengatakan, GAK sedang membangun tubuhnya setelah longsor pada 2018 lalu.
"Kekuatan erupsinya lumayan, tapi tidak terlalu signifikan. Ini (Gunung Anak Krakatau) kan sudah lama tidak ada aktivitas. Letusan juga menandakan kalau gunungnya sedang membangun tubuhnya lagi, setelah longsor pada tahun lalu (2018)," kata Kepala Pos Pantau GAK Lampung Andi Suandi.
"Untuk sekarang kegiatannya sedikit menurun, kegempaannya didominasi hembusan dan frekuensi rendah saja. Untuk waspada," ujarnya menambahkan.
Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, wisatawan dan warga setempat dilarang mendekati gunung hingga radius dua kilometer.