Polemik Salam Lintas Agama

Warga melintas di depan mural bertema keberagaman umat beragama di Marunda, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA –  Selama lima tahun masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi selalu mengucapkan beragam salam setiap akan membuka sebuah acara. Biasanya, ia akan memulainya dengan mengucapkan "Assalamu'alaikum Wr. Wb," lalu disambung dengan "Salam Sejahtera," kemudian "Om Swasti Astu Om" dan ditutup dengan "Namo Buddaya."

Jokowi menyampaikan salam tersebut, bahkan ketika siaran langsung di hadapan stasiun televisi dan puluhan wartawan. Namun setelah lima tahun Jokowi mengucapkan salam tersebut tanpa kritik, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur lalu mengeluarkan imbauan. MUI meminta pejabat beragama Islam di Indonesia tidak mengucapkan salam lintas agama di forum resmi.

Imbauan MUI Jawa Timur yang diteken Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori ini,  menganggap mengucapkan salam lintas agama sebagai sebuah perbuatan bid'ah yang dapat merusak kemurnian agama Islam. 

Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.

"Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya," demikian bunyi imbauan tersebut.

Ulama Beda Suara

Imbauan MUI Jatim membuat ulama dan tokoh agama dalam polemik. MUI Jawa Barat mendukung imbauan MUI Jatim dan berencana mengajukan imbauan tersebut ke Komisi Fatwa MUI Pusat dengan tujuan mendapat kajian dan pertimbangan menyeluruh untuk menghindari unsur menyudutkan agama lain.

“Kami kaji dulu, sekarang belum bisa dikeluarkan. Intinya, saya paham kalau sebagai pejabat muslim bertugas menjaga toleransi,” ujar Ketua MUI Jabar, Rachmat Syafe’i, Senin 11 November 2019.

Rachmat memastikan, imbauan untuk tidak mengucapkan salam hanya dari satu agama saja tidak ada unsur menyudutkan agama lain. Dipastikan, lanjut Rachmat, toleransi antarumat beragama tetap kokoh dengan menghormati satu sama lain.

“Toleransi itu bukan berarti tidak ada batasnya, jadi mengakui ada agama lain bukan berarti membenarkan. Sekarang mengenai bagaimana (mengucapkan salam dengan bahasa) mewakili agama lain seperti Konghucu,” kata Rachmat. 

Sedangkan Yahya Zainul Maarif, atau lebih akrab disapa Buya Yahya, dalam channel Youtube Al-Bahjah TV, yang dipublikasikan pada 9 April 2019, menjelaskan soal hukum mengucap salam lintas agama. Menurut Buya Yahya kalau bisa, lebih baik diubah dengan salam tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama. Atau mengucapkan salam kepada orang di luar Islam dengan kalimat sapaan, selamat pagi, selamat sore. Dan itu sah-sah saja. Dengan catatan, maknanya benar. 

Katib Syuriah NU Jatim, Syafruddin Syarif, mengatakan, secara organisasi NU belum mengeluarkan pernyataan resmi soal itu. Namun, secara pribadi dia sependapat dengan imbauan MUI Jatim. Menurut Syafruddin, dalam Islam tidak ada kewajiban mengucapkan salam khas agama lain kendati pun dalam acara resmi. 

"Tidak perlu yang Islam menggunakan salamnya Budha, Hindu dan sebagainya. Kalau itu sudah pas menurut saya lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku," katanya dihubungi wartawan pada Senin, 11 November 2019.

Toleransi, menurutnya, pada prinsipnya adalah saling menghargai antarsatu dengan yang lain. Bukan mencampuradukkan salam agama. "Toleransi itu tidak perlu masuk melaksanakan agama masing-masing," ujar Syafruddin.

Pendapat berbeda disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Najib Hamid. Dia mengatakan, salam lintas agama tidak masalah jika dimaksudkan hanya sebagai sapaan dalam sebuah kegiatan. Senyampang tidak mengandung tujuan menyerempet akidah, hal itu tak perlu dipersoalkan.

"Kalau sepanjang seremonial biasa ya enggak apa-apa. Memang enggak nyaman buat orang-orang tertentu. Tapi anggap itu sekedar salam menyapa saja. Tapi ndak ada hubungannya dengan akidah," tutur Najib.

Pejabat Tak Sepakat

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma menyatakan tidak akan mengikuti imbauan Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur yang meminta agar pejabat Muslim tidak mengucapkan salam lintas agama dalam setiap acara resmi. Sebagai kepala daerah, Risma mengaku harus bersikap hangat kepada seluruh warganya yang berbeda-beda keyakinan.

"Kan enggak apa-apa menghormati orang lain. Saya sampaikan tidak bisa [mengikuti imbauan MUI Jatim soal salam lintas agama]. Aku kepala daerah wargaku reno-reno (beragam) agamanya," kata Risma di Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, pada Senin, 11 November 2019.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum juga mendukung rencana Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa bagi pejabat daerah untuk tidak mengucapkan salam dari agama lain dalam sambutan saat acara resmi.

“Adalah ahli agama, kiai, ilmunya diakui, ahlak dan moralnya dihargai, bukan sembarang orang. MUI adalah yang resmi, jadi sudah ditunjang dengan keilmuan, aqidah yang difahami dan memang kewajiban kepada umat meluruskan dalam beragama,” ujar Uu, Selasa 12 November 2019.

Uu memastikan imbauan tersebut tidak akan memunculkan situasi yang akan menyudutkan kepada agama lain hingga memunculkan persepsi seolah-olah tidak dianggap.

“Kami menghormati apa yang diimbau MUI. Kalau sudah menyangkut aqidah, sudah tidak ada maaf. Dalam aqidah tidak ada toleransi, maksudnya Lakum Dinnukum Waliyaddin (Q.S Al-Kafirun) saling menghormati bukan berarti masuk pada persamaan aqidah,” katanya.

Hingga tulisan ini diturunkan, Menteri Agama Fachrul Razi menolak berkomentar.  Kepada wartawan, Razi mengaku belum mengetahui duduk persoalan dengan jelas. Karena itu ia mengaku memilih berhati-hati menyampaikan komentar. 

Sementara Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi meminta kepada semua pihak hendaknya menghentikan perdebatan masalah ucapan salam karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahpahaman dan mengganggu harmoni kehidupan umat beragama.

"Kami menghargai adanya berbagai pandangan dan pendapat baik yang melarang maupun yang membolehkan, semua itu masih dalam koridor dan batas perbedaan yang dapat ditoleransi," ujar Zainut.

Bagi pegiat perdamaian dari International Conferences on Religion and Peace (ICRP) , Achmad Nurcholish, apa yang dilakukan oleh Jokowi bukan masalah. Sebab, itu adalah wujud dari implementasi ukhuwah insaniyah,  juga implementasi dari kata 'lita'arafu' (saling mengenal), dalam surat al-Hujurat ayat 13.

"Juga sebagai bentuk toleransi, bahwa pada hakikatnya, salam adalah sebuah perekat hubungan antarumat beragama," ujar Nurcholish kepada VIVAnews, Selasa, 12 November 2019.

Menurut Nurcholish,  dalam konteks masyarakat majemuk, saling memberi salam itu wujud dari penghargaan dan penghormatan pada sesama sekaligus pengakuan bahwa kita berbeda-beda.

Nurcholish, yang juga mengelola pesantren Nusantara di Beji ini juga mengomentari ulama yang memposisikan ucapan salam itu sebagai bid'ah. Menurutnya, kalau pun itu dianggap bid'ah, maka masuk kategori bid'ah hasanah. "Mengucapkan itu juga tidak melanggar prinsip lakum dinukum waliyadin. Justru memperkokoh itu," ujarnya. 

Menurutnya, sebagian ulama itu memaknai "lakum dinukum" dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Takut kalau kebablasan dan khawatir memperlemah iman.

Nurcholish juga setuju untuk menggunakan ucapan yang lebih universal seperti selamat pagi, selamat sore, dan seterusnya, seperti usulan alm.Gus Dur dulu. Tapi,  ujarnya, bukan berarti kalau menggunakan ucapan-ucapan khas agama itu salah.

Nurcholish menjelaskan, di ICRP,  justru lebih senang dengan ucapan selamat pagi, siang dan seterusnya. Sebab kalau disampaikan satu-satu dengan salam agama, bisa habis satu jam hanya untuk ucapan salam. Karena ICRP mengakui ada 11 agama dan ratusan jenis penghayat kepercayaan. [mus]