Reformasi dalam Bahaya, Mahasiswa Bergerak Serentak
- VIVAnews/ Cahyo Edi (Yogyakarta)
VIVA – Revisi UU KPK yang baru saja disahkan, dan rencana pengesahan sejumlah UU yang kontroversial dan masuk hingga jauh ke ranah privat membuat mahasiswa gerah. Sejak Kamis pekan lalu, ketika DPR mengesahkan revisi RUU KPK sejumlah mahasiswa di Jakarta melakukan aksi. Kamis, 19 September 2019, mereka berdemonstrasi di depan Gedung DPR. Ribuan mahasiswa Jakarta dan Bandung tak beranjak sejak pukul dua siang hingga jam 10 malam.
Hari yang sama, di depan gedung KPK, aksi mahasiswa yang melakukan penolakan terhadap RUU KPK dan RKUHP mencapai ratusan. Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Universitas Paramadina, Universitas Trisakti, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), serta berbagai perguruan tinggi lainnya bergabung.
“KPK dikebiri, KPK dikerangkeng! KPK yang seharusnya bisa bekerja optimal malah dilemahkan,” begitu mereka teriakkan berulang kali.
Aksi mahasiswa di Jakarta akhirnya memancing mahasiswa lain dari berbagai kota. Sejak Sabtu, 21 September 2019 beredar seruan melalui WhatsApp grup. Seruan paling kencang berasal dari mahasiswa Yogyakarta. Menggunakan kode "#Gejayan Memanggil," mahasiswa di Yogya diajak untuk turun ke jalan dan menyuarakan penolakan pada revisi RUU KPK dan menolak pengesahan RUU KUHP.
Seruang "Gejayan Memanggil," diinisiasi mahasiswa di Yogyakarta untuk turun berdemonstrasi pada Senin, 23 September 2019. Poster ajakan berdemo di Yogyakarta itu meluas dalam dua hari. Dampaknya, Minggu, 22 September 2019, mulai beredar ajakan dari mahasiswa di berbagai kota.
Isu yang mereka usung sama, menolak proses merongrong reformasi melalui revisi sejumlah UU. Berbagai poster digelar dengan kata-kata, "DPR Pekok," "Reformasi Dikorupsi," "Pak Jokowi, Matikan Asap Bukan KPK," dan sejumlah seruan sejenis yang intinya
Gelora Aksi Anak Negeri
Senin, 23 September 2019, aksi mahasiswa meluas di berbagai kota besar. Yogyakarta, Bandung, Makassar, Surabaya, Malang, Bukittinggi, dan Jakarta. Meski berbagai perguruan tinggi di Yogya mengeluarkan edaran dan melarang mahasiswa ikut aksi, namun mahasiswa tak peduli. Ribuan mahasiswa tumpah di Gejayan yang menjadi titik pusat. Beberapa ruas jalan di sekitar Gejayan, Yogyakarta, lumpuh.
Seruan "Gejayan Memanggil," mampu menggoyahkan tembok besar yang selama ini membuat aksi mahasiswa bergerak sporadis. Gejayan Memanggil adalah aksi dan pernyataan sikap mahasiswa Yogyakarta untuk memprotes kondisi negara belakangan ini.
Gejayan adalah catatan kelam bagi gerakan aksi di Yogya. 8 Mei 1998, bentrokan berdarah terjadi di Gejayan. Aksi mahasiswa menyuarakan keprihatinan dan menuntut Soeharto mundur berakhir dengan bentrokan antara mahasiswa dan aparat. Satu mahasiswa MIPA dari Universitas Sanata Dharma, Moses Gatutkaca tewas. Sejak itu Jalan Gejayan, yang kini bernama Jalan Affandi, dikukuhkan sebagai tonggak perlawanan mahasiswa Yogyakarta.
Hingga sore hari, aksi di Gejayan diberitakan berjalan tanpa tindakan represi dan berakhir dengan damai.
Di Jakarta, aksi mahasiswa terpusat di depan gedung MPR/DPR. Ratusan mahasiswa Universitas Indonesia, UIN Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Atmajaya, Universitas Ibnu Chaldun dan beberapa universitas lainnya bergabung. Kepala departemen kajian strategis BEM UI 2019 Elang, mengatakan saat ini reformasi yang telah dijalankan seperti telah tergerus dengan adanya beberapa undang-undang yang kontroversial.
"Revisi UU KPK hanya mengatur kewenangan KPK, sementara di RKUHP hukuman terhadap pelaku korupsi diturunkan dan di UU PAS, napi koruptor bisa cuti jalan-jalan koruptor, jadi negara ini seakan begitu mengakomodasi koruptor," kata Elang.
Menurutnya, Pemerintah dan DPR harus lebih bijak lagi dalam mengambil keputusan. "Kultur hukum negara kita saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kita menuntut penuntasan reformasi. Pemerintah harus restorasi kewenangan KPK. Mengembalikan demokrasi negara kita," ujarnya.
Mahasiswa di Jakarta mengusung enam tuntutan, yaitu batalkan revisi UU KPK, batalkan Pimpinan KPK terpilih, hapus pasal kontroversi dalam RUU KUHP, tolak polisi menempati jabatan sipil, tarik mundur polisi dan tentara di Papua, dan hentikan pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan dan operasional korporasi disana.
Berbarengan dengan aksi di Yogya dan Jakarta, ribuan mahasiswa di Malang juga menggelar aksi besar. Dari Tugu Malang, mereka bergerak mengepung gedung DPRD Malang, menyampaikan aspirasi melalui spanduk, poster dan orasi. Mahasiswa bahkan menolak bertemu dengan perwakilan anggota DPRD.
Aksi mahasiswa dengan mengusung isu yang sama juga terjadi di berbagai wilayah lain. Kalimantan Timur, Surabaya, Bukit Tinggi, Makassar, dan Bandung. Kebebalan DPR yang telah mengesahkan revisi UU KPK dan masih ingin mengesahkan UU yang kontroversi seperti RKUHP, tapi menolak mengesahkan RUU PKS membuat mahasiswa dan lini pegiat isu sosial politik gerah. Aksi diperkirakan masih akan terus berlanjut, dan membesar.
Seharian ini, sejumlah gambar poster yang mengajak mahasiswa turun ke jalan terus beredar. Mahasiswa Bandung mendapat ajakan dengan tajuk "Rakyat Gugat Negara." Seruan turun ke jalan itu beredar dan mengajak mahasiswa untuk berada di Gedung Sate, pada 24 September 2019, mulai pukul 09.00 WIB.
Poster ajakan turun ke jalan juga beredar untuk mahasiswa Surabaya. Ajakan dalam poster-poster itu meminta mahasiswa Surabaya melakukan aksi besar pada Kamis, 26 September 2019, dengan titik kumpul di Tugu Pahlawan, lalu bergerak ke Gedung DPRD Jawa Timur. Kalimat yang beredar sangat khas mahasiswa. "Kosongkan kelas, Pukul Balik Orbar," "Kamis, 26 September 2019, Seluruh Mahasiswa Surabaya Perkuliahan Beralih di Gedung DPRD Jawa Timur."
Di Jakarta, poster berwarna hitam dengan tulisan #REFORMASIDIKORUPSI juga mengajak mahasiswa dan pegiat sosial turun ke DPR pada 24 September 2019, pukul 13.00 WIB.
Istana Tak Peka
Aksi mahasiswa yang masif di berbagai kota mencuri perhatian Jokowi. Senin siang, 23 September 2019, Jokowi memanggil seluruh menteri ke istana. Sayangnya, tak ada kabar apa tindakan tegas yang akan dilakukan Jokowi untuk tuntutan yang disampaikan mahasiswa. Padahal aksi mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya, berpotensi makin membesar.
Tindakan yang diambil presiden, seperti disampaikan oleh Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko masih terasa normatif. Kepada wartawan, Moeldoko mengatakan Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan jajaran keamanan. Baik itu dari Polri maupun TNI. RUU yang mendapatkan penolakan, hanya ditunda pembahasan, bukan dibatalkan.
"Tadi sudah, kebetulan ada Kapolda dan Pangdam Jaya, semuanya diperintahkan untuk melakukan langkah-langkah yang proporsional," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin 23 September 2019.
Mantan Panglima TNI itu mengaku bahwa Presiden Jokowi sangat mendengarkan aspirasi-aspirasi dari masyarakat. Seperti penolakan terhadap RUU KUHP, di mana Presiden Jokowi sudah meminta Menkumham membatalkan pengesahannya. Sebab, menurut pengamatan Kepala Negara, setidaknya ada 14 pasal yang dianggap bermasalah.
Moeldoko berusaha meyakinkan wartawan bahwa Jokowi concern dengan isu ini. "Tapi intinya, Presiden sangat mendengarkan pandangan publik ya, sangat mengikuti dengan baik. Sehingga, dalam pertemuan konsultasi dengan DPR tadi, ada hal-hal yang memang bisa dilanjutkan, bisa di carry over," katanya.
Dengan begitu, pembahasan rancangan UU yang mendapat penolakan luas, bisa ditunda untuk sementara. Pembahasannya akan dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya, 2019-2024 yang akan dilantik pada 1 Oktober 2019.