Veronica Koman: Dicari Polisi, Dibela Pakar HAM PBB

Veronica Koman (kiri)
Sumber :

VIVA –  Lima ahli independen HAM PBB yang berstatus sebagai Pelapor Khusus (Special Rapporteur) awal pekan ini menerbitkan rilis tentang kasus Veronica Koman dan Papua. Melalui rilis itu, para Pelapor Khusus PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut status tersangka Veronica Koman dan melindungi hak asasi masyarakat, terutama para aktivis yang mengadvokasi demonstran Papua Barat.

Surat yang dirilis pada 16 September 2019 ditandatangani oleh Pelapor Khusus PBB untuk Hak Berkumpul dan Berkumpul Secara Damai Clement Nyaletsossi Voule (Togo), Pelapor Khusus PBB untuk menghargai Hak Berekspresi dan Menyatakan Pendapat David Kaye (USA), Pelapor Khusus PBB Untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Penyebab dan Konsekuensinya Dubravka Šimonovi (Kroasia), Ketua Kelompok Kerja tentang Diskriminasi terhadap Perempuan dan Anak Perempuan Meskerem Geset Techane (Ethiopia), dan Pelapor Khusus PBB tentang Situasi Pembela HAM Michel Forst (Prancis).

"Kami menyerukan langkah-langkah segera untuk memastikan perlindungan kebebasan berekspresi dan mengatasi tindakan pelecehan, intimidasi, campur tangan, pembatasan yang tidak semestinya, dan ancaman terhadap mereka yang melaporkan protes," kata para Pelapor Ahli PBB. 

Para ahli juga menyatakan keprihatinan serius atas laporan yang mengindikasikan bahwa pihak berwenang mempertimbangkan untuk mencabut paspor Veronica, memblokir rekening banknya dan meminta Interpol untuk mengeluarkan 'Red Notice' untuk menemukan perempuan muda itu karena ia dikabarkan berada di luar negeri. Para ahli menekankan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tidak hanya merusak diskusi tentang kebijakan Pemerintah, tetapi juga membahayakan keselamatan para pembela HAM yang melaporkan dugaan pelanggaran.

"Kami bisa menerima tindakan yang diambil oleh Pemerintah terhadap insiden rasis, tetapi kami mendesaknya untuk mengambil langkah segera untuk melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi dan menjatuhkan semua tuduhan terhadapnya sehingga ia dapat terus melaporkan secara independen tentang hak asasi manusia. situasi di negara ini," demikian para ahli menyampaikan pendapatnya.

Rilis Internasional Veronica 

Rilis yang dikeluarkan oleh Pelapor Khusus PBB hanya berselang sehari setelah Veronica Koman mengeluarkan pers rilis untuk dunia internasional dan publik dalam negeri. Dalam pernyataan pers yang ia rilis pada 14 dan 15 September 2019, Veronica Koman menjelaskan apa yang terjadi dan apa saja yang ia alami setelah kepolisian menyatakan bahwa ia adalah dalang di balik kerusuhan Papua. 

Melalui rilis tersebut, Veronica Koman menyatakan memilih tak menanggapi berbagai tuduhan yang disiarkan hampir setiap hari oleh polisi Indonesia melalui media massa. Menurutnya, ia tak mau berpartisipasi dalam upaya mengalihkan perhatian dari krisis nyata yang saat ini mencekam Papua Barat

"Kasus pidana yang direkayasa terhadap saya hanyalah satu dari banyak yang sedang dilakukan dalam program fabrikasi kriminalisasi dan intimidasi yang sedang berlangsung saat ini. Hampir semua target intimidasi ada di Papua Barat, jauh dari perhatian media. Tampaknya tujuannya adalah bahwa aspirasi yang jelas untuk referendum kemerdekaan disuarakan oleh ratusan ribu orang Papua Barat yang turun ke jalan selama beberapa minggu terakhir akan tersapu dari pandangan," demikian disampaikan aktifis kemanusiaan itu. 

Menurutnya pemerintah Indonesia tampaknya tidak dapat menyelesaikan konflik yang berkepanjangan, dan sedang mencari kambing hitam untuk menjelaskan pemberontakan di Papua Barat. Taktik penolakan semacam itu hanya akan memperdalam luka-luka di Papua Barat dan memperburuk konflik di sana.

"Saya menolak upaya pembunuhan karakter terhadap saya dalam peran saya sebagai pengacara resmi untuk Aliansi Pelajar Papua (AMP). Polisi Indonesia telah melampaui otoritas mereka dan melampaui dengan berlebihan dalam upaya untuk mengkriminalkan saya," ujarnya. 

Menurut Veronica, polisi berusaha melakukan pembunuhan karakter terhadap dirinya. Upaya pembunuhan karakter itu dilakukan polisi dengan mengklaim telah membekukakn rekening bank milikny, membuat narasi palsu tentang aliran uang di 'daerah konflik,'  melakukan intimidasi pada keluarganya di Jakarta, mencabut paspor, hingga menyatakan bahwa ia buruan interpol. Veronica juga menyatakan Kedutaan Besar RI di Australia merekam saat ini menjadi pembicara tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat. Kedutaan juga melaporkan hal itu ke lembaga pemberi beasiswa dengan tuduhan mendukung separatisme. 

Melalui rilis yang ia sebut ditulis di Australia, Veronica menutupnya dengan menyatakan, "Papua Barat selama beberapa dekade telah menjadi salah satu wilayah paling dibatasi di seluruh dunia. Kriminalisasi saya tidak lebih dari kelanjutan dari strategi lama untuk mencegah informasi bocor ke seluruh dunia."

Pengacara HAM yang Dituding Provokator

Nama Veronica Koman mencuat setelah ia ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Jawa Timur (Jatim). Veronica, menurut polisi adalah WNI kelahiran Medan. Ia dikenal sebagai kuasa hukum parlemen nasional Papua Barat (PNPB), dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Selain hadir langsung dalam beberapa kegiatan soal Papua, Veronica juga terpantau aktif melakukan pendampingannya melalui media sosial di Twitter dengak akun @VeronicaKoman. Di akun Twitter, ia menyebut diri sebagai human rights lawyer atau pengacara hak asasi manusia. Pengikutnya di Twitter mencapai lebih dari 20 ribu. 

Veronica disangka menyebarkan informasi palsu dan provokatif dalam rentetan kerusuhan Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019.  Kapolda Jatim Luki Hermawan, mengatakan saat ini Veronica tinggal di Australia bersama suaminya. Suami Veronica, menurut polisi adalah WNA, dan juga pegiat LSM. Penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur semula memasukkan Veronica dalam daftar saksi pada penyidikan kasus Asrama Papua di Kalasan. Ia dipanggil dua kali untuk dimintai keterangan, namun tidak hadir. 

Menurut polisi, keterangannya diperlukan karena Veronica diketahui aktif mengunggah video dan informasi soal Papua, termasuk di Asrama Kalasan, asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang dikepung setelah kasus tiang bendera yang patah dan bendera yang tergeletak di selokan. Polisi juga menyebut Veronica sebagai figur yang condong menyokong aktivis mahasiswa dan pemuda Papua menyuarakan referendum. 

“Setelah dilakukan pendalaman dan juga penelusuran di handphone, ternyata VK salah satu yang sangat aktif melakukan provokasi, di dalam maupun luar negeri, untuk sebarkan hoaks. VK sangat aktif. Hasil gelar tadi malam, kami tetapkan saudara VK sebagai tersangka," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan di kantornya di Surabaya pada Rabu, 4 September 2019.

Dalam insiden Asrama Mahasiswa Papua, Veronica aktif menyebarkan informasi, baik melalui pesan, foto dan video, dengan konten perkembangan situasi asrama melalui Twitternya, @VeronicaKoman. Unggahannya terkait Papua berlanjut hingga kerusuhan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.

Polisi menyebut, jejak Veronica bahkan sudah terekam sejak setahun lalu. Kapolda mengatakan Veronica hadir dalam aksi mahasiswa Papua yang digelar di Surabaya pada Desember 2018 lalu. "Mereka membawa wartawan asing dua (orang)," ujarnya. 

Penelusuran VIVAnews, memang pada 1 Desember 2018 ratusan mahasiswa Papua menggelar aksi memperingati deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 1964. Aksi itu diadang oleh massa dari kelompok lain sehingga sempat terjadi ketegangan di Jalan Pemuda Surabaya. Beruntung, kericuhan besar tak terjadi setelah aparat Kepolisian berhasil meredam. 

Veronica Koman hadir di lokasi saat itu sebagai pengacara dari Aliansi Mahasiswa Papua yang beraksi. Kepada wartawan, dia mengatakan bahwa selain memperingati momentum kemerdekaan Papua Barat, aksi digelar juga sebagai protes atas tindakan represif terhadap mahasiswa Papua di sejumlah daerah, termasuk di Jatim.

Setelah penetapan polisi sebagai tersangka, Veronica seperti menjadi musuh bersama. Menkopolhukam Wiranto tegas mengatakan Veronica Koman melakukan provokasi dan penghasutan.  "Apa yang diucapkan (Veronica) sebagai provokasi-provokasi, menghasut untuk terus melaksanakan perlawanan, melaksanakan demonstrasi anarkis dan telah dijadikan tersangka," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, di kantornya Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis 5 September 2019.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan, Veronica diduga menyebarkan narasi, foto serta video provokatif melalui media sosialnya. "Dalam Twitter, narasinya dibunyikan ada korban pemuda Papua terbunuh, yang tertembak ada konten sifatnya provokatif ajak merdeka dan lainnya. Itu sudah dilacak," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 4 September 2019.

Pihak Polda Jawa Timur nantinya akan bekerja sama dengan Direktorat Siber Bareskrim Polri untuk mendalami kasus ini. Selain itu, Polri juga akan berkoordinasi dengan Interpol lantaran keberadaan Veronica ada di luar negeri. "Karena di luar negeri nanti dari Interpol akan bantu lacak yang bersangkutan sekaligus penegakan hukum," katanya.

Pemerintah Menolak Laporan Ahli PBB

Rilis dari Pelapor Khusus PBB mengundang reaksi. Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa menyayangkan news release (NR) yang dikeluarkan lima special rapporteur (SR-SPMH) atau Pelapor Khusus mengenai Veronica Koman (VK) tanggal 16 September 2019 di Markas Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.

PTRI menilai news release yang disampaikan para pelapor tidak berimbang, tidak akurat dan hanya fokus pada satu aspek HAM. Laporan juga tidak mencerminkan secara menyeluruh terhadap upaya Indonesia menjamin hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka publik secara damai dan kesetaraan di hadapan hukum. 

"Upaya penegakan hukum yang tengah berlangsung tidak ditujukan kepada status VK yang mengaku sebagai pembela HAM/Human Right Defender," tulis PTRI dalam pernyataan tertulis yang diterima VIVAnews, Rabu, 18 September 2019. 

Polda Jawa Timur menolak menuruti permintaan Ahli Pelapor PBB. "Penyidik Polda Jawa Timur tetap akan berjalan (memproses perkara Veronica Koman) sebagaimana ketentuan aturan berlaku," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Polisi Frans Barung Mangera, dihubungi VIVAnews pada Rabu, 18 September 2019.

Barung mengatakan tidak ada satu pun negara luar bisa mengintervensi kedaulatan hukum Indonesia. Karena itu, kepolisian tetap akan memproses hukum yang kini disangkakan terhadap Veronica.

"Tidak ada satu pun negara luar bisa mengintervensi kedaulatan Negara Republik Indonesia dalam penegakan hukum," ujarnya menegaskan. 

Veronica sudah dua kali dipanggil oleh polisi, tapi ia tak pernah datang. Polda Jatim memberi batas hingga Rabu, 18 September 2019 sebagai batas toleransi bagi Veronica untuk datang sendiri ke Polda Jatim memenuhi panggilan pemeriksaan. "Kalau tetap tidak hadir, maka kami akan mengeluarkan DPO (memasukkan Veronica Koman dalam daftar pencarian orang),” katanya. (ren)