Indonesia Darurat Kabut Asap

Pengendara roda dua melintas di samping api yang membakar lahan gambut di Jalan Tegal Arum kawasan Syamsudin Noor, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Jumat (13/9/2019). Kabut asap juga melanda Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

VIVA – Kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan, hingga Senin 16 September 2019 belum juga padam. Api semakin beringas membakar hutan dan lahan. Meski sudah ada upaya pemadaman, namun belum ada hasil yang memuaskan. Dampaknya, asap main ke rumah warga hingga negara tetangga. Malaysia menjadi salah satu negara yang kena getahnya.

Tak hanya menganggu aktivitas dan jarak pandang, kabut asap juga sangat menganggu kesehatan. Bayi berusia empat bulan bahkan dikabarkan meninggal usai terkena infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA. Bayi bernama Elsa Fitaloka ini mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Ar-Rasyid Palembang pada Minggu petang, 15 September 2019, sekitar pukul 18.35 WIB. Dia dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami sesak napas.

Diduga kuat, ISPA yang diidap buah hati Nadirun dan Ita Septiana ini disebabkan kabut asap yang kian pekat, akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan. Kepala Dinas Kesehatan Banyuasin, Hakim menyatakan langsung menerjunkan tim ke Rumah Sakit Ar-Rasyid, Palembang, untuk menyelidiki penyebab meninggalnya Elsa.

Hal yang sama juga menimpa Al Fikri. Bocah berusia tujuh tahun asal Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, itu harus dirawat karena menderita iritasi mata. Fikri sudah lima hari dirawat di rumah sakit. Matanya diperban karena iritasi. Dia tak dapat membuka kedua matanya karena merasakan perih dan berdarah. Dia diobati bukan lagi dengan obat yang mesti diminum, melainkan harus disuntik dan infus.

Jambi termasuk provinsi di Sumatera yang terdampak kebakaran hutan dan lahan. Wilayah yang terdampak cukup parah ialah Kabupaten Merangin. Kualitas udara di kabupaten itu pada level tidak sehat sehingga berbahaya bagi warga, terutama anak-anak. Warga diimbau untuk mengurangi aktivitas, terutama saat siang.

Presiden Joko Widodo akan terbang ke Pekanbaru, Riau, guna meninjau dan melihat langsung kondisi terkini di lapangan setelah udara di sana sangat tercemar kabut asap akibat karhutla. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono mengatakan, salah satu langkah yang akan ditempuh guna mengatasi kebakaran hutan adalah dengan membuat saluran-saluran sekunder, untuk mengalirkan air ke lokasi kebakaran.

Sebab, tanah gambut di lokasi kebakaran merupakan tanah berisi air, sehingga pemanfaatannya bisa dilakukan dengan membangun saluran sekunder agar air yang ada di dalam tanah bisa dialirkan ke lokasi kebakaran. Basuki menjelaskan, kondisi lahan gambut yang bentuknya serupa bahan 'sponge' penyerap air harus dimanfaatkan untuk kepentingan membantu pemadaman karhutla seperti ini.

Sebab, tanah gambut tidak bisa dimanfaatkan dalam konteks pemanfaatan lahan, karena dilarang mendirikan bangunan di atasnya akibat besarnya potensi amblas. "Makanya tidak boleh dipakai (selain untuk dimanfaatkan airnya). Kalau kering (lahan gambut) amblas karena kaya sponge,” ujar Basuki.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Polisi Dedi Prasetyo mengatakan, Provinsi Riau menjadi wilayah yang paling banyak terkena kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan atau karhutla. Menurut dia, Riau merupakan wilayah yang menjadi pusat pusaran angin di wilayah Sumatera. Hal itu dia ungkapkan setelah berkonsultasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

"Kami diskusi dengan BMKG, Riau kenapa asapnya kumpul di Riau, karena Riau itu pusat pusaran angin. Jadi, dari Sumatera Selatan, Jambi, kemudian mau masuk ke Selat Malaka itu putaran anginnya pasti di Riau. Jadi, semua kumpul di Riau," kata Dedi Prasetyo di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin, 16 September 2019.

Meski begitu, Dedi mengklaim terjadi penurunan titik api yang ada di Riau. Dari sebelumnya 600 titik lebih menjadi 350 hingga 400 titik. "Memang kebakarannya kecil-kecil namun jumlahnya yang memang cukup banyak itu," katanya.

***

Lapor ke PBB

Kepala Desk Politik Nasional Walhi, Khalisah Khalid  menambahkan, sepanjang 2019 hingga 7 September pekan lalu, tercatat ada sekitar 19.000 lebih titik api. Sementara data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019, ada sebanyak 2.862 titik api dengan total luas lahan yang terbakar 328.724 hektar.

Kondisi ini, disebut Khalisah makin diperparah karena kebakaran terjadi di lahan gambut, konsesi perkebunan monokultur skala besar (sawit dan hutan tanaman industri). Dalam sepekan terakhir, kondisi di wilayah Kalimantan dan sebagian Sumatera menunjukkan situasi darurat asap. Data dari KLHK yang terhubung dengan airvisual.com pagi ini menunjukkan berbahaya, dan bahkan semalam mencapai angka 2.000 US AQI.

Khalisah menjelaskan, kabut asap bukan lagi sebagai kejahatan biasa, namun kejahatan ekosida dan kejahatan lintas batas. Kejahatan lintas batas ini dengan unsur-unsur yang terpenuhi yakni dampak yang meluas, jangka panjang dan tingkat keparahan yang tinggi, termasuk unsur means rea.

Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS) mengancam akan membawa kasus asap ke Perserikatan Bangsa Bangsa [PBB[. Koordinator KontraS, Yati  Andriyani mengatakan, salah satu sikap yang ditunggu adalah penegakan hukum dengan mengumumkan pelaku korporasi perusahaan sebagai terduga pihak pembakaran.

"Negara ini mengabaikan tanggung jawabnya. Kalau tidak direspons, kami bisa saja melakukan pelaporan, ke PBB terkait bisnis dan HAM," kata Yati saat konferensi pers di kantor Walhi Nasional.

Yati memaparkan, persoalan kebakaran dan kabut asap ini bagian dari impunitas politik. Selain itu, sudah masuk ekstra teritorial karena sudah meluas dan mengganggu aktivitas masyarakat.

"Ini juga ekstra teritorial, karena sudah menyebar ke daerah lain. Juga bentuk bentuk politik impunitas. Sampai sekarang kita tidak mendengar perusahaan mana saja, berapa jumlahnya. Itu saja ditutup bagaimana mau minta pertanggungjawaban," ujarnya menegaskan.

Menurut dia, Komnas HAM seharusnya juga mengambil peran dalam kasus ini. Hal ini mengingat banyak hak yang dirampas. "Terkait pidana dan ganti rugi, tidak jelas mekanisme pidana yang akan dilakukan pemerintah," kata dia.

***

Disorot dunia

Tak hanya di Indonesia, berita soal kebakaran hutan dan impor asap juga disorot media asing. Laman BBC sudah beberapa kali memberitakan hal tersebut dalam beberapa hari terakhir. BBC mengangkat bahwa titik api ada di Sabah dan Sarawak, Malaysia dan di sebagian Kalimantan serta Sumatera khususnya Riau. Mulai Januari hingga Agustus 2019, ada sekitar 328.724 hektare lahan yang terbakar di Indonesia menurut keterangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Titik api menjadi kebakaran pada Juli dan diperkirakan hingga Oktober mendatang lantaran masih musim kemarau. Kabut asap Indonesia dan Malaysia bukan kali ini saja terjadi. Per satu atau dua tahun, bencana yang sarat andil manusia ini terus jadi problem.

Sementara itu, Channel News Asia memberitakan diliburkannya sekolah-sekolah di wilayah Kalimantan akibat adanya kabut asap yang bisa membahayakan kesehatan. Indeks udara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah menyentuh level API hingga 500 yang artinya berbahaya.

The Guardian memberitakan menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI yang sempat menyalahkan Malaysia atas kabut asap yang terjadi. Diketahui memang ada titik api di Sabah dan Sarawak.

Ratusan sekolah di Sarawak dan wilayah Malaysia lainnya juga sempat diliburkan. Menteri KLHK Indonesia Siti Nurbaya berjanji akan menangani kabut asap akibat karhula dari wilayah Indonesia.

Outlet Bangkok Post juga telah menyoroti kabut asap yang terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga disebutkan tengah memproses 30 perusahaan yang diduga kuat berkaitan dengan pembakaran hutan yang sebagian kepemilikannya oleh pengusaha Malaysia dan Singapura. [mus]