Kisruh Daftar Sekolah Sistem Zonasi
- ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
VIVA – Ada yang berbeda dari aktivitas orangtua siswa awal pekan ini. Sejak Senin subuh, mereka bergegas dan merapikan beberapa dokumen administrasi. Datang sepagi mungkin untuk dapat nomor antrean.
Kesibukan para orangtua siswa ini lantaran ingin mendaftarkan sekolah negeri bagi buah hatinya, baik jenjang menengah pertama maupun menengah atas. Ferry contohnya, ibu dua anak ini menyiapkan diri berangkat pukul 7 pagi ke beberapa sekolah untuk melakukan verifikasi berkas dan mengambil token. Untuk verifikasi ini bisa di sekolah mana saja.
Diketahui, pengambilan token bertujuan untuk mendaftarkan siswa via online setelah berkas berhasil diverifikasi oleh sekolah. Ferry awalnya mendatangi SMP 195 Duren Sawit, Jakarta Timur.
Alih-alih datang lebih pagi untuk dapat nomor antrean kecil namun dia malah terjebak. Pukul 7 saja, dia sudah mendapatkan nomor antrean 295. Tak mau menunggu lama, dia dan suami berserta anak pertamanya pindah ke sekolah lain yakni SMP 255, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Ferry dan suami memang berniat menyekolahkan anaknya di SMP 255, lantaran masuk dalam salah satu sekolah terfavorit di Jakarta. Dengan nilai anaknya yang terbilang cukup tinggi yakni 291, 2.
Angka tertinggi pada setiap sekolah yakni 300. Ferry tak menyangka ketika datang ke sana, antrean sangat panjang. Tetapi, tidak separah di sekolah sebelumnya. Urutan yang dia terima yakni 120.
"Saya datang pukul 9 pagi saja sudah panjang banget antreannya. Kemudian saya pulang dan itu pun masih banyak orangtua siswa yang datang," ucap Ferry kepada VIVA, Senin, 24 Juni 2019.
Ferry menjadi salah satu orangtua siswa yang mengaku kerepotan dengan sistem ini. Dia membantah jika sistem zonasi yang diterapkan pemerintah dapat mempermudah siswa.
Banyak orangtua siswa yang nyatanya memilih sekolah unggulan dan mengabaikan sistem zonasi. Mereka lebih memilih sekolah unggulan yang jauh ketimbang yang biasa tetapi dekat dengan rumah.
"Teman saya, tinggal di Pondok Gede tetapi mendaftarkan anaknya di SMP 115, Tebet, Jakarta Selatan. Memang anaknya pintar dan sekolah itu unggulan pertama di Jakarta. Jadi tidak benar kalau sekolah unggulan sudah tidak ada lagi. Nyatanya fakta di lapangan seperti itu," ucap Ferry.
***
Penjelasan Menteri Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menjelaskan kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi harusnya tidak perlu terjadi. Hal itu mengacu ada Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018 untuk PPDB 2019, sudah ditetapkan sejak beberapa bulan lalu.
Selain itu, terjadinya kekisruhan karena ada masyarakat yang belum mengetahui sosialisasi dengan baik, dan memaksakan keinginannya. Karena itu, Muhadjir berharap agar masyarakat paham bahwa saat ini tidak ada sekolah unggulan.
"Karena itu saya mohon masyarakat mulai menyadari bahwa namanya era sekolah favorit itu sudah selesai. Karena sekarang tidak ada sekolah yang isinya anak-anak tertentu. Terutama yang mereka yang dari proses passing grade, yang relatif homogen, tidak ada sekarang," kata Muhadjir di Gedung DPR, Senin, 24 Juni 2019.
Muhadjir membantah bahwa dalam peraturan sistem zonasi kuotanya diperkecil menjadi 30 persen. Dia menambahkan, sistem ini akan terus dievaluasi. Hasilnya akan segera dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Kalau evaluasi akan setiap saat, pasti itu, apa yang kita lakukan sekarang ini kan evaluasi tahun sebelumnya. Apalagi Pak Presiden sudah menganjurkan untuk dievaluasi. Maka setelah ini akan segera dievaluasi, dan saya akan lapor ke Pak Presiden," ujarnya.
Dia menambahkan, sistem zonasi dalam PPDB dianggap sebagai cara yang tepat mengatasi infrastruktur dan penyebaran guru yang belum merata di daerah-daerah di Indonesia. Karena dari zonasi ini akan terlihat jelas mana wilayah yang sudah mendapatkan infrastruktur, guru yang baik dan mana yang belum.
"Kita pecah-pecah ke zona-zona itu jadi lebih tajam, lebih luas. Ibarat wajah kalau dari jauh kelihatan halus, tapi kalau setelah di-close up dekat kelihatan bopeng-bopengnya itu. Ini setelah tahu masalah ini akan kita selesaikan per zona. Mulai dari ketidakmerataan peserta didik, kesenjangan guru, ketidakmerataan guru, jomplangnya antarsekolah," kata Muhadjir.
Menurut Muhadjir, dari Kementerian Keuangan akan ada penambahan anggaran untuk biaya pelatihan guru berbasis zonasi yang diperkirakan dilakukan tahun depan. Karena zonasi ini dilakukan tidak hanya pada siswa tetapi juga pada guru.
"Zonasi ini sifatnya elastis, kalau kapasitas sekolah belum memadai dari jumlah pesertanya, ya dimekarkan. Kalau kelebihan, disempitkan dan dikasih ke zonasi sebelah. Dibikin yang luwes saja," katanya.
Muhadjir memahami adanya masyarakat yang kecewa karena anaknya tidak mendapatkan sekolah negeri yang diinginkan lantaran sistem zonasi. Menurut Muhadjir, masyarakat yang mendapatkan sekolah swasta jangan berkecil hati karena pemerintah daerah diberi kewajiban untuk meningkatkan standar kualitas sekolah swasta agar setara dengan sekolah negeri.
"Sekolah swasta tak boleh semena-mena meskipun dapat limpahan siswa dari sekolah negeri kemudian seenaknya melayani mereka. Karena ada saatnya sekolah swasta yang tak kompetitif bisa kita tutup," tegasnya.
Dari peta zonasi ini, kata Muhadjir, kemungkinan penambahan sekolah negeri baru sangat terbuka lebar. Melalui zonasi ini, masyarakat yang di wilayahnya tidak terdapat sekolah, akan bersuara dan menjadi bahan untuk melakukan penambahan sekolah.
Menurut Muhadjir, terkait pendidikan ini pemerintah daerah yang bertanggung jawab dalam hal pelayanan pendidikan di suatu daerah.
"Memang yang disumpah serapah itu saya, tapi yang bertanggung jawab yang diprotes itu ya daerah-daerahnya. Tapi daerah harus menyadari, harus sadar, dan segera bertindak untuk memenuhi layanan dasar kepada rakyat-rakyatnya. Dan ingat, pendidikan itu adalah layanan dasar kepada rakyat, dan duitnya itu 64 persen sudah di mereka," ujarnya.
***
Dievaluasi
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, permasalahan ini telah dikomunikasikan dengan Komisi X yang menangani masalah pendidikan. Menurut Bambang, pimpinan Komisi X mendorong dilakukan evaluasi terhadap sistem tersebut. Hal ini agar sistem zonasi dapat berjalan baik dan tidak menyusahkan masyarakat.
"Beberapa kali saya sudah komunikasi dengan beberapa pimpinan Komisi X, mereka mendorong evaluasi karena memang terdapat tujuan yang baik. Sistem ini memindahkan masyarakat untuk melakukan pendaftaran atau mencari sekolah, tapi realita terjadi beberapa kekisruhan," kata Bambang di Kompleks DPR RI, Senin, 24 Juni 2019
Komisi X DPR RI mengundang Kemendikbud untuk membicarakan mengenai kekisruhan PPDB dengan sistem zonasi. Diharapkan dari pertemuan tersebut dapat segera ditemukan solusi guna masalah yang terjadi.
"Kalau hari ini Komisi X itu mengundang Kemendikbud kita berharap hari Ini ditemukan solusi untuk mengatasi itu sebelum terlambat. Terpenting jangan sampai ada anak didik kita yang dirugikan karena sistem ini," ujar politikus Partai Golkar itu.
Bambang juga menanggapi banyaknya orangtua siswa yang melakukan protes, seperti yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Dia meminta secepatnya dicarikan jalan keluar dari permasalahan ini. "Ini yang harus dicari jalan keluarnya, harus dievaluasi," ujarnya.
Presiden Joko Widodo ikut angkat suara. Dia tidak menampik bahwa penerapan PPDB sistem zonasi banyak persoalan di lapangan. Karena adanya persoalan di beberapa tempat itu, maka perlu ada evaluasi.
"Memang di lapangan banyak masalah yang perlu dievaluasi. Tapi tanyakan lebih detail pada Mendikbud," kata Presiden Jokowi di GOR Tri Dharma Petrokimia Gresik, Jawa Timur, Kamis, 20 Juni 2019.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menambahkan, sistem yang dibuat oleh instansi di bawah Menteri Muhadjir Effendy itu telah menjadi perhatian bagi orang tua di seluruh Indonesia.
"Kita selalu mendorong keadilan di dalam semua kebijakan. Mulai dari kebijakan pajak bagi mereka yang berjasa untuk bangsa negara, sampai kepastian bagi orang tua ketika menyangkut PPDB," kata Anies akhir pekan kemarin. (ase)