Beban Berat di Pundak Captain Marvel
- Marvel
VIVA – Film superhero wanita pertama Marvel Cinematic Universe (MCU), Captain Marvel mulai tayang di bioskop pada 6 Maret 2019 lalu di Indonesia, dan di Amerika Serikat serta Inggris pada 8 Maret 2019. Dibintangi aktris peraih Oscar, Brie Larson serta disutradarai sineas film indie AS, Anna Boden dan Ryan Fleck, Captain Marvel adalah instalasi atau film ke-21 dari serial blockbuster Marvel yang dimulai dengan film Iron Man pada 2008 silam.
Bukan rahasia lagi bahwa film dengan rating PG-13 ini dirilis di bawah tekanan berat untuk mencapai ekspektasi. Pertama, dibutuhkan satu dekade penuh dan 20 film MCU terdahulu untuk franchise tersebut memproduksi film solo superhero wanita. Kedua, studio rivalnya, DC Entertainment telah lebih dulu mendulang sukses dengan merilis Wonder Woman (2017).
Ketiga, film-film MCU dikenal punya standar kualitas tinggi. Sebut saja Thor: Ragnarok, yang meraih kesuksesan masif dengan keuntungan US$3,24 miliar (Rp46,4 triliun), dan Black Panther yang memecahkan rekor box office dan membawa kemenangan Oscar pertama bagi Marvel.
Belum lagi film Avengers: Infinity War yang menyatukan benang merah dari 18 film sebelumnya serta meraup keuntungan lebih dari US$2 miliar (Rp28,6 triliun) di seluruh dunia. Demikian dilansir dari The Verge, Jumat, 8 Maret 2019.
Semua itu menambah beban Captain Marvel dibandingkan film-film MCU sebelumnya. Bukan hanya dalam hal meraup keuntungan besar, namun juga memuaskan ekspektasi penggemar.
Pencari Jati Diri
Captain Marvel (Brie Larson) awalnya diperkenalkan sebagai Vers, agen Starforce untuk bangsa ras alien Kree. Vers bukanlah karakter dari komik original Captain Marvel, namun penggemar komik Marvel mungkin akan mengenal anggota Starforce lain, seperti Korath the Pursuer (Djimon Hounsou, Guardians of the Galaxy), Minn-Erva (Gemma Chan, Crazy Rich Asians), Bron-Char (Rune Temte, The Last Kingdom), Att-Lass (Algenis Perez Soto, Sugar) dan pemimpin mereka, Yon-Rogg (Jude Law).
Vers memiliki kemampuan bangsa Kree, yakni kekuatan super, ketahanan fisik dan kemampuan untuk menembakkan ledakan energi dari tangannya. Namun, ia tak ingat bagaimana ia mendapatkan kekuatan tersebut atau seperti apa hidupnya sebelum bangsa Kree menemukannya dan membawanya ke planet mereka, Hala.
Di tengah misi Starforce untuk menyelamatkan mata-mata mereka, Vers ditangkap oleh Skrulls, bangsa alien yang mampu berganti wujud. Pemimpin Skrull, Talos (Ben Mendelsohn, Ready Player One) memiliki satu tujuan dan ia menjelajahi memori Vers untuk mendapatkan Lightspeed Engine, senjata yang akan menguntungkan mereka di peperangan.
Namun, penjelajahan Talos melewati memori Vers membuka kunci penglihatan-penglihatan akan masa lalu Vers sebagai Carol Danvers, yang kemudian membawanya ke planet C-53 (Bumi) di era 1990-an. Di sana ia bertemu dengan dua orang agen S.H.I.E.L.D, Nick Fury (Samuel L. Jackson), yang diceritakan masih memiliki kedua matanya, dan Phil Coulson (Clark Gregg) muda. Seperti yang diketahui, Fury ditampilkan sebagai pria bermata satu di film Avengers.
Perdebatan demi perdebatan sarkastik Carol dan Fury menjadi highlight film ini, saat Vers keluar dari peradaban maju di Hala dan masuk ke dunia berisi telepon umum dan strip malls, dengan mengenakan seragam Starforce dan berbicara tentang alien yang mampu berubah wujud.
Nostalgia era 1990-an sangat kuat di film ini. Kedua sutradaranya, Ryan Fleck dan Anna Boden memasukkan elemen futuristik ke dalam periode waktu retro, mulai dari pakaian hingga mobil.
Fleck juga mengatakan, musik adalah hal pertama yang mereka fokuskan selama pra-produksi film, dengan membuat playlist lagu-lagu lawas, seperti I'm Just A Girl (No Doubt), Come As You Are (Nirvana) dan Man on the Moon (REM) sebagai soundtrack.
Sama seperti film Guardians of the Galaxy yang melibatkan mixtapes lagu-lagu rock klasik, Captain Marvel menggunakan soundtrack lagu-lagu jadul sebagai semacam gag atau lelucon. Mereka membuat penonton bernostalgia sambil bermain humor dengan memutarkan lagu-lagu familiar dalam adegan-adegan alien.
Tak Mengagumkan Tapi Tak Mengecewakan
Kelebihan terbesar film ini terletak pada hubungan antara Carol dan pilot Air Force, Maria Rambeau (Lashana Lynch). Seperti Steve Rogers dan Bucky Barnes di Captain America, Carol dan Maria terikat oleh masa lalu dan persahabatan, sekali pun Carol tak bisa mengingatnya.
Teknologi Computer Generated Imagery (CGI) yang dipakai pada wajah Samuel L. Jackson dan membuatnya puluhan tahun lebih muda, juga menjadi salah satu yang paling banyak dipuji para kritikus film.
"Facelift CGI Jackson adalah contoh digital de-aging terbaik yang kita lihat di film," tulis Matt Maytum dari Total Film.
Adegan-adegan action-nya yang meski terbilang minimalis, juga tak luput dari pujian, karena disebut memiliki koreografi yang sempurna.
Kelebihan lain yang mencolok adalah film ini sama sekali tidak menghadirkan kisah cinta maupun love interest untuk tokoh Carol. Captain Marvel murni menceritakan bagaimana Carol menemukan masa lalunya kembali, mengembangkan dan belajar mengontrol kekuatannya, serta mengonfrontasi masyarakat yang berkata bahwa wanita tak bisa ikut balapan mobil, bergabung di militer atau menjadi pilot pesawat tempur.
Larson sendiri menyebut persahabatan Carol dan Maria sebagai 'kisah cinta' di film tersebut. "Ini adalah cerita tentang cinta yang hilang, ini adalah tentang cinta yang ditemukan kembali dan ini adalah alasan untuk terus berjuang dan pergi ke ujung dunia," ucap Larson, dikutip dari Cnet.
Meski begitu, film ini juga dihujani kritik pedas, karena dianggap tak mampu melampaui ekspektasi penonton. Terbukti skornya di IMDb hanya 6,5 dari 10 dan hanya 32 persen penonton yang menyukainya di Rotten Tomatoes.
CNN menuliskan bahwa Captain Marvel memang memberikan pesan kuat terkait isu persamaan gender, namun, secara keseluruhan skornya masih di bawah rata-rata dari standar film-film Marvel.
“Setelah rentetan film superhero, termasuk Black Panther yang memecahkan rekor di 'perlombaan' piala Oscar, dirilisnya Captain Marvel terasa lebih kepada suatu kewajiban. Sebuah film yang memang harus dibuat (untuk melengkapi serial blockbuster Marvel)," tulis kritikus Brian Lowry.
Sementara menurut Variety, Captain Marvel tidak melakukan sesuatu yang revolusioner. "Film ini dibuat sebagai kepingan puzzle lain untuk melengkapi cerita Marvel. Ini adalah prekuel yang mengambil latar waktu jauh sebelum saat ini, yang menjelaskan banyak hal di masa sekarang yang sebelumnya tidak terjawab," kata kritikus Owen Gleiberman.
Kritikus lainnya, Brian Viner dari Daily Mail mengatakan, Captain Marvel tidak mengagumkan tapi juga tidak mengecewakan.
Meski jauh dari kata sukses, Captain Marvel telah menuntaskan tugasnya dalam memperkenalkan karakter baru di MCU, memaparkan kisah origin-nya, mengaitkannya dengan timeline MCU saat ini, menciptakan backstory untuk beberapa karakter yang sebelumnya sudah dikenal penonton, dan elemen yang lebih signifikan untuk Avengers: Endgame yang akan tayang April 2019 mendatang.
Bisa dibilang Captain Marvel mampu menanggung sebagian besar bebannya, dengan penampilan yang kuat dari para pemain dan juga alur cerita yang dibawakan dengan serius, hati-hati dan tidak terburu-buru, juga menyeimbangkan antara humor dan action.
Captain Marvel mungkin tidak se-game-changing Black Panther dan tidak se-adventurous Thor: Ragnarok, seperti kata kritikus BBC. Namun, film ini mampu menyampaikan cerita girl-power yang dibutuhkan MCU untuk menyaingi Wonder Woman. Film ini juga tak hanya menampilkan Captain Marvel sebagai superhero yang kuat, tetapi membuatnya menjadi tokoh yang pantas dikagumi dengan tujuan hidup yang layak untuk diperjuangkan.
Lewat film ini pula, Marvel seolah menegaskan bahwa Carol Danvers adalah salah satu superhero terkuat mereka, yang sangat dibutuhkan para Avengers di Endgame nanti. (hd)