Dilan 1991, Serangan Sentimental Sang Panglima Tempur
- Max Pictures
VIVA – "Cita-citamu apa, Milea?" di atas motor CB 100, Dilan bertanya pada Milea yang memeluknya erat.
"Pilot, kamu?" Milea balik bertanya.
"Menikah sama kamu," jawab Dilan, membuat pelukan Milea makin erat, senyumnya merekah.
Dilan dan Milea akhirnya resmi jadian. Belasan menit pertama, adegan-adegan mesra banyak dipertontonkan, menunjukkan bahwa mereka sedang kasmaran. Dari boncengan motor, merayakan jadian, malam mingguan, sampai cium yang diwakilkan.
"Mau diwakilin apa langsung?" Gombalan-gombalan cringe khas Dilan seperti itu juga banyak diutarakan. Meski berhasil bikin sedikit keriuhan, tak semua juga bikin mesem mabuk kepayang. Beberapa gombalan, ada saja yang terasa garing didengar.
Tak seperti Dilan 1990 yang kerap bikin penonton berisik karena 'geli' (tapi suka) dengan gombalan-gombalan si Panglima Tempur, Dilan 1991 memberi nuansa yang lebih sunyi. Sesekali tawa pecah, tapi tak sesering dulu.
Film ini lebih menonjolkan konflik hubungan Dilan dan Milea. Sedikit usikan dari Kang Adi (Refal Hady), kehadiran Hugo (Jerome Kurnia), sampai yang paling parah adalah kelakuan Dilan bersama geng motornya. Milea sendiri dibuat cemberut, kesal, sampai menangis tersedu-sedu.
Karakter Dilan dan Milea dalam film ini memang digali lebih dalam melalui konflik-konfliknya. Pun bagi para bintangnya, Dilan 1991 jadi pembuktian Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla bahwa akting mereka bisa lebih baik dari film sebelumnya. Iqbaal tampak lebih luwes ketika melempar gombalan-gombalannya dan Vanesha ternyata tidak buruk juga ketika harus tampil lebih emosional. Sering juga momen Dilan dan Milea tampak begitu nyata, karena chemistry Iqbaal dan Vanesha yang begitu natural.
Lalu, apakah penonton sesedih itu?
Bagi sejumlah orang yang menulis pengalaman menonton Dilan 1991 di media sosial, film ini memang dinilai sedih, bahkan sampai membuat mereka meneteskan air mata. Namun dengan durasi 121 menit, film ini punya beberapa hal yang cukup disayangkan sehingga kurang mengaduk-aduk lebih dalam emosi penontonnya.
Jika merujuk pada novelnya, rasanya akan lebih 'menusuk-nusuk' hati jika konfliknya tak hanya soal ketidaksetujuan Milea atas kesetiaan Dilan pada geng motornya. Ada lebih banyak kesedihan dan kesalahpahaman lain yang sebenarnya bisa menambah haru cerita. Jika ada yang mengkritik akting Vanesha yang kurang 'dapat' saat menangis, menurut penulis, tidak juga. Seperti kata sang sutradara, Fajar Bustomi, dia tak ingin melulu mempertontonkan air mata, sebab bisa-bisa, malah akan terasa 'hampa', biasa saja di bagian akhirnya.
Namun momen ketika teman Dilan tiba-tiba meninggal dunia membuat konflik Dilan Milea terasa cukup pada klimaksnya. Dialog Milea, Bunda, dan Dilan akhirnya membuat film ini terhindar dari krisis plot yang monoton. Adegan ketika Milea harus meninggalkan Bandung pun terasa begitu memilukan.
Beberapa setting lokasi terasa agak mengganggu. Misalnya mal di Bandung yang terlihat modern, peletakan logo provider telekomunikasi berwarna merah, sampai merek roti, mengurangi rasa klasik era 1990-an-nya Dilan.
Meski begitu, usaha seluruh tim dalam film ini tentu saja patut diapreasiasi. Milea dan kawan-kawan terlihat sangat natural, tanpa riasan berlebih, bahkan lebih alami dibanding pada film pertama. Karena syuting dilakukan sekitar setahun setelah Dilan 1990, mereka juga tampak begitu berusaha agar tidak terjadi banyak perubahan fisik yang signifikan, kecuali Dilan yang sedikit saja lebih gemuk dan kinclong wajahnya.
Riak-riak Penolakan
Euforia kembalinya Dilan ke layar lebar ternyata juga diwarnai sejumlah protes. Mulai dari soal Hari Dilan, Dilan Corner, sampai yang terbaru aksi sejumlah mahasiswa di Makassar.
Hari Dilan merupakan sebuah peringatan dari studio untuk penggemar yang jatuh pada tanggal premiere Dilan, 24 Februari 2019 lalu. Sementara Dilan Corner merupakan sebuah sudut di Bandung yang diresmikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan sejumlah bintang utama film ini. Kabarnya, pria yang akrab disapa Kang Emil itu akan menjadikan sudut tersebut sebagai tempat untuk ajang literasi, sebab menurutnya, film Dilan mengekspesikan nilai sastra.
Sayangnya, Hari Dilan dan Dilan Corner menuai kritik dari sejumlah orang. Kritikus sastra, Maman S Mahayana berpendapat, pembangunan 'monumen' dan peringatan Hari Dilan itu hanya terpengaruh oleh situasi sesaat, di mana film Dilan memang sedang digandrungi berbagai kalangan saat ini.
"Saya kira yang menentukan hari-hari seperti itu melupakan sejarah. Dia terpengaruh oleh situasi yang sesaat, heboh sesaat, itu model-model kebudayaan populer, itu cenderung seperti itu. Heboh, kemudian latah ngikutin macam-macam, termasuklah membuat perayaan hari yang bersangkutan (Hari Dilan)," ujarnya saat dihubungi VIVA, 27 Februari 2019.
Maman juga menuturkan jika pembangunan tersebut tidak memiliki kontribusi apapun terhadap masyarakat Jawa Barat.
"Itu termasuk kebudayaan populer yang merasuki masyarakat dan para pejabat kita. Kalau memang mau sistemnya seperti itu, pertama, apa kontribusinya bagi masyarakat. Kalau sekadar heboh-hebohan seperti itu, itu namanya pengkarbitan, ikut heboh yang sebetulnya kontribusinya itu belum jelas," kata dia.
Ody Mulya, selaku Produser Max Pictures Rumah Produksi film Dilan 1991, menanggapi riak-riak tersebut. Menurutnya, soal Dilan Corner adalah hal yang biasa, sebab berkaitan dengan pariwisata. Jika Belitung punya Laskar Pelangi, maka mengapa Bandung tidak bisa berbangga punya Dilan.
“Pro kontra pasti ada ya. Tapi kita lihat Bandung kan banyak spot, mungkin dengan Dilan yang sudah booming kemarin, (jadi) diapresiasi. Akhirnya dibuat Dilan Corner ya untuk edukasi lebih ke pendidikan tentang film. Jadi menurut saya positifnya saja yang diambil,” tutur Ody.
Tak berhenti di sana, Dilan 1991 pun mendapat penolakan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan Nasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 28 Februari 2019. Sejumlah adegan dalam film ini dianggap mempertontonkan hal yang tak bermoral, melanggar hukum, dan tidak layak untuk budaya Bugis-Makassar. Khususnya adegan kekerasan di lingkungan sekolah antara murid dan gurunya.
"Banyak adegan dalam film Dilan 1991 yang tidak bermoral, mempertontonkan adegan yang tidak bermoral untuk adat Bugis atau Makassar," ucap Mika, salah satu orator aksi demonstrasi di depan Studio XXI Mal Panakukang Makasssar.
Namun tentu tidak semua anak muda Makassar mendukung aksi ini. Yuyun misalnya, perempuan 23 tahun itu menganggap, aksi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan Nasional tersebut kurang tepat, karena melakukan aksi sampai di area bioskop.
"Cara kritiknya terlalu berlebihan. Mahasiswa itu secara tidak langsung juga memberikan contoh yang lebih parah, karena demonstrasi untuk mengkritik bukan budaya sopannya Bugis-Makassar," ucapnya.
Berkaitan dengan tayangan film Dilan 1991, Yuyun beranggap tak perlu untuk diperdebatkan lagi. Sebab, kata dia, film tersebut sudah dinyatakan lulus sensor.
Menggempur Rekor Box Office
Meski dengan sejumlah riak-riak pengiring, toh Dilan 1991 tetap melenggang mulus mengukir sejarah perfilman. Di hari pertama penayangan serentak se-Indonesia, Kamis, 28 Februari 2019, sekuel Dilan 1990 ini menguasai lebih dari 1000 layar. Produser Max Pictures, Ody Mulya mengatakan, 791 di antaranya merupakan layar XXI.
Admin Twitter @bicaraboxoffice bahkan menyebut, Dilan 1991 diputar di lebih dari 1.230 layar yang mana setara dengan kehebohan Avengers: Infinity War pada tahun 2018 lalu.
Pantauan VIVA pada hari perdana tayang di berbagai daerah, seperti Medan, Palembang, Lombok, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Jakarta, dan Depok, bioskop-bioskop memang didominasi oleh Dilan 1991. Misalnya, dari enam studio yang ada di sebuah bioskop, lima di antaranya adalah Dilan 1991. Sementara sisanya, Foxtrot Six, film Indonesia yang bergenre action.
Serbuan Dilan 1991 membuahkan hasil yang mencengangkan. Per tanggal tersebut saja, film yang dibintangi Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla itu sudah meraih 720 ribu penonton. Ditambah 80 ribu penonton saat premiere di Bandung pada 24 Februari lalu, totalnya adalah 800 ribu penonton.
Jumlah ini tentu saja memecahkan rekor box office Indonesia sepanjang masa. Film pertamanya, Dilan 1990 hanya mengumpulkan 225 ribu penonton di hari pertama, namun grafiknya terus naik hingga menutup dengan angka fantastis, 6.315.664 penonton dan menjadi film Indonesia terlaris kedua sepanjang masa setelah Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1.
Meski saat artikel ini ditulis belum diumumkan resmi, Dilan 1991 dipastikan langsung tembus satu juta penonton hanya di hari kedua penayangan nasionalnya. Dilan, tak terbantahkan, adalah fenomena untuk perfilman Indonesia.
"Terima kasih sebesar-besarnya untuk apresiasi yang luar biasa ini. Dukung dan majulah terus film-film dalam negeri," tulis Max Pictures dalam akun Instagram mereka saat mengumumkan jumlah penonton fantastis ini.