Prahara PSSI, KLB Bisakah Jadi Solusi?

Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI Djoko Driyono (tengah) bersama Wakil Ketua Umum PSSI Iwan Budianto (kiri) dan Sekjen PSSI Ratu Tisha Destria (kanan) menyampaikan keterangan pers sesusai penutupan Kongres PSSI 2019 di Nusa Dua, Bali
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

VIVA – PSSI sedang dihantam prahara. Stabilitas organisasi terganggu dengan adanya sejumlah gejolak.

Isu pengaturan skor menjadi awal dari munculnya gejolak di PSSI. Pengakuan mantan manajer Persibara Banjarnegara, Lasmi Indrayani, dan sejumlah tokoh membuat gempar publik.

Bahwa, kompetisi di Indonesia marak praktik kotor, pengaturan skor. Dari pengakuan Lasmi, beberapa pejabat di PSSI terlibat di dalam praktik tersebut.

Disebutkan pula, beberapa pejabat di dalam PSSI malah jadi aktor. Satuan Tugas Antimafia Bola bergerak.

Sejumlah nama dicokok macam Hidayat, Djohar Lin Eng (mantan anggota Komite Eksekutif), lalu Dwi Irianto (mantan anggota Komite Disiplin PSSI).

Hingga akhirnya, ada satu nama sensasional yang muncul dalam daftar tersangka versi Satgas. Dia adalah Plt Ketua Umum PSSI, Joko Driyono.

Penetapan Joko sebagai tersangka bukan terkait pengaturan skor. Namun, Joko dijadikan tersangka karena mencuri dan merusak barang bukti saat penggeledahan berlangsung di kantor PT Liga Indonesia.

Ujung dari penetapan Jokdri (sapaan akrabnya) sebagai tersangka adalah, PSSI menggelar rapat darurat, Selasa 19 Februari 2019. Seluruh anggota Komite Eksekutif PSSI berkumpul, dan membahas satu hal, perlukah Kongres Luar Biasa demi memilih Ketua Umum PSSI digelar?

Hasilnya adalah, Exco PSSI sepakat untuk menggelar KLB. Ada dua agenda diusung, yakni membentuk perangkat Komite Pemilihan serta Komite Banding Pemilihan dan penetapan waktu Kongres pemilihan kepengurusan baru.

Namun, urusan KLB tak semudah membalikan telapak tangan. Perlu ada koordinasi yang dilakukan PSSI kepada FIFA terkait KLB. Andai pengajuan PSSI disetujui FIFA, KLB baru bisa digelar.

"Untuk menyiapkan KLB dengan dua agenda itu dan mempertimbangkan padatnya program PSSI, termasuk menjaga komitmen partner komersial kompetisi profesional. Serta untuk menghormati agenda besar politik nasional. Maka, PSSI akan mengutus perwakilan ke Zurich, untuk berkoordinasi secara langsung dengan FIFA untuk mendapatkan arahan dan rekomendasi yang tepat," kata Joko.

Balon Ketum Bermunculan

Sebelum Exco menyetujui KLB, sebenarnya sudah banyak yang mengajukan Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI. Desakan Erick menjadi Ketua Umum PSSI bukan tanpa alasan.

Erick berpengalaman dalam sepakbola. Beberapa klub sempat dipimpin olehnya.

Tak main-main, Erick memimpin klub luar negeri macam DC United hingga Inter Milan. Fakta inilah yang membuat Erick dijagokan sebagai Ketua Umum PSSI.

***

Namun, Erick punya pendapat tersendiri mengenai suara dari publik yang menginginkannya jadi Ketua Umum PSSI.

Pengusaha 48 tahun tersebut masih ingin fokus menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

"Tugas saya di Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin hingga April 2019. Jadi, saya fokus dulu," kata Erick saat mengunjungi redaksi VIVA.

"Kalau diberikan kepercayaan untuk menjalankan kompetisi, seperti yang sudah saya bilang, ayo. Tapi, soal jadi Ketum, saya tak mau ambisius. Biarkan dulu berjalan organisasinya. Kongres Luar Biasa kan belum ada," lanjutnya.

Selain Erick, muncul nama lain. Krishna Murti yang menjabat sebagai Wakil Satuan Tugas Antimafia Bola masuk sebagai kandidat.

Anggota Exco PSSI, Refrizal, menuturkan saat ini pihaknya masih menampung berbagai nama yang berminat jadi Ketua Umum, sambil menunggu Komite Pemilihan dan Banding Pemilihan dibentuk lewat Kongres Luar Biasa.

"Yang berminat kami tampung. Seperti Erick Thohir, Krishna Murti. Pokoknya yang minat kami tampung dulu. Nanti biar yang berhak yang memilih," tutur Refrizal.

Jalan Terbaik?

Situasi politik sepakbola nasional tak kunjung stabil sejak 2010. Usai Nurdin Halid digulingkan, banyak gejolak yang terjadi di sepakbola nasional.

Dualisme kepengurusan, konflik PSSI dengan Kemenpora, hingga diterpanya isu pengaturan skor yang membuat posisi Joko terdesak.

***

Berbagai gangguan yang terjadi dalam setiap kepengurusan, membuat stabilitas program di PSSI sulit berjalan. Reformasi? Layaknya utopia dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir.

Ya, butuh kestabilan dalam politik organisasi di PSSI agar program dalam pengembangan sepakbola nasional bisa berjalan.

Tapi, di Indonesia, yang terjadi malah stabilitas tak terbentuk. Sejak 2010, kepengurusan di PSSI sering berakhir lebih cepat.

Djohar Arifin memang bisa menyelesaikan masa kepengurusannya. Tapi, dia diganggu oleh isu dualisme.

Kemudian, penerusnya, La Nyalla Mattalitti, tak mendapat kesempatan untuk mengurus PSSI dalam waktu lama. Sebab, PSSI di masanya dibekukan oleh Kemenpora, tepat sehari setelah dia terpilih lewat Kongres di Surabaya.

Pun, Edy Rahmayadi tak bisa menyelesaikan tugasnya karena mundur pada Kongres Januari 2019 lalu. Dan, Joko sulit pula meneruskan program di era Edy lantaran terjerat kasus hukum. Pun, saat Joko memimpin PSSI, kasus dugaan pengaturan skor menyeruak dan menjerat Joko.

Voters mengklaim KLB jadi jalan keluar terbaik. Sebab, lewat KLB, menurut manajer Madura United, Haruna Soemitro, aspirasi yang berkembang di masyarakat dan klub, bisa diakomodir.

"KLB harus didukung Exco dan jalan itu, menurut saya, lebih yang terbaik," kata Haruna.

Tapi, KLB tak bisa sembarangan digelar. FIFA harus berfatwa terlebih dulu. Pun, jika disetujui, setidaknya perlu ada keputusan cerdas dalam menggelar KLB.

Maksudnya adalah waktu yang tepat. CEO PSM Makassar, Munafri Arifuddin, berharap KLB bisa digelar setelah pemilihan Presiden. Menarik, karena jangan sampai sepakbola dicampur adukkan dengan kepentingan politik nasional.

"Ya, memang KLB harus cepat diselenggarakan. Karena keadaan sudah sangat gawat. Kalau menurut saya sekarang sudah harus mulai disiapkan untuk merombak total susunan kepengurusan," ujar CEO PSM, Munafri Arifuddin, saat dihubungi VIVA, Kamis 21 Februari 2019.

"Tapi, semua juga tahu, tahun ini kan tahun politik. Jadi menurut saya, lebih baik KLB digelar setelah pemilihan Presiden dan anggota legislatif," lanjutnya. (ren)