Motor Masuk Tol, Dilema Hak dan Empati

Tol Bali
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo

VIVA – Para pengguna sepeda motor di DKI Jakarta sepertinya sudah biasa menyaksikan macet di berbagai ruas jalan. Mulai dari ujung Timur hingga Barat, Utara ke Selatan, tidak ada jalan yang lengang kala pagi dan sore hari.

Tak sedikit pula yang memandang dengan rasa iri ke arah jalan bebas hambatan, di mana mobil bisa berseliweran dengan cukup lancar. Mimpi melintas di jalan tol harus disimpan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

Padahal, Jembatan Suramadu di Jawa Timur dan jalan tol di Bali dibuka untuk kendaraan bermotor roda dua. Hal itu membuat para penunggang kuda besi di Ibu Kota merasa diperlakukan tidak adil. Seperti yang disampaikan Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo.

Menurut dia, pengendara motor memiliki hak yang sama dengan para pengemudi mobil. Sehingga, seharusnya pemerintah mengizinkan kendaraan bermotor roda dua masuk ke jalur bebas hambatan.

“Saya minta pemerintah memikirkan. Bali saja di tol sudah ada jalur khusus motor. Suramadu jalan tolnya sudah ada khusus motor. Pemerintah harus mewujudkan jalan khusus bagi roda dua di jalan-jalan tol. Ini penting untuk persamaan hak warga negara,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Minggu 27 Januari 2019.

Pria yang akrab disapa Bamsoet itu bukan asal bicara. Ia membeberkan, bahwa aturan sepeda motor berhak menikmati infrastruktur jalan bebas hambatan sudah tertuang dalam peraturan pemerintah.

Aturan yang dimaksud adalah PP Nomor 44 Tahun 2009. Isinya, kendaraan bermotor roda dua merupakan moda transportasi dengan populasi yang cukup besar, sehingga perlu diberi kemudahan dalam menggunakan infrastruktur berupa jalan. Termasuk, jalan tol.

PP yang diteken oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut juga menyatakan, jalan tol dapat dilengkapi dengan jalur khusus bagi kendaraan bermotor roda dua. Namun, jalur fisiknya harus terpisah dari jalur jalan tol yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih.

“Kalau roda empat punya kenikmatan bebas hambatan, kenapa pemilik roda dua tidak oleh menikmati? Kan uangnya sama-sama dipakai (untuk membangun jalan), bayar pajak yang sama,” tuturnya.

Soal bayar pajak juga diungkapkan oleh Direktur Harley-Davidson Owner Group Anak Elang Jakarta, Suherli. Ia mengatakan, dengan besarnya pajak yang dibayar untuk motor gede, wajar jika mereka berhak menggunakan jalan tol.

”Kendaraan kami cc besar, pajaknya kami bayar hampir 180 persen. Pajak kendaraan bermotor tiap tahun termasuk besar. Kami minta tolong izinkan motor besar masuk tol. Kalo enggak bisa, kami usulkan cuma akhir pekan saja,” ujarnya beberapa waktu lalu.

***

Bukan Perkara Mudah

Pernyataan Bamsoet itu bertolak belakang dengan apa yang ia utarakan pada Juli tahun lalu. Kala itu, ia baru saja diangkat menjadi Ketua Dewan Pembina Motor Besar Indonesia dan menyatakan, bahwa tidak ada urgensi sepeda motor diperbolehkan masuk jalan tol.

"Oh itu lupakan saja. Enggak bisa dong (moge lewat) jalan tol. Itu kan untuk kendaraan roda empat," kata Bambang kepada wartawan di Jakarta, Selasa 24 Juli 2018.

Menurut dia, larangan tersebut menyangkut sisi keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan. Bamsoet menjelaskan, undang-undang tak perlu diubah untuk mengakomodir kepentingan pengguna moge.

Ia menambahkan, kondisi lalu lintas di Indonesia tak bisa disamakan dengan di luar negeri. Hal ini menyusul, permintaan moge masuk tol bercermin dengan aturan di beberapa negara.

"Di sini kan sangat berbeda. Ini sudah betul bahwa undang-undang kita, tol itu diperuntukkan bagi kendaraan roda empat atau lebih. Enggak perlu direvisi," kata dia.

Faktor keselamatan juga menjadi sorotan Pengamat Otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus. Menurut dia banyak faktor yang harus dibenahi sebelum motor dibebaskan masuk jalan tol. Sebab fungsi tol di Indonesia awalnya bukan untuk kepentingan pribadi.

“Tujuan awal jalan tol untuk pengembangan kecepatan tinggi dan bebas hambatan, sistem distribusi logistik untuk perekonomian. Bukan perpindahan atau mobilitas individu,” ujar Yannes kepada VIVA.

Jika usulan Bamsoet mengarah seperti di Bali, maka, kata Yannes perlu investasi besar. Karena, akan dibutuhkan dana besar untuk merombak tol yang ada di Indonesia.

“Apakah mau tetap memisahkan roda dua atas dasar pertimbangan keamanan, tapi perlu investasi besar. Atau mau membukanya untuk semua pengguna kendaraan atas pertimbangan sosial,” ujarnya menjelaskan.

Sementara itu, pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting, Jusri Pulubuhu mengatakan, hal itu bisa saja dilakukan. Namun, jalur yang digunakan motor dan kendaraan beroda empat atau lebih harus dipisahkan.

“Seandainya dibuat jaur terpisah, seperti Bali atau Surabaya-Madura, enggak ada masalah. Dari kacamata keamanan, ada pemisah atau barrier. Artinya, motor tidak akan berinteraksi langsung dengan roda empat,” ujarnya saat dihubungi VIVA.

Jusri juga membahas mengenai empati dan tertib lalu lintas, yang dianggap belum sepenuhnya dimiliki pengguna kendaraan di Indonesia. Alhasil, jika lajur dua kendaraan yang berbeda ukuran dan bentuk itu tidak dipisahkan, maka berpotensi menimbulkan bahaya.

“Pengguna mobil yang harusnya di jalur lambat, ada di jalur cepat. Bahu jalan tol dibuat menyalip, apa enggak habis itu pengendara motor. Itu alasan saya, belum waktunya motor masuk tol di satu jalur seperti luar negeri.” (mus)