Memapankan Identitas Musik Klasik Indonesia
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Suguhan musik klasik Indonesia menggema syahdu membuai penonton yang hadir di Jakarta New Year's Concert 2019 di Ciputra Artpreneur Theater Jakarta pada Minggu, 13 Januari 2019. Sederet mahakarya Ismail Marzuki dalam gubahan orkes megah, di antaranya Melati di Tapal Batas, Gugur Bunga, Selendang Sutra, Halo-halo Bandung hingga Indonesia Pusaka mengalun indah berkat kepiawaian pianis dan komposer ternama negeri ini, Ananda Sukarlan.
Musisi berusia lima dekade yang telah bermain piano sejak usia 5 tahun ini berkolaborasi dengan lima musisi milenial dalam konser bertema Millennial Marzukiana. Mereka adalah Jessica Sudarta (harpis), Finna Kurniawati (violis), Anthony Hartono (pianis), Mariska Setiawan (soprano), dan Widhawan Aryo (tenor).
Ananda Sukarlan ingin mengenalkan karya musisi legenda Indonesia ke ranah musik klasik internasional. Dengan mengadopsi strategi proxy war dalam musik yang diterapkan negara-negara Eropa sejak lama, Ananda Sukarlan berharap partitur karya Ismail Marzuki bisa dibawakan oleh orkes maupun dirigen manapun, sehingga karya anak bangsa dikenal di seluruh dunia.
"Musik Mozart dapat dikenal di seluruh dunia karena para musikus dan orkes di semua negara, termasuk Indonesia memainkan karya-karya mereka,” kata musisi yang pernah diundang Ratu Sofia dari Spanyol sebagai pengisi acara konser malam Gala Queen Sofia Prize pada 2000 itu.
“Jika memainkan musik Mozart kita telah membantu memperkenalkan produk seni Austria, inilah yang saya harapkan dengan hasil orkestrasi saya dari musik Marzuki, partitur karya-karyanya bisa dibawakan oleh musisi manapun di seluruh dunia sekaligus memperkenalkan musik sastra asli Indonesia," tuturnya.
Tak cuma musik Marzuki, misinya juga ingin mengangkat musik klasik Indonesia dari musik daerah supaya mendunia. Ada lagi, dia yang pernah berkolaborasi dengan komponis besar Prancis, Pierre Boulez itu juga gigih mengenalkan musik klasik ke masyarakat di pelosok negeri ini.
Tujuannya, untuk menunjukkan kepada mereka bahwa musik klasik bukan cuma musik orang Barat, bukan musik yang membosankan dan bukan milik kalangan elite. Tapi, musik semua orang, termasuk masyarakat Indonesia, dengan identitas asli Indonesia.
Dan pada Selasa, 15 Januari 2019, Ananda Sukarlan bersedia berbagi cerita kepada VIVA mengenai visi dan misinya memapankan musik klasik Indonesia dan membuatnya makin mendunia di kantornya, Ananda Sukarlan Center for Music & Dance di kawasan Fatmawati, Kebayoran Baru, Jakarta. Berikut ini petikan wawancaranya.
Dikenal sebagai salah satu pianis dan komposer terpenting di negeri ini, apa visi dan misi Anda untuk musik klasik Indonesia?
Buat saya semua orang penting. Saya enggak merasa (menjadi pianis dan komposer terpenting di Indonesia) sih. Soal visi dan misi, saya sebetulnya lebih ingin memapankan identitas musik klasik Indonesia karena kelihatannya yang belajar musik klasik di Indonesia sangat terpaku dengan musik-musik Barat, sedangkan hampir semua negara di dunia, seperti Jepang, Korea, China dan lainnya (kecuali Afrika), itu sudah punya identitas musik klasik seperti apa.
Identitas itu tetap tekniknya Barat, cara memainkannya, komposisinya, tapi materialnya sangat Indonesia. Kita itu punya material yang banyak, instrumen yang sangat beragam, ada dari bambu, di mana negara lain enggak punya.
Kalau mau mendunia, instrumennya mesti standar seperti piano. Tapi kalau material musiknya kolintang yang bunyinya beda, harmoninya beda, begitu juga gamelan yang beda tangga nadanya, itu yang menurut saya harus dieksploitasi di komposisi musik klasik Indonesia. Dan hanya dengan itu, kita bisa mendunia karena kalau kita meniru Beethoven atau Mozart, kita hanya bangsa yang meniru saja.
Musik klasik Indonesia sudah ada sejak kapan?
Mungkin sampai sekarang musik klasik Indonesia belum ada karena komponis Indonesia itu, ada Amir Pasaribu tapi musiknya sangat terbatas dan belum mendunia karena beliau hanya berkonsentrasi pada piano. Beliau saya kira komponis pertama yang mengeksploitasi material musik daerah Indonesia. Beliau membuka jalan, membuka pintu tapi enggak ada yang masuk, enggak ada yang melangkah, jadi saya pikir sayang sekali ada yang memberi jalan, kenapa enggak kita masukin.
Seperti apa karakter musik klasik Indonesia?
Material, harmoni, melodinya dari musik rakyat Indonesia, instrumennya saja yang Barat, tangga nada dan tekniknya Barat, sehingga semua pianis bisa memainkannya. Jadi ini strateginya seperti proxy war, menyebarkan kebudayaan dengan tangan orang lain karena penyebaran musik-musik Barat seperti itu.
Musiknya Mozart yang mainin orang-orang Indonesia, bukan mengirim pianis dari Austria ke Indonesia, bukan begitu, itu akan susah. Ini musik Indonesia harus bisa dimainkan pianis-pianis dari seluruh dunia.
Orang Jerman punya Beethoven, orang Austria punya Mozart, orang Indonesia punya siapa? Itu yang membuka mata saya, oh ternyata kita enggak punya apa-apa pada saat itu.
***
Mendokumentasikan Musik Rakyat
Jadi musik klasik apa yang ingin ditawarkan dari Indonesia?
Saya bikin karya-karya Rapsodia Nusantara. Itu karya-karya yang bisa ditampilkan di konser yang menunjukkan kematangan teknik yang tinggi dari pianis tapi berdasarkan dari lagu daerah Indonesia. Jadi musiknya sangat klasik, tapi gayanya tetap Indonesia. Sampai sekarang sudah bikin 24 dan sekarang lagi bikin yang ke-25.
Yang 25 saat ini, saya lagi bikin lagu rakyat dari Belitung, yang untungnya ada YouTube, jadi enggak perlu ke sana. Yang pertama dari Jakarta, ada juga dari Ambon, Papua, Batak, Aceh, Lampung dan lainnya. Saya cita-citanya minimal bikin Rapsodia Nusantara sebanyak 34 karena ada 34 provinsi di Indonesia. Sampai sekarang baru 24,5 (24 Rapsodia dan Rapsodia 25 masih dalam proses). Saya mulai tahun 2005, sekarang sudah 13 tahun. Itu saya bikin di sela-sela saya bikin opera, orkes.
Sebetulnya cita-cita saya karena sudah 50 tahun, saya ingin explore, jalan ke banyak daerah di Indonesia untuk mendokumentasi musik-musik rakyat yang tidak terkenal. Kalau Ampar-ampar Pisang dan Yamko Rambe Yamko sudah pada tahu. Tapi banyak hal yang belum terdokumentasi, saya ingin datang ke daerah-daerah, tinggal dengan suku-suku lokal untuk mendengarkan musik rakyat mereka.
Saya ingin kasih contoh, jadi waktu gempa bumi di Palu, saya mau bikin sesuatu untuk orang Palu. Kemudian saya nyari-nyari di Google, dan di sana ada suku Kaili. Kemudian saya ingin tahu suku Kaili itu musiknya seperti apa, kemudian saya cari tapi ternyata enggak ada di internet. Jadi saya email ke teman-teman yang suka musik etnik, terus mereka bilang, ada pastur misionaris orang Jerman pernah ke suku Kaili dan menulis melodi itu, dan tulisannya terdokumentasi di salah satu seminari di Yogya.
Jadi saya menemukan melodi yang sama sekali saya belum pernah dengar dan banyak orang belum pernah dengar, dan itu bagus banget. Kemudian saya bikin musik yang saya beri nama Two Folks Songs from Kaili, lalu saya harmonisasi dan saya bikin. Hal seperti itu yang saya ingin kerjain karena saya melihat banyak lagu daerah yang bagus, yang sangat mencerminkan nilai budaya kita, tapi hampir punah dan bahkan sudah punah.
Anda sudah turun langsung ke mana saja?
Saya baru ke Sulawesi Selatan, Makassar. Di Bali saya dengar beberapa gamelan bumbung, jadi bukan gamelan yang ada di hotel. Sampai saat ini baru itu.
Secara garis besar apa yang bisa Anda simpulkan?
Bahwa dari musik daerah itu kita punya kekayaan budaya yang menunjukkan nilai seni yang tinggi dari musik Indonesia. Karena seni itu banyak orang enggak mengerti bagaimana caranya menjadikan pilar ekonomi bangsa. Orang selalu berpikir infrastruktur dan tambang, yang tentu saja memang sangat penting, tapi seni dan seni rakyat itu penting juga dan bisa mendatangkan banyak uang ke negara.
Kalau kita lihat kota di Austria, namanya Salzburg, orang enggak akan tahu Salzburg itu apa kalau enggak ada Mozart di sana. Ada suatu musik orang enggak akan tahu kalau Mozart enggak angkat. Dan Salzburg itu kota turisme yang menarik karena ada Mozart-nya. Di Indonesia dengan ada gunung meletus, tsunami, kita baru mengeksploitasi wisata dari keindahan alamnya, tapi belum dari nilai budayanya, itu yang menurut saya, pemerintah bisa lebih mengeksploitasi.
Produk seni itu seperti etalasenya buat negara. Jadi kalau negara itu toko, turisme itu etalasenya. Itu yang memperkenalkan negara kita. Negara kita mungkin ekonominya oke, tapi orang enggak akan datang ke Indonesia cuma karena ekonominya oke tapi karena produksi seninya indah, dan itu enggak hanya musik, lukisan, tarian, dan kita punya hal-hal itu yang enggak dipunya negara lain. Ada wayang, gamelan, itu sangat unik dan masih banyak lagi.
Itu harus kita patenkan, itu harus kita kemas. Jangan kita punya produk mentahnya nanti dikemas oleh orang lain. Sama seperti kopi, kita hanya mengekspor yang mentah, kemudian diproses oleh luar negeri jadi capucino, padahal itu dari sini, masuk sini dihargai berkali-kali lipat. Makanya budaya dan seni itu harus bisa kita proses.
Anda sering menampilkan keberagaman dalam karya Anda, seberapa penting itu buat Anda?
Penting banget karena identitas kita keberagaman. Enggak ada negara yang punya keberagaman seperti Indonesia. Kalau ke Spanyol, semua bicara bahasa Spanyol, cara berpikir dan budaya sama. Indonesia sangat berbeda dan itu yang bikin kita jadi bangsa yang unik, yang berbeda dari bangsa yang lain dan dari nenek moyang kita sudah begitu.
Kalau ada yang bilang budaya timur harus ditutup semua, kita lihat lukisan Bali dari zaman dahulu itu dada perempuannya terbuka. Tidak apa-apa kita belajar dari budaya Barat, mau dari Amerika, Eropa, Arab untuk memperkaya budaya. Tapi kita enggak boleh kehilangan identitas kita. Budaya apapun enggak boleh menggantikan budaya kita.
Di karya saya, di Rapsodia Nusantara 1 dan Rapsodia Nusantara 2 itu jelas beda, karena berasal dari lagu daerah yang berbeda. Pianonya sama, instrumennya sama, tapi ada satu hal yang menyatukan bahwa sebetulnya keseragaman sendiri itu adalah keberagaman.
Anda lebih suka menyebut musik klasik sebagai musik sastra, bisa dijelaskan?
Musik sastra itu artinya musik yang tertulis, ada partiturnya. Jadi itu mudah untuk dimainkan orang lain karena ada partiturnya, seperti Mozart, Beethoven, itu mudah dibaca dan dimainkan oleh pianis di mana pun, bahkan ketika komponisnya sudah meninggal sekalipun.
Seharusnya semua musikus bisa baca not, di Indonesia kan masih banyak musikus yang belum bisa baca not. Kalau di Eropa, anyway di Spanyol (Ananda juga tinggal di Spanyol), anak SD diwajibkan baca not karena itu bagian pendidikan dasar.
Anda mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia, apa tujuannya?
Itu untuk memberi pendidikan musik gratis ke anak-anak yang tidak mampu. Jadi kita selalu cari donatur untuk instrumen. Kalau ada yang punya instrumen bekas atau tidak terpakai yang mau didonasikan, nanti kita betulin dan nanti kita pinjamkan kepada anak-anak yang tidak mampu. Jadi selain diajarin main instrumen, juga diajarin baca not, mereka juga harus punya tanggung jawab merawat instrumen itu.
Kalau dalam 6 bulan tidak ada kemajuan atau instrumen itu tidak dirawat, kita enggak terusin. Ini bukan hanya pendidikan soal musik, tapi juga soal tanggung jawab dan soal bagaimana menghargai perbedaan karena anak datang dari berbagai agama dan berbagai suku, begitu di sini mereka main bersama-sama dan mereka lihat perbedaan itu justru indah, instrumen berbeda justru indah, kalau instrumen yang sama justru membosankan. Lewat musik mereka jadi akrab, dan akhirnya meruntuhkan tembok perbedaan.
***
Kenalkan Musik Klasik ke Pelosok
Suka dukanya jadi pianis sampai saat ini?
Dukanya ya di sini, banyak orang yang tidak mengerti profesi saya. Mereka pikir ini bukan profesi, ini senang- senang, main piano kan enak, padahal ini adalah sebuah profesi yang punya tanggung jawab juga. Di sini kan orang konser, beli tiket itu harus bagus, dipersiapkan secara matang.
Orang mikir karena saya sudah bisa main piano ya saya datang saja tinggal main, padahal enggak begitu, bukan hanya piano tapi kan orkes, segala macam. Ini profesi yang benar-benar serius dan ini profesi yang bisa digeluti generasi muda, karena peminatnya banyak sekali, yang datang ribuan kalau konser di sini.
Apa pandangan itu masih belum berubah?
Sudah berubah tapi belum semua masyarakat dan oleh sebab itu saya ingin konser di tempat-tempat kecil. Waktu itu ke Rangkas Bitung, ke Malang. Saya ingin ke kota-kota yang belum pernah mendengar musik klasik.
Apa tujuannya?
Supaya mereka dengar, agar mereka tahu ini musik klasik seperti apa, ada pandangan orang bahwa musik klasik itu musik orang Barat, musiknya orang kaya, musik yang membosankan, itu saya tunjukin bahwa itu enggak benar. Musik klasik itu musik kita semua, musik orang Indonesia. Bahkan orang Indonesia bisa bangga karena punya musik klasik yang punya identitas Indonesia dan itu dengan identitas Indonesia saya dapatkan dari musik-musik di daerah terpencil.
Misalnya, seperti yang saya dapatkan dari suku Kaili dan mereka punya musik yang indah sekali. Begitu juga waktu saya ke Rangkas Bitung dan Malang untuk mendengarkan musik yang benar-benar tradisional dan murni.
Prestasi paling berkesan dan cita-cita Anda berikutnya?
Kalau nonmusikal sih saya punya anak sekarang kuliah. Di musik sendiri segala penghargaan kalau buat anak muda penting, tapi cita-cita saya membawa musik Indonesia ke dunia internasional, yang saya sudah mulai. Bahkan ada yang nanya 2000 Outstanding Musician of the 20th Century (Ananda Sukarlan menjadi satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam daftar ini karena dianggap berdedikasi pada dunia musik dunia). Itu sebetulnya kalau saya bukan orang Indonesia, enggak akan masuk situ. Karena saya di situ, saya ditulis sebagai orang Indonesia yang memperkenalkan musik Indonesia ke dunia internasional.
Kalau saya orang Eropa mungkin ya biasa-biasa saja karena musik Eropa sudah terkenal di seluruh dunia. Jadi saya tinggal melanjutkan cita-cita saya yang sudah saya mulai, dan justru mengenal musik saya sendiri, musik Indonesia, musik daerah, dan saya ingin punya banyak waktu buat jalan jalan dan mendokumentasikan musik-musik itu.
Proyeksi musik klasik Indonesia ke depan bagaimana?
Saya sih sambil jalan dan saya ngerjain ini sampai sekarang sendiri, dan belum sempat minta pemerintah mendukung, tapi mungkin pemerintah bisa dukung dan terutama generasi muda, banyak pianis muda, bila seperti konser saya kemarin ada lima instrumentalis muda, mereka bisa menjadi aset negara. Tapi lagi-lagi strategi diplomasi kebudayaan seperti proxy war, di mana musik-musik itu harus bisa dimainkan oleh musikus-musikus di luar negeri. Jadi mereka yang mainin musiknya tapi kita yang dapat promosinya.
Konser Millenial Marzukiana kemarin itu tentang apa?
Itu dari musik Ismail Marzuki tapi saya bikin orkes. Karena musik Ismail Marzuki seperti yang tadi saya bilang seperti biji kopi mentah, jadi dia hanya menulis melodi dan kata-katanya. Melodinya itu indah banget tapi dengan kata-kata bahasa Indonesia, kan orang luar negeri enggak ngerti. Jadi saya hanya mengambil melodinya, kemudian saya kemas dengan orkestrasi, jadi itu untuk orkes. Jadi itu memperkenalkan Ismail Marzuki tapi harus dikemas dahulu.
Apa karya Anda berikutnya?
Konser di Washington DC tanggal 24 Januari untuk memperingati 250 tahunnya Beethoven. Jadi saya diminta oleh organisasi di Amerika Serikat, bikin satu karya yang ada hubungannya sama Beethoven tapi harus mencerminkan keadaan sekarang, termasuk keadaan negara saya sekarang. Itu sebetulnya saya bikinnya tahun lalu, persis Januari tahun lalu. Beethoven itu pernah bikin lagu namanya Moonlight Sonata. Moonlight kalau bahasa Indonesia artinya cahaya purnama. Jadi saya bikinnya No More Moonlight Over Jakarta, tidak ada lagi cahaya purnama di atas Jakarta. Kemudian musiknya Moonlight saya distorsi bahwa kita itu sedang dalam masa kegelapan.
Harapan Anda untuk musik klasik Indonesia?
Bahwa ini bisa menjadi etalasenya Indonesia. Kalau kita toko bisa menarik, bukan hanya menarik turis tetapi juga investor karena di Eropa sudah terbukti itu bisa punya power dan juga diplomasi kebudayaan. (art)