Jangan Sampai Main-main sama Bencana
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Tsunami lagi-lagi menghempas Indonesia. Kali ini menggulung sebagian ujung barat Jawa dan selatan Sumatera. Tsunami Selat Sunda sudah menelan 281 korban jiwa, 1.016 orang luka-luka, dan 57 masih hilang.
Sayangnya, meski pemerintah sadar wilayah Tanah Air langganan bencana, alat deteksi tsunami ternyata sudah rusak bertahun-tahun. Ditambah dalih minimnya ciri-ciri kedatangan tsunami, yang bisa menjadi bencana dahsyat itu, di mata para pakar.
Tsunami yang melibas sebagian wilayah di Pandeglang, Banten hingga Lampung kini terang-benderang bukan sekadar gelombang tinggi biasa. Dugaan gelombang tinggi itu awalnya sempat dikemukakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Sabtu malam, 22 Desember 2018.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pula pada malam itu tak menyebutkan adanya potensi tsunami. Menjelang pagi, informasi valid perihal tsunami baru mengemuka.
Ngerinya, diketahui ternyata sangat banyak korban. Angka korban yang terungkap bahkan terus bertambah.
Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penanggulangan Bencana Nasional, Sutopo Purwo Nugroho karena itu sempat meminta maaf karena informasi yang dia sampaikan via akun Twitter yang kerap menjadi rujukan itu ternyata meleset.
Belakangan, Sutopo kembali mengingatkan bahwa alat pendeteksi tsunami, jaringan yang harganya miliaran rupiah sudah rusak sejak 2012. Hal yang sama memang pernah dia kemukakan usai gempa bumi dan tsunami memukul Palu beberapa bulan lalu.
Menurutnya, alat pendeteksi tsunami yang merupakan hibah dari Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia itu dirusak oleh pelaku vandalisme hingga alat itu tak lagi berfungsi.
Alat deteksi tsunami atau buoy selayaknya dipasang di sepanjang pesisir Indonesia, khususnya yang rawan bencana. Deteksi itu bukan barang mainan. Namun sayangnya, hal itu belum ideal terjadi. Kondisi itu yang menyebabkan mitigasi dan upaya preventif mencegah adanya jumlah korban akibat tsunami menjadi hal yang tak mudah.
***
Kecolongan?
Merespons hal itu, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari dalam wawancara dengan VIVA mengatakan, tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018 berciri sama dengan meletusnya Gunung Krakatau pada 1883 tepatnya 135 tahun silam. Dalam tiga bulan terakhir, Gunung Anak Krakatau memang juga dalam keadaan erupsi.
Namun, menurut dia, para peneliti awalnya belum bisa memastikan jikalau tsunami ini murni dampak erupsi dari Gunung Anak Krakatau atau dipicu pula adanya faktor lain.
Berdasarkan catatan dari Badan Geologi, awalnya letusan tersebut tercatat sebagai letusan kecil dan tidak membahayakan. Namun, nyatanya jika dilihat dari citra satelit, memang ada bagian gunung yang runtuh sehingga hal tersebut yang diidentifikasi sebagai penyebab utama tsunami.
Data satu hari sebelumnya juga menyebutkan adanya erupsi, namun dalam kelas Stromboli yakni erupsi kecil yang dianggap tidak membahayakan meski jangka waktunya diketahui lebih lama. Kondisi itu yang menyebabkan pihak-pihak terkait bagai kecolongan dalam memprediksi bencana tsunami.
Pada Minggu, 23 Desember 2018, kemudian telah dilakukan pemantauan melalui udara menggunakan pesawat Grand Caravan Susi Air.
"Dengan jalan itu pun kita masih belum bisa memperkirakan penyebab tsunami karena Anak Gunung Krakatau masih tertutup material," katanya.
Dari blog Dongeng Geologi, yang digagas pakar geologi Rovicky Dwi Putrohari, berjudul “Longsoran Anak Krakatau Picu Tsunami Anyer” dan dikutip melalui situs web geologi.co.id, BMKG menyebutkan, 30 menit sebelum tsunami, Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi.
Berdasarkan blog itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga merekam adanya perubahan pada sisi barat gunung yang sebelumnya dipantau pada 11 Desember 2018.
Sementara itu, Rovicky dalam wawancaranya dengan tvOne pada Minggu 23 Desember 2018, mengatakan, jika hipotesanya biang tsunami Anyer adalah aktivitas Gunung Anak Krakatau, menurutnya, perlu melihat perubahan morfologi gunung tersebut.
"Kalau diawasi sebelumnya, apakah ada perubahan atau tidak. Kemungkinan yang di atas longsor terus masuk ke bawah dan memicu longsoran di bawah lagi dan sebabkan tsunami," kata dia dalam wawancara dengan tvOne itu.
Dia mengatakan, dengan kondisi Gunung Anak Krakatau yang dinamis dan terus berubah bahkan kritis, gangguan kecil saja di gunung tersebut bisa mendatangkan longsoran. Gangguan yang dimaksud yakni berupa getaran atau goyangan dari aktivitas vulkanik maupun tektonik.
"Gangguan kecil ini bisa saja, adanya getaran atau goyangan. Bisa juga penambahan material juga perubahan muka air laut," tuturnya.
Dia mengatakan, tsunami akibat longsoran di bawah laut tidak sulit untuk mendapatkan peringatan dini. Perlu peta batimetri atau peta kedalaman laut yang detail untuk bisa melihat adanya longsoran bawah laut. Selain itu, saat ini tidak ada alat pemantau longsoran bawah laut.
"Kalau kita lihat longsoran di bawah laut, tidak seperti di permukaan. Kalau di permukaan barangkali siang ini masih bergerak, di bawah (laut) sana belum stabil atau menuju stabil. Ini seperti gempa, itu seperti ada pendahuluannya," ujarnya.
Dia menuturkan, longsoran di bawah permukaan atau di atas permukaan dapat dipicu oleh getaran gempa tektonik, maupun gempa vulkanik.
Buoy
Namun, memang disayangkan kembali perihal sistem peringatan dini di Indonesia yang masih minim. BMKG karena itu tak mampu memberi peringatan dini tsunami yang dibangkitkan karena gunung api. Komponen sistem yang dimiliki saat ini hanya peringatan dini tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi.
"Pengalaman yang saat ini harusnya bisa menjadi bagian untuk penyempurnaan sistem peringatan dini walaupun butuh waktu," kata Abdul Muhari.
Di negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan lainnya, jelas memiliki alat canggih yang dapat mendeteksi tsunami.
Menurut pria yang disapa Aam ini, sebagaimana disampaikan Sutopo, Indonesia juga pernah memiliki alat deteksi yang disebut buoy pada 2011.
"Enggak sampai dua tahun buoy kita sudah di-vandalisme. Ada bagian yang diambil sehingga tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya," ujarnya.
Alat tersebut padahal bisa mendeteksi jika diketahui adanya gelombang yang tidak biasa, kendatipun tidak terjadi gempa bumi. Oleh karena itu alat peringatan dini tersebut seharusnya dimiliki Indonesia yang bisa diletakkan di laut baik bagian permukaan maupun dasarnya.
Aam juga mengatakan bahwa potensi tsunami susulan cenderung masih ada.
"Kami belum punya gambaran, daripada salah karena keterbatasan data saat ini, saya cenderung mengatakan potensi tsunami masih ada. Sampai ada data yang bisa memastikan periode letusan gunung berkurang," kata dia lagi.
***
Luruhan Kolaps
Di tempat berbeda, saat menyampaikan konferensi pers, Kepala BMKG Dwikorita akhirnya memastikan bahwa luruhan maupun kepundan yang kolaps dari Gunung Anak Krakatau adalah penyebab tsunami Selat Sunda.
Luruhan itu yang menyebabkan terjadi longsor bawah tanah laut. Luruhan dari lereng gunung yang hilang dan ternyata cukup luas diduga longsor dalam waktu yang cukup cepat.
“Ada 64 hektare lereng gunung yang hilang, tentunya membuat guncangan,” kata Dwikorita di kantor BMKG, Jakarta, Senin 24 Desember 2018.
Tremor atau getaran disebut memiliki magnitude 3,4 dengan episentrum di Gunung Anak Krakatau. Materi kolaps ini menyebabkan guncangan lalu longsoran.
“Ini yang menjadi tsunami di pantai pada pukul 21.27 atau 24 menit kemudian (setelah erupsi) dengan tinggi 0,9 meter di empat titik di Banten, Serang, Bandar Lampung,” ujarnya.
Hasil kausal erupsi gunung Anak Krakatau dengan tsunami Banten akhirnya bisa disampaikan BMKG setelah instansi tersebut mengaku melakukan analisis dengan lembaga-lembaga lain.
Jangan Tunggu
Pada Senin kemarin, saat memantau lokasi bencana di Banten, Presiden Joko Widodo menjawab soal ketiadaan alat deteksi tsunami di Indonesia. Sejurus, Jokowi meminta pengadaannya dilakukan dalam waktu segera.
“Saya perintahkan BMKG untuk membeli alat-alat deteksi early warning system yang bisa memberikan peringatan-peringatan dini kepada kita semua, kepada masyarakat,” kata Jokowi di Pantai Carita, Pandeglang, Banten.
Catatan tahun ini, sudah dua kali Indonesia diterjang tsunami. Lebih awal, tsunami pascagempa bumi menerjang Palu dan Donggala yang menyebabkan sedikitnya 1.946 orang tewas.
Sementara itu, tsunami Banten sudah memakan korban jiwa hingga 281 orang pada hari ketiga pascabencana. Tak main-main, besarnya kerugian jiwa dan materi akibat bencana tersebut tak pantas dipandang sebelah mata.
“Supaya masyarakat bisa menghindar,” kata Jokowi lagi soal urgensi pengadaan alat buoy itu. (art)