Teror Rentenir Online
- The Guardian Nigeria
VIVA – Di era teknologi yang serba canggih saat ini membuat masyarakat mudah melakukan sejumlah transaksi keuangan melalui sistem online. Tak terkecuali bagi mereka yang ingin melakukan pinjaman online.
Dalam beberapa tahun terakhir, perilaku melakukan pinjaman online dimulai dari bermunculannya perusahaan startup Financial Teknologi (fintech) yang menawarkan jasa pinjaman uang berbasis aplikasi dengan cara mudah.
Sayangnya, maraknya startup fintech pinjaman uang tersebut tidak semua mematuhi aturan yang sudah diterapkan oleh regulator. Bahkan, sejumlah fintech tersebut justru belum mengantongi izin Otoritas Jasa Keuangan.
Buruknya kondisi tersebut kemudian mulai terlihat dari sejumlah kisah-kisah dari nasabah pinjaman online yang mengeluh atas praktik tidak baik para pemain fintech tersebut.
Salah satu praktik tidak baik dan melanggar aturan tersebut terjadi pada Agustin Cahyani (23) yang meminjam uang di salah satu aplikasi pinjaman online (Pinjol).
Agustin saat itu melakukan pinjaman kepada Pinjol sebesar Rp1,8 juta pada akhir September 2018. Namun, karena belum bisa dibayar, Pinjol mengenakan bunga Rp80 ribu per hari, sehingga Ia harus kembalikan uang Rp1,9 juta.
Padahal, saat peminjaman Agustin hanya menerima uang dari Pinjol sebesar Rp1,3 juta karena adanya berbagai potongan administrasi yang dikenakan kepada nasabah.
Tak sampai di situ, Agustin yang belum bisa membayar pinjamannya juga mendapatkan perilaku yang tidak baik dari para penagih utang. Salah satunya adalah menyebarkan privasi konsumen kepada publik.
Proses penyebaran data yang dialami Agustin merupakan salah satu cara penagihan yang dilakukan oleh para penagih utang pinjaman online. Kasus itupun kini sudah ditangani oleh LBH Jakarta.
Pengacara Publik dari LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan mekanisme pengumpulan, pengambilan dan penyebaran data pribadi yang dilakukan aplikasi pinjaman oleh sebenarnya telah melanggar Undang-undang.
"Itu enggak boleh. Itu melanggar Undang-undang, Pasal 27, Pasal 29 UU ITE, itu tindak pidana, sanksinya diatur di Pasal 45 (UU) ITE," kata Jeanny.
Menurut Jeanny, aplikasi pinjaman online itu merupakan praktik rentenir yang menggunakan teknologi digital, yang melakukan praktik lebih jauh.
Untuk itu, LBH Jakarta masih menampung keluhan nasabah sampai 25 November 2018. Dan sejak 2016, LBH Jakarta telah menerima pengaduan dari 283 orang terkait pinjaman online.
Tak Berizin OJK
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Nurhaida mengakui, maraknya kasus rentenir online akhir-akhir ini lantaran cepatnya industri keuangan digital berkembang di Indonesia.
Menurut dia, cepatnya perkembangan tersebut membuat beberapa aspek-aspek dalam pengawasan yang belum dicakup pada sejumlah aturan-aturan yang sudah dibuat oleh OJK.
Untuk itu, dia pun mengatakan bahwa untuk melakukan penertiban terhadap kasus-kasus rentenir online itu, kerancuan akan penggunaan regulasi masih menjadi kendala untuk ditentukan dengan menggunakan aturan yang mana.
"Jadi, itu sebenarnya juga tantangan bagi regulator, untuk bisa memasukkan semua jenis kegiatan di sektor jasa keuangan itu, agar ada peraturannya," kata Nurhaida di kantornya, di Jakarta Selatan, Selasa 13 November 2018.
"Sehingga, kalau ada hal-hal yang dilanggar, maka itu jelas sanksinya bagaimana dan enforcement-nya seperti apa," ujarnya menambahkan.
Adapun untuk tindakan yang akan diambil OJK untuk rentenir online tersebut, Nurhaida menyatakan, pihaknya akan melihat apakah perusahaan fintech tersebut sudah terdaftar atau memang sudah memiliki izin dari OJK.
"Kalau (perusahaan fintech) itu belum (terdaftar), tentu ada ranah lain yang harus dilihat. Karena, OJK itu melakukan pengawasan dan pengaturan, dan ada ketentuan bagi pihak yang mau terdaftar dan dapat izin di OJK," kata Nurhaida.
Untuk perusahaan fintech yang belum terdaftar, lanjut Nurhaida, maka hal itu akan menjadi tugas bagi Satgas Waspada Investasi, di mana OJK juga menjadi anggota koordinatornya untuk melakukan penertiban terhadap perusahaan-perusahaan fintech tersebut.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI, Tulus Abadi mengungkapkan maraknya pengaduan konsumen terhadap perusahaan fintech pinjaman online harus ditanggapi serius OJK.
Bahkan, OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika di desak untuk segera memblokir perusahaan-perusahaan tersebut. Sebab, saat ini sudah lebih dari 100 pengaduan konsumen korban fintech yang diterima YLKI.
Tulus mengungkapkan dari 100 pengaduan konsumen tersebut rata-rata berupa
teror, denda harian, atau bahkan bunga yang setinggi langit. Adapun untuk teror dilakukan berupa fisik, telepon atau SMS dan denda harian.
"Ini jelas pemerasan kepada konsumen," kata Tulus.
YLKI juga mendesak OJK untuk segera memblokir perusahaan fintech ilegal, karena baru 64 perusahaan yang telah memiliki izin dari OJK sementara ada lebih dari 300 perusahaan fintech yang beroperasi saat ini.
Laporakan Segera
Sedangkan, untuk mengatasi masalah mengenai pinjaman aplikasi fintech, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan masyarakat bisa melaporkan kepada OJK dan Kominfo.
Sebab menurut dia, dua lembaga ini memiliki otoritas dalam mengatasi hal tersebut. Di mana dari sisi aturan bisnis ada di OJK, sedangkan dari ranah teknis teknologi ada di Kominfo.
Untuk itu, jika fintech itu menyebarkan data pribadi nasabahnya maka bisa dijerat UU ITE Pasal 32. Dan, jika ada tuntutan dari nasabah, maka bisa berujung ke meja hijau. Hal ini agar jangan sampai ada pihak yang mau menyalahgunakan data dari pengguna layanan itu
Selain itu, bila memang ditemukan ada pelanggaran, maka ke depan Kominfo bisa meminta Google Play Store atau Apple App Store untuk memberi tindakan lebih jauh lagi.
Menurut dia, kedua toko aplikasi itu akan memberi sanksi terhadap aplikasi yang melanggar aturan yang ditetapkan, berupa tidak bisa diunduh lagi oleh masyarakat.
Sebelumnya, dalam mengatasi sejumlah aduan dari masyarakat Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi, telah menemukan 182 entitas yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending, namun tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK.
Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing mengatakan, temuan itu berdasarkan pemeriksaan pada website dan aplikasi Google Playstore, di mana kesemuanya terbukti ilegal, karena tidak memenuhi aturan POJK 77/POJK.01/2016, dan berpotensi merugikan masyarakat maupun negara.
"Dampak negatifnya, kalau kita biarkan ini bisa digunakan untuk pencucian uang untuk terorisme. Data nasabah juga bisa disalahgunakan, karena tidak ada yang mengatur. Potensi penerimaan pajak juga tidak ada. Serta, dapat timbulkan ketidak percayaan terhadap fintech peer to peer landing legal, dan menghambat market share-nya," tegas dia, Jumat 7 September 2018.
Dengan temuan ini, jumlah peer to peer lending tidak berizin yang ditemukan Satgas Waspada Investasi menjadi 407 entitas, setelah temuan sebelumnya Satgas menemukan 227 entitas peer to peer lending beroperasi tanpa izin OJK.
Untuk itu, kata dia, Satgas Waspada Investasi meminta entitas Fintech Peer-To-Peer Lending tersebut menghentikan kegiatan, menghapus semua aplikasi penawaran pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, selesaikan segala kewajiban kepada pengguna dan segera mengajukan pendaftaran ke OJK.
"Dan, kami sampaikan ke Bareskrim, karena diduga melanggar ketentuan undang-undang dan berpotensi merugikan masyarakat. Kita juga minta Kominfo untuk memblokir semua konten yang terkait platform ini dan kita juga minta google remove ini," ungkapnya. (hd)