Halal Haram Kampanye Negatif

Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Maaruf Amin dan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno beserta sejumlah pejabat KPU, Bawaslu dan DPR melepas merpati secara bersama-sama saat acara Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawas
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Sejak resmi bergulir 23 September, baik kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 01 dan 02 kian gencar berkampanye. Berbagai jurus mulai dikerahkan dalam mempromosikan pasangan capres-cawapres, berikut partai-partai pendukung, hingga para calon anggota legislatif (caleg) dari masing-masing kubu jelang Pemilu Serentak 2019.      

Di tengah proses tersebut, isu yang kini menjadi sorotan adalah mengenai boleh tidaknya para peserta pemilu melakukan kampanye negatif. Idealnya, yang ditonjolkan adalah kampanye positif, yaitu lebih pada mempromosikan kelebihan atau keunggulan kandidat. Namun, kenyataannya, kampanye negatif belakangan ini juga banyak bermunculan, baik di media massa maupun media sosial.  

Kampanye negatif ini, baik secara sengaja maupun secara tidak sadar, kini sudah jadi andalan partai-partai politik beserta elite mereka untuk mempengaruhi publik. Partai Keadilan Sejahtera, salah satunya, bahkan mengakui turut menggunakan metode kampanye tersebut sebagai bagian dari strategi memenangkan kontestasi.

Seperti diungkapkan Presiden PKS, Sohibul Iman, bahwa pihaknya menggunakan kampanye positif dan negatif untuk pemenangan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Hal itu dia nyatakan usai menghadiri konsolidasi akbar tingkat nasional di Hotel Bumi Wiyata Depok, Jawa Barat, pada Minggu 14 Oktober 2018.

Sohibul mengungkapkan bahwa kampanye terdiri dari tiga jenis. Pertama adalah kampanye positif. Kedua adalah kampanye negatif, dan ketiga adalah kampanye hitam, yang berisi fitnah.

Mantan Wakil Ketua DPR itu mengatakan bahwa kampanye positif harus dominan 80 persen. Karena dengan itu, setiap calon atau peserta pemilu punya kelebihan dibanding calon lainnya.

Sohibul juga meyakini kampanye negatif tetap dibutuhkan. Tapi dia menegaskan kampanye negatif berbeda dengan black campaign atau yang disebut kampanye hitam.

"Kampanye negatif kita butuh, itu porsinya 20 persen. Kampanye negatif, kita mengungkapkan kelemahan yang dimiliki lawan, tapi berdasarkan fakta. Misalnya lawan kita pernah korupsi, kita ungkap dengan data dan fakta. Itu yang disebut kampanye negatif," kata Sohibul.

"Tapi kita zero toleran dengan fitnah atau menjelekkan lawan, yang tidak ada data faktanya," tegasnya lagi.

Reaksi penolakan segera datang dari kubu Jokowi-Ma'ruf Amin, lawan politik PKS di Pemilu 2019. Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily, sangat menyayangkan pernyataan Sohibul  tersebut.

"Sebetulnya bagi saya sangat disayangkan. Katanya mau kampanye dengan mengedepankan gagasan, dan program, tapi kok menganjurkan kampanye dengan nuansa negatif," kata Ace saat dihubungi, Senin 15 Oktober 2018.

Ia menilai seharusnya partai yang memiliki reputasi sebagai partai dakwah mengedepankan kampanye positif bukan negatif. Ia mempertanyakan apa sudah kehilangan orientasi positifnya sebagai partai yang mengedepankan dakwah yang mengajak kepada kebaikan.

"Walaupun kampanye negatif itu dibolehkan, mengedepankan hal yang positif jauh lebih baik daripada kampanye dengan tujuan menyerang. Belum tentu masyarakat akan simpatik. Masyarakat lebih suka menebar kebaikan daripada menjelek-jelekan pemerintahan," kata Ace.

Senada, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, juga mengingatkan agar dalam pilpres harus dijauhi kampanye negatif, yang dianggap sebagai kampanye yang tidak berdasarkan data.

"Namanya negatif kan itu negatif, yang namanya objektif berdasar dengan data. Jadi, kalau kita bicara data, kita bicara objektif. Kalau bicara di luar data, ya kita sebut negatif," kata Airlangga di Gedung DPR, Jakarta, Senin 15 Oktober 2018.

Ia menegaskan, partainya ingin pemilu berjalan damai. Karena itu harus selalu digunakan kampanye positif.

"Dan, tentu pemilu ini kita mengharapkan masyarakat diberikan hal yang sifatnya objektif. Kalau yang namanya praktik dan strategi, silakan masing-masing parpol," kata Airlangga.

Menurutnya, pemilu harus berkualitas. Karena itu, berbagai praktik yang kurang baik harus dihindari.

"Tujuannya, tentu bahwa mengingatkan Pemilu ke depan kita inginkan pemilu yang berkualitas, dan kita jauhi nilai negatif," kata Airlangga.

Penjelasan Bawaslu

Terkait masalah itu, Ketua Bawaslu, Abhan Misbah, berharap di masa-masa kampanye, seluruh tokoh politik bisa menyejukkan situasi. Menurutnya, bila yang dipersoalkan adalah negative campaign atau black campaign maka harus dilihat per kasus.

"Jadi apakah itu black campaign atau negative campaign itu harus dilihat apa yang diucapkan, kasusnya," kata Abhan di Gedung DPR, Jakarta, Senin 15 Oktober 2018.

***

Apakah Bawaslu membolehkan kampanye negatif? Abhan menolaknya. Dia menegaskan dalam menghadapi masalah tersebut, dia harus melihat dulu kasusnya karena bisa masuk ke kampanye negatif atau hitam.

Meskipun demikian, Abhan menyatakan siapapun yang melakukan kampanye negatif bisa saja terkena sanksi. Misalnya UU Pemilu 7/2017, pasal 280 bahwa peserta, pelaksana kampanye dilarang melakukan, memfitnah, dan sebagainya.

"Apakah itu masuknya fitnah atau enggak, lihat itu. Jadi lihat kasusnya," ujarnya.

Bagi masyarakat umum pun, Abhan mengingatkan mereka bisa saja terkena sanksi pidana bila melakukan kampanye negatif, hitam, yang berisi fitnah. Sebab, selain UU Pemilu, masih ada aturan lain yang terkandung di dalam UU ITE dan KUHP. Begitu pula bila ada tindak pidana lainnya seperti tawuran.

"Bisa dilakukan penyidikan oleh polisi," ujar Abhan.

Abhan juga membicarakan soal banyaknya kampanye negatif dan juga hitam di media sosial. Dia menyampaikan berdasarkan Peraturan KPU, masing-masing tim kampanye peserta pemilu diperbolehkan memiliki maksimal 10 akun media sosial di setiap aplikasi.

Berdasarkan pengetahuannya, mereka yang terdaftar itu baik-baik semuanya. Justru yang isi kontennya aneh-aneh adalah mereka yang di luar yang terdaftar.

Dia menegaskan ketika akun-akun media sosial tim kampanye calon atau peserta pemilu yang terdaftar terbukti melakukan pelanggaran, maka mereka bisa melakukan upaya take down. Tapi bila pelanggaran itu dilakukan di luar mereka yang terdaftar maka mereka bisa terkena tindak pidana.

Lebih lanjut, Abhan menuturkan kampanye negatif dan hitam sebetulnya berbeda. Dia menyampaikan kampanye hitam lebih kepada fitnah. Sedangkan kampanye negatif adalah fakta, sebuah kebenaran.

"Misal si A pernah divonis sebagai koruptor, kemudian menyampaikan ke publik, bukan black campaign," katanya.

Tapi, Bawaslu tidak dalam posisi mengizinkan atau tidak mengizinkan kampanye negatif. Dia menegaskan soal pelanggaran pemilu hanya bisa dilihat secara kasuistis.

"Bukan persoalan diizinkan atau enggak diizinkan, tapi itulah definisinya seperti itu. Apakah nanti ada pelanggaran atau enggak harus secara kasuistis. Belum tentu an sich hanya negatif campaign bisa juga ada unsur black campaignnya. Bisa juga terjadi. Jadi harus kasuistis," tuturnya.

Halal dan Sah-sah Saja

Masalah kampanye negatif tersebut juga menyita perhatian Pakar Hukum Tata Negara Moh. Mahfud MD. Dia mengatakan black campaign adalah kampanye yang penuh fitnah dan kebohongan tentang lawan politik. Sedangkan negative campaign adalah kampanye yang mengemukakan sisi negatif atau kelemahan faktual tentang lawan politik.

"Negative campaign tidak dilarang dan tidak dihukum karena memang berdasar fakta. Yang bisa dihukum adalah black campaign," tutur Mahfud melalui akun Twitternya, @mohmahfudmd, belum lama ini.

***

Dia mencontohkan apabila seseorang mengatakan Jokowi PKI atau bilang Prabowo terlibat ISIS maka itu adalah black campaign. Tapi bila seseorang mengatakan Jokowi kerempeng, atau menyebut Prabowo kalah terus dalam pilpres, maka itu negative campaign.

"Black campaign bisa dipidana, negative campaign bisa dilawan dengan argumen," ujarnya.

Namun, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyarankan agar kampanye sebaiknya adu program saja. Tidak usah menggunakan black campaign atau negative campaign.

"Tapi kalau ada terpaksa melakukan negative campaign, maka tidak ada sanksinya. Barulah anda bisa dihukum atau dipidanakan kalau melakukan black campaign," lanjut dia.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengakui kampanye negatif sah-sah saja dan diperbolehkan dalam suatu kontestasi demokrasi. Hal itu berbeda dengan kampanye hitam yang berisi berita hoax, fitnah, atau menyebarkan berita bohong.

"Asal yang disampaikan itu berdasarkan fakta dan data. Sah-sah saja," kata Sunanto saat dihubungi VIVA.

Menurut dia, cara melawan kampanye model seperti itu adalah dengan menyampaikan keberhasilan-keberhasilan di pihak yang terkena kampanye negatif. Kemudian dengan menyampaikan fakta-fakta yang lain.

"Kalau ada fakta-fakta yang dianggap merugikan maka harus dijawab, di-counter dengan fakta-fakta yang bisa meluruskan atau menguntungkan," ujarnya.

Terlepas dari itu, Sunanto memandang letak permasalahan kampanye negatif ada pada bahasa. Dia menyarankan sebaiknya istilah itu tidak dipakai, dan diganti dengan kampanye kritis.

"Kata negatif akan memperkeruh suasana. Lebih baik kalau pakai kampanye kritis. Jadi tidak negatif, karena kesannya jelek semua," katanya.

Dia mengatakan dalam demokrasi yang seharusnya disampaikan kepada publik adalah gagasan, bagaimana meraih masa depan lebih baik. Gagasan-gagasan itulah nantinya yang diharapkan menjadi referensi pemilih dalam menentukan pilihannya.

Meskipun demikian, dia menyampaikan kampanye negatif tetap sesuatu yang halal dalam demokrasi. Catatannya, asal jangan sampai berisi fitnah, tidak berdasar data, atau hoax.

"Kampanye negatif maknanya diharapkan bisa membuat diskursus politik. Di-counter saja dengan hal-hal yang positif," demikian Sunanto.

Sedangkan, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengakui kampanye negatif bisa saja tidak terhindarkan. Namun, jangan sampai kampanye negatif dilakukan dan dikembangkan. Walaupun PKS menyebut 20 persen bisa digunakan untuk porsi kampanye negatif, namun dia berpendapat strategi itu tidak baik untuk digunakan.

"Strategi kampanye negatif bisa saja melekat pada partai atau caleg dalam berkampanye," kata dia saat dihubungi VIVA.

Ujang mengatakan partai dan caleg memang dituntut untuk membangun pencitraan. Namun, di saat yang lain juga dituntut untuk “membusuki” lawan.

"Pola membusuki lawan inilah bisa dilakukan dengan kampanye negatif," kata dia.

Dia menegaskan kampanye negatif tidak baik untuk dilakukan. Strategi kampanye negatif hanya akan merusak pemilu dan juga dapat membahayakan demokrasi.

"Karena jika kampanye negatif dikembangkan dan diproduksi, bukan sesuatu yang positif yang bisa ditawarkan ke masyarakat. Namun sesuatu yang negatif yang dikedepankan. Bahaya dan merusak.
Kampanye negatif bisa memunculkan hoaks, dan lain-lain." (ren)