Kala Tanah Bergerak di Bumi Tadulako
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Gempa bumi dan tsunami yang menghantam Palu serta Donggala, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu, menjadi catatan kelam jelang penutup 2018. Lebih dari 1.700 orang menjadi korban jiwa, sedangkan korban luka berat mencapai sekitar 2.600 orang.
Ada dampak lain yang muncul akibat fenomena alam pascagempa. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, mengungkapkan citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, yang menunjukkan impak gempa 7,4 magnitudo tersebut.
Salah satu wilayah terparah akibat dampak gempa itu adalah Petobo, Palu, yang mengalami tanah bergerak atau likuifaksi pascagempa. Dari area seluas 180 hektare di kawasan tersebut, ada 2.050 bangunan rusak.
"Rumah dan bangunan terseret oleh lumpur yang muncul akibat gempa dan menenggelamkannya. Tim SAR terus bekerja melakukan evakuasi di daerah ini. Korban terus ditemukan," tulis Sutopo di akun Twitter @Sutopo_P.
Tak hanya Petobo, wilayah Jono Oge Kabupaten Sigi, daerah yang terdampak 202 hektare. Diperkirakan, 366 unit rumah rusak karenanya.
BNPB juga merilis hasil pendataan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang mencatat sebanyak 2.736 unit sekolah rusak akibat dampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Tingkat kerusakan sekolah di wilayah terdampak bervariasi. Tidak semua hancur total, namun ada juga yang mengalami rusak ringan.
"Yang rusak ringan dan hancur total itu tersebar di Kota Palu, Donggala dan yang lebih banyak justru di Kabupaten Sigi," ungkapnya.
Secara total, ada sekitar 66 ribuan unit rumah warga rusak, baik akibat gempa maupun likuifaksi. Sebanyak 66.238 di Sulawesi Tengah, kemudian sisanya 688 di Sulawesi Barat.
Dikutip dari Space, perusahaan citra satelit DigitalGlobe merilis citra detail wilayah terdampak sebelum dan setelah terjadinya gempa dan tsunami.
Beberapa citra satelit dengan gambar detail yang dirilis DigitalGlobe yakni area dekat Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie, yang terkena likuifaksi hingga Jembatan Teluk Palu. Ada juga citra satelit dari antrean mengular dan menyemut kendaraan bermotor untuk mendapatkan BBM.
DigitalGlobe juga mengaktifkan Open Data Program untuk bencana gempa bumi dan tsunami Indonesia. Data ini dapat dipakai untuk menganalisis area terdampak.
Bukan yang Pertama
Likuifaksi adalah munculnya getaran dahsyat gempa bumi di bawah permukaan tanah. Anggota Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia Rovicky Dwi Putrohari menjelaskan, likuifaksi terjadi pada lapisan di bawah tanah yang strukturnya batu pasir, sehingga daya dukung tanah menjadi berkurang.
"Likuifaksi ini seperti karena seolah digetar-getarkan, persis saat kita memasukkan emping di dalam toples. Itu kan gerak-gerakkan supaya turun, nah itu daya dukungnya berkurang dan akhirnya kolaps," ungkapnya kepada VIVA.
Biasanya, lapisan bawah tanah batu pasir di dalamnya sedimennya masih muda dan terdapat pori yang terisi air. Kemudian, air yang tersimpan di dalamnya akan ikut terbawa keluar saat munculnya likuifaksi.
Selanjutnya, air akan bercampur dengan material lain. Apa yang terjadi di permukaan kemudian, tergantung dengan bidang yang ada di atasnya, apakah bidang miring atau tidak.
Jika di atas likuifaksi berupa bidang miring, bidang ini akan berperan menjadi bidang luncur yang menyebabkan longsor atau landslide.
"Bila lapisannya tak begitu miring, maka di atasnya amblas seolah tertelan oleh tanah yang sudah bercampur lumpur," tuturnya.
Di Sigi dan Palu, terjadi likuifaksi yang menyebabkan bangunan di atas permukaan berjalan dan tertelan lumpur. Sementara itu, di Balaroa, tampak rumah dan bangunan ambles ke dalam tanah.
Karena bercampur dengan air, maka tanah berubah menjadi lumpur. Inilah yang menyebabkan proses evakuasi korban memakan waktu lama. Rumah maupun bangunan bisa tertimbun lumpur dengan kedalaman lebih dari tiga meter.
"Dalam proses evakuasi, kami mengerahkan juga alat berat untuk membantu. Dan medan memang cukup sulit ini, karena bangunannya terseret oleh lumpur," kata Sutopo.
Untuk tanah dengan profil yang berpotensi terjadinya likuifaksi ini, jelas Rovicky, bisa terjadi di dekat pantai maupun tengah atau pegunungan. Namun, potensinya lebih besar di dekat pantai, karena banyak sedimen belum terbatukan.
Dia mengatakan, tanah bergerak akibat gempa hanyalah fenomena yang biasa dalam geologi. Sebelum heboh tanah bergerak akibat gempa Palu dan Donggala, fenomena serupa pernah terjadi usai gempa Yogyakarta beberapa tahun lalu.
"Kalau Anda ingat, di Yogyakarta itu tanah runtuh pada gempa 2006, itu juga likuifaksi. Yogyakarta itu kan tanahnya termasuk endapan muda karena hasil dari gunung api. Ini gejala yang biasa, dulu pernah terjadi,” tuturnya.
Dilansir dari laman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Minggu 7 Oktober 2018, hasil penelitian tim Geologi LIPI pada 2007 memperlihatkan, kondisi bawah tanah Kota Padang tersusun atas lapisan pasir gembur hingga pasir padat yang berpotensi likuifaksi.
Penelitian dengan hasil yang sama juga dilakukan di Bengkulu, Cilacap, dan Bantul. Bahkan, DKI Jakarta bagian utara juga berpotensi mengalami likuifaksi, jika terkenda gempa dengan magnitudo di atas 5.