Menagih Indonesia Bebas Pasung

ODGJ yang dipasung.
Sumber :
  • VIVA/ Bimo Aria

VIVA – Empat puluh satu tahun sudah Pemerintah Indonesia menetapkan pelarangan praktik pemasungan. Lewat Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 November 1977, pemerintah meminta masyarakat menghentikan praktik tidak manusiawi itu.

Berkali-kali pemerintah menetapkan target Indonesia bebas pasung, namun berkali-kali pula upaya itu terus gagal. Sebab, praktik pasung masih terjadi di Indonesia hingga hari ini.

Dua ratus kilometer dari Jakarta, Rasyid (bukan nama sebenarnya) masih mengalami pemasungan oleh keluarganya. Pemuda asal Cianjur, Jawa Barat itu hanya meringkuk di sudut ruang gelap berukuran 2,5 meter x 3 meter.

Di balik pintu berteralis besi setinggi dua meter, hanya ada bayangan gelap, saat VIVA tiba di lokasi. Tidak ada pencahayaan, dan tak ada ventilasi udara. Satu-satunya cara agar udara dan cahaya bisa masuk, hanya dari sela-sela teralis besi tadi.

Selama lebih dari lima tahun Rasyid hidup di ruangan yang lebih mirip gudang itu. Semenjak itu pula, pemuda berusia 28 tahun ini menghabiskan hari-harinya di tempat yang berada di bagian belakang rumahnya.

Setiap harinya, Rasyid makan, tidur, dan buang air di tempat yang sama. Setelah beberapa kali dipanggil, dia akhirnya muncul dengan tubuhnya yang kurus, dan bertelanjang dada.

Sekilas tidak ada yang berbeda dari raut wajah pemuda pemuda dengan tinggi sekitar 170 sentimeter ini. Wajahnya bersih, kulitnya kecokelatan, dan tangannya terasa dingin saat bersalaman.

Sebuah cincin perak juga melingkar di kelingking tangan kirinya. Rasyid juga masih bisa mengenali Nurhamid, pendiri Istana KSJ, sebuah komunitas yang menaungi orang dengan gangguan jiwa di Cianjur Jawa Barat. Pada Nurhamid, Rasyid meracau menceritakan halusinasi yang dialaminya.

Sebelumnya, selama beberapa bulan Rasyid sempat tinggal bersama dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) lainnya, di Istana KSJ yang berada di Desa Nagrak, Cianjur, Jawa Barat. Kala itu, kondisi mentalnya sudah sedikit membaik. Namun, penyakit penyerta, seperti wasir yang membuat duburnya mengeluarkan darah membuat Nurhamid memutuskan untuk mengembalikannya ke keluarga. Keputusan itu diambil, agar penyakit wasir yang diderita Rasyid diobati terlebih dahulu. Namun, saat kembali ke rumah, Rasyid kembali mengalami pemasungan.

Sudah lebih dari 10 tahun, Emi (bukan nama sebenarnya) ibunya, merawat Rasyid dengan kondisi tersebut. Masih kuatnya anggapan bahwa hal yang diderita Rasyid, disebabkan gangguan mahkluk halus, membuat Emi sempat membawa Rasyid ke ‘orang pintar’ di Gunung Hejo, Purwakarta, Jawa Barat. Selama dua bulan Rasyid ‘berobat’ di sana. Setiap harinya, Emi harus membayar Rp40 ribu untuk ‘perawatan’ itu. Namun, kondisi Rasyid justru semakin memburuk.

“Saya sudah capek. Sudah 10 tahun ngobatin dia, tidak ada perubahan,” ungkap Emi dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca.

Sambil menyeka air mata di bawah mata kirinya, dengan kerudung kuning yang dikenakannya, Emi juga bercerita bahwa tubuhnya kini tidak seprima dahulu untuk terus merawat dan mengawasi Rasyid. Bahkan, belakangan ia menyebut dirinya terkena penyakit ginjal.

Sambil terus melakukan pengobatan, Emi sempat mengeluarkan Rasyid dari pasung. Namun, saat kondisinya memburuk, Rasyid kerap di luar kendali dan menjual segala perabotan di rumah untuk membeli rokok. Tidak jarang pula, Rasyid menyakiti orang-orang di sekitarnya.

Dengan memegang tiga plastik bungkus obat berwarna biru bertuliskan ‘Haloperidol’, Emi juga menyebut bahwa obat untuk Rasyid sendiri juga kadang terbatas dan sulit didapat. Ini membuatnya tidak punya banyak pilihan, selain mengurung anaknya sendiri di tempat pemasungan. Hal yang sebetulnya juga tidak ia inginkan.

Selanjutnya, 12 ribuan orang masih dipasung>>>

12.832 orang masih dipasung

Kisah yang dialami Rasyid, sesungguhnya hanya satu dari belasan ribu kasus pemasungan yang terjadi di Indonesia. Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan, dari 14 juta orang dengan disabilitas psikososial di Indonesia, 12.832, di antaranya masih mengalami pemasungan.

Seperti disebutkan sebelumnya, Pemerintah Indonesia berkali-kali menetapkan target Indonesia bebas pasung. Sejauh ini, target itu selalu gagal terealisasi. Selain itu, antarlembaga di pemerintahan juga memiliki target dan versi tersendiri untuk menerjemahkan Indonesia bebas pasung.

Dalam catatan VIVA, setidaknya dua kali sudah target Indonesia bebas pasung itu gagal terealisasi,  yakni pada tahun 2014 dan 2017. Yang terakhir, pemerintah dengan sinergi empat kementerian terkait, yakni Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM, kembali menargetkan Indonesia Bebas Pasung 2019.

Namun, saat ditanya terkait sejauh mana upaya menuju target Indonesia Bebas Pasung 2019, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI, Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ, menyebutkan bahwa target Indonesia Bebas Pasung 2019, adalah program dari Kementerian Sosial. Sementara itu, Kemenkes, cukup berhati-hati dalam membuat target.

“Karena, banyak faktor yang menyebabkan penderita ODGJ (yang dipasung) tidak bisa langsung dapat dilepaskan, serta beberapa faktor lainnya. Kemenkes menargetkan, Indonesia bebas pasung tahun 2023,” ucap Fidiansyah menegaskan.

Menariknya, saat dikonfirmasi hal serupa, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, Rachmat Koesnaedi, justru menyebut bahwa berdasarkan Nota Kesepahaman antar kementerian tersebut, Kementerian Kesehatan lah yang memiliki tugas utama dalam hal Indonesia bebas pasung.

“Kita mendukung setelah dia (ODGJ) mendapatkan layanan kesehatan dan sudah bisa diobati (oleh Kemenkes). Hanya (setelah itu) mereka kan harus bisa berfungsi secara sosialnya, nah Kemensos di berfungsi sosialnya. Memang dicanangkannya tahun 2019 ya, itu pun dicanangkannya bersama dengan empat kementerian,” kata Rachmat kepada VIVA.

Lebih lanjut, Fidiansyah juga menjelaskan, sampai dengan Desember 2017, jumlah kasus pasung yang datanya berasal dari laporan dinas kesehatan provinsi sebanyak 13.528 kasus. Kasus tersebut, menurun pada triwulan kedua atau s/d Juni 2018 menjadi 12.832 kasus.

Ia sendiri menyadari, bahwa masih terdapat sejumlah permasalahan, sehingga Negara belum bisa menangani ODGJ dengan optimal. Beberapa di antaranya ialah, minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan, kurangnya koordinasi lintas kementerian, belum meratanya jaminan kesehatan nasional untuk penderita gangguan jiwa, masih kurangnya regulasi turunan untuk tata laksana ODGJ di daerah, hingga masih besarnya stigma terhadap ODGJ di masyarakat.

Berikutnya, masih minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan>>>

Masih minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan

Hingga kini, akses dan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sendiri masih kurang dan sulit dijangkau, baik dari jumlah dan jaraknya. Indonesia saat ini memang telah memiliki 45 Rumah Sakit Jiwa, yang 34 miliki pemerintah sementara 11 sisanya milik swasta.

Namun, menurut Laporan Human Right Watch: Hidup di Neraka Kekerasan Terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial, dari 45 rumah sakit jiwa tersebut, lebih dari separuhnya berada di empat provinsi.

Bahkan, dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, delapan provinsi sama sekali tidak memiliki rumah sakit jiwa. Sementara itu, dari 445 Rumah Sakit Umum, hanya 269 yang memiliki layanan jiwa. Untuk 9.005 Pusat Kesehatan Masyarakat, bahkan tidak separuhnya memiliki layanan kesehatan jiwa.

Dari segi tenaga kesehatan sendiri, Sumber Daya Manusia terlatih untuk kesehatan jiwa sendiri masih terbilang minim. Bahkan, distribusinya pun tidak merata. Dari total penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa hanya ada 1.200 tenaga psikiater, itu pun hanya terpusat di kota-kota besar. Artinya, satu orang psikiater harus mampu menangani sekitar 220 ribu jiwa.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI, Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ juga menjelaskan, berdasarkan data dari Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, dari 1.200 psikiater, sekitar 64 persen berada di Jawa, dengan 25 persennya berada di Jakarta. Sementara itu, 36 persen sisanya bertugas di luar Jawa.

“Mengapa demikian? DKI dan Jawa, lebih menjanjikan dari segi finansial, Kemudian, belum semua daerah merasakan ada kebutuhan atau memprioritas kesehatan jiwa,” ungkap Fidiansyah.

Selanjutnya, Fidiansyah juga mengatakan, psikiater di DKI dan Jawa sebagian menggunakan biaya sendiri, sehingga yang bersangkutan tidak ada dorongan untuk mengabdi di daerah.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Jakarta, Nova Riyanti Yusuf atau akrab disapa Noriyu, juga menyebut bahwa ada masalah dalam sistem rekrutmen dokter spesialis kejiwaan.

Menurutnya, tidak ada komitmen yang jelas dari Pemerintah Provinsi untuk membiayai ahli jiwa. Padahal, lanjut Noriyu, cukup banyak dokter yang berminat untuk menjadi spesialis jiwa.

“Jadi, direkrut disekolahkan oleh Pemprov, dia otomatis akan kembali ke daerah situ karena sudah komitmen. Sistem rekrutmennya tidak jelas, masih banyak yang bayar sendiri jadi artinya mereka tidak merasa berkomitmen akan daerah itu. Siapa sih yang mau, bukan hanya psikiater, semua maunya juga di Jakarta, dari mulai PRT (Pekerja Rumah Tangga) semua maunya di Jakarta, artinya kalau mau diubah sistem rekrutmennya,” kata Noriyu.

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Indonesia, Eka Viora, juga menilai bahwa sulit jika hanya mengandalkan psikiater untuk menangani orang dengan gangguan jiwa.

Dengan demografi yang berpusat di Jawa, tentunya sulit untuk mendistribusikan psikiater yang kini ada ke pelosok-pelosok Indonesia. Menurutnya, tidak akan terkejar jika hanya bertumpu pada psikiater. Karenanya, ia mendorong dokter umum dan tenaga kesehatan di Puskesmas untuk meningkatkan kompetensinya guna melayani ODGJ.

Upaya tersebut sebetulnya juga telah dilakukan oleh Kemenkes, yakni dengan melatih dokter umum untuk melaksanakan deteksi dini terhadap gejala awal gangguan jiwa. Dengan demikian, penganan ODGJ bisa dilakukan lebih awal. Hingga kini, tercatat ada sekira 6000 profesional kesehatan jiwa, 451 psikolog klinis: 451 dan 6.500 perawat jiwa.

Namun, jumlah ini juga dinilai Fidiansyah masih minim. Dalam Undang-undang Kesehatan Jiwa no.18 Tahun 2014 juga telah disebutkan bahwa dalam upaya kuratif, penegakan diagnosis juga dapat dilakukan oleh dokter umum. Tetapi, faktanya, masih banyak dokter umum yang enggan menangani ODGJ dan langsung merujuknya ke RSJ.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Pastor Avent Saur, Penggagas Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Orang dengan Gangguan Jiwa, di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ia menceritakan, di NTT ada beberapa puskesmas yang tidak memiliki dokter yang mampu mendiagnosa gangguan jiwa sekalipun di puskesmas tersebut ada obatnya. Bahkan, yang lebih parah, kata dia, banyak puskesmas yang tidak memiliki dokter sama sekali.

“Ini parah sekali. Jadi, hanya ada perawat, Paling yang di puskesmas yang pasti ada bidan, karena puskesmas itu 99 persen untuk anak dan ibu, sedangkan 99 persen penyakit lainnya langsung di rujuk ke rumah sakit,” kata dia.  

Untuk mengatasi minimnya SDM, Noriyu sendiri juga memberikan satu contoh solusi di Singapura yang menurutnya bisa diterapkan di Indonesia. Ia menjelaskan, saat ini, Singapura memiliki program Graduate Diploma in Mental Health. Dengan program tersebut, para dokter tidak perlu sampai empat tahun untuk mendapatkan spesialis, melainkan hanya dua tahun.

“Itu salah satu cara potong kompas untuk mengurangi masalah SDM. Terus kita mau apa, kalau mau seperti itu harus kreatif, mau kaya Singapura? Mau apa? Maunya saja tidak jelas. Semua sudah diatur kok, tinggal political will-nya saja” kata dia.

Selanjutnya, lambatnya pembuatan regulasi>>>

Lambatnya pembuatan regulasi

Tantangan lainnya yang membuat target Indonesia Bebas Pasung terus mundur ialah kekosongan regulasi turunan seperti, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah untuk menjamin pelaksanaannya di tingkat daerah.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI, Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ menyebut bahwa hingga kini regulasi turunan itu sedang berproses, di mana naskah akademik telah disiapkan. Hal ini dinilai banyak pihak sangat lamban.

Dalam Pasal 90 UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa disebutkan, peraturan pelaksanaan dari UU ini harus ditetapkan paling lama satu tahun setelah diundangkan.

Salah satu yang menyesalkan lambannnya langkah ini ialah Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Jakarta, Nova Riyanti Yusuf atau akrab disapa Noriyu, yang juga menjadi tim penyusun undang-undang tersebut.

“Sebetulnya kan, leading sector-nya di Kemenkes atau mungkin Menkes kurang aware. Karena, pada saat membahas itu kan kita bermitra, Kemenkes, Kemensos, Kemendagri, Kemenkumham. Itu punya PR, Permenkes belum, Permensos belum. Bagaimana mau bebas pasung sih. Sistemnya saja tidak dibangun sesuai amanat undang-undang, PR-nya tidak diselesaikan,” kata Noriyu.

“Kementerian Kesehatan, kalau tidak membuat peraturan turunan, dia artinya mengecilkan kerjanya juga. Kan, dia ikut membahas. Dia ikut menyetujui, terus dia tidak menindaklanjuti pekerjaan dia, ya bodoh banget. Itu kan, dia yang buat hanya kebetulan inisiatif DPR. Tapi kan, nyusunnya bareng bareng.”

Sayangnya, saat ditanya lebih jauh terkait hal tersebut, pihak Kemenkes masih belum memberikan jawaban hingga laporan ini diturunkan. Di sisi lain, anggaran untuk kesehatan jiwa sendiri terbilang masih sangat kecil.

Dari alokasi total anggaran kesehatan pada tahun 2018 yang sebesar Rp111,0 triliun, anggaran kesehatan jiwa hanya mendapat porsi Rp40 miliar, atau hanya 0,04 persen dari total APBN. Jumlah ini juga hanya mengalami kenaikan lima persen dari sebelumnya.

Padahal, kenaikan anggaran kesehatan jiwa dari tahun 2016 ke 2017, cukup signifikan, yakni sebesar 41 persen. Ke depan, Kemenkes juga menganggarkan Rp49 miliar untuk kesehatan jiwa, atau naik sebesar 17 persen.

Melihat hal tersebut, Noriyu tidak terlalu menyalahkan anggaran yang tidak mendapatkan porsi yang besar. Ia paham, kementerian hanya memberikan anggaran berdasarkan bukti ilmiah. Permasalahannya, saat ini penelitian tentang gangguan jiwa masih sangat minim. Sehingga, kasus gangguan jiwa masih sulit dipetakan.

“Makanya mana penelitiannya, itu yang harus digalakkan, makanya saya di antaranya dengan pak Sandiaga Uno membuat Jakarta institute of mental health. Saya merekrut orang dari Harvard, supaya kita buat mau seperti apa nih. Jadi, semacam action research sambil tindak lanjutnya apa, jadi kita meneliti sambil tindak lanjutnya apa.”

Lagi-lagi, hingga laporan ini diturunkan, Kemenkes juga masih belum merespons pertanyaan, mengapa anggaran untuk kesehatan jiwa cenderung kecil. Lantas, mungkinkah target Indonesia Bebas Pasung 2019 bisa tercapai? (asp)