Malang Darurat Ulah Korupsi Massal Wakil Rakyat

Penyidik Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di ruang kerja Wali Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (9/8/2017).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/H.Prabowo

VIVA – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akhirnya memutuskan sebuah kebijakan diskresi untuk mengatasi sengkarut pemerintahan Kota Malang, dampak kasus korupsi massal yang melibatkan sang wali kota dan hampir semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat.

Kebijakan darurat dan hanya wewenang Menteri Dalam Negeri itu diputuskan demi menjamin keberlangsungan pemerintahan di Kota Malang. Sebab gara-gara kasus suap itu, bukan hanya sang wali kota yang sudah dibui, tetapi juga 41 dari total 46 anggota DPRD disangka terlibat dan ditahan oleh KPK—sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana.

Praktis saja DPRD tak dapat bersidang karena hanya ada lima (tiga anggota tersisa dan dua orang hasil pergantian antarwaktu menggantikan satu tersangka) anggota Dewan yang tak ditahan oleh KPK. Semua agenda penting DPRD, terutama pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2019, tak dapat dibahas alias terbengkalai atau mangkrak.

APBD itu, termasuk APBD Perubahan Tahun 2018, bersifat amat vital karena atas landasan itulah segala aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik berjalan. Jika APBD terhambat—tak dapat disahkan atau sekurangnya lambat diputuskan—tentu saja mengganggu sistem pelayanan publik dan layanan administrasi. Juga pelayanan pendidikan dan kesehatan yang penting bagi rakyat.

Tiga Kebijakan

Kebijakan diskresi yang diputuskan Menteri itu menjadi solusi atas kekosongan DPRD Kota Malang. Pemerintah Kota, dengan kebijakan diskresi itu, tetap dapat menyusun anggaran, aturan, dan berbagai kebijakan tanpa harus membahasnya dengan DPRD.

"Kalau DPRD-nya tidak memenuhi kuorum sebagaimana tata tertib, kan, tidak sah. Makanya merujuk undang-undang yang ada," kata Tjahjo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu, 5 September 2018.

Ada tiga kebijakan diskresi yang diputuskan: pelibatan gubernur, perubahan bentuk peraturan, dan imbauan pergantian antarwaktu atau PAW.

Kebijakan pertama, pelibatan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk memfasilitasi pembahasan permasalahan kebijakan daerah yang harusnya dibahas bersama DPRD. Kebijakan ini meliputi pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD.

Kedua, kebijakan yang semula berbentuk Peraturan Daerah dengan DPRD, diubah dalam bentuk peraturan lain, misal, melalui peraturan bupati/wali kota atau peraturan gubernur. Maka, dengan kebijakan ini, Pemerintah Kota dapat membuat peraturan daerah tanpa harus melibatkan DPRD, tetapi tetap harus difasilitasi oleh gubernur.

Ketiga, meminta partai politik untuk melakukan PAW terhadap para anggota Dewan yang menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana. Meski bukan kewenangan pemerintah, Menteri tetap memberikan imbauan. Kebijakan ini tetap penting karena mau tak mau kekosongan sebagian besar DPRD harus diisi agar lembaga wakil rakyat itu dapat bekerja lagi.

Dewan Lumpuh

***

Roda pemerintahan Kota Malang, meski sang wali kota Mochammad Anton dipenjara setelah divonis hukuman bui dua tahun, masih dapat berjalan karena wakilnya Sutiaji menggantikannya sebagai Pelaksana Tugas Wali Kota.

Namun DPRD bernasib buruk: 41 anggota, termasuk satu ketua dan tiga wakil ketua, diangkut ke tahanan oleh KPK. Pertama, secara bertahap, sebanyak 19 anggota ditetapkan tersangka pada Maret 2018. Kedua, secara bersamaan, sebanyak 22 anggota ditetapkan tersangka pada 3 September 2018.

Kalau hanya untuk menerima aspirasi masyarakat, DPRD sebenarnya masih berfungsi. Sebab lima anggota Dewan yang tersisa itu masih resmi bekerja, bahkan sudah ditetapkan wakil ketua baru, yakni Abdurrochman. Namun tugas dan fungsi Dewan bukan itu saja melainkan banyak yang lebih penting dan strategis serta vital.

Setelah sembilan belas orang pertama yang ditahan, pemerintah pusat berusaha mengakali dengan kebijakan diskresi agar DPRD dapat menggelar rapat karena jumlah anggota masih memenuhi kuorum. Tetapi setelah ditambah dua puluh dua orang lagi dan tersisa lima orang saja, praktis mereka tak dapat bersidang apa pun. Dampak yang paling nyata ialah agenda penyampaian Laporan Keuangan dan Pertanggungjawaban (LKPJ) akhir Wali Kota Malang yang dijadwalkan pada 3 September batal digelar.

Agenda lain yang jauh lebih penting, yaitu pembahasan APBD Perubahan 2018 dan APBD induk 2019. Keduanya mesti dibahas dan rampung pada September 2018—sesuai aturan, APBD harus disahkan paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran (2018) berakhir.

Begitu juga agenda pengesahan dua panitia khusus atau pansus, yakni Pansus Pajak Daerah dan Pansus Tata Tertib Dewan. Satu lagi agenda yang tak kalah penting ialah pelantikan wali kota dan wakil wali kota terpilih hasil pilkada 27 Juni yang dijadwalkan pada 20 September 2018.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo ikut turun tangan mengatasi keruwetan di Kota Malang. Dia mengaku telah mengumpulkan para pemimpin partai politik tingkat Kota Malang untuk membahas proses kilat PAW legislator yang kini menjadi tersangka dan terdakwa.

Soekarwo mengklaim semua sudah beres bahwa masing-masing partai bersepakat untuk secepatnya mengganti legislator mereka yang berstatus tersangka dan terdakwa. Bahkan, katanya, empat puluh satu orang penggantinya sudah disiapkan dan siap dilantik Senin pekan mendatang. "Hari ini kerja, Sabtu seluruh PAW saya tandatangani, Senin pelantikan—kilat," katanya kepada wartawan di Surabaya pada Rabu, 5 September.

Gara-gara Sogokan

***

Efek berantai kasus suap itu semua bermula ketika KPK menggeledah kantor DPRD Kota Malang pada Agustus 2017. Waktu itu duduk perkaranya masih samar-samar hingga menjadi cukup jelas kala KPK menetapkan status tersangka kepada Arief Wicaksono dan Jarot Edy Sulistiyono, masing-masing ialah Ketua DPRD Kota Malang dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan (PUPPB).

Arief disangka menerima uang suap sebesar Rp700 juta dari Jarot. Pemberian uang itu untuk memuluskan pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015, peristiwa yang baru diketahui oleh KPK dua tahun kemudian.

Kehebohan seputar peristiwa penggeledahan dan penetapan tersangka ketua DPRD Kota Malang itu sudah lama mereda. Namun delapan bulan berikutnya, 21 Maret 2018, KPK mengejutkan publik lagi setelah mengumumkan tersangka baru dalam kasus yang sama. Jumlahnya yang paling membuat masyarakat terperanjat: 19 orang, dan satu di antaranya ialah sang wali kota Mochammad Anton.

Berkembang desas-desus kala itu bahwa sesungguhnya KPK masih membidik sejumlah anggota Dewan sebagai tersangka. Tetapi tak ada yang mengonfirmasinya hingga terbuktilah rumor itu pada 3 September 2018. KPK memaklumatkan tersangka baru, jumlahnya lebih banyak dari yang tahap pertama: 22 orang anggota Dewan.

KPK menyebut para anggota Dewan itu disangka menerima uang sogokan dengan nilai bervariasi antara Rp12,5 juta sampai Rp50 juta per orang. Tetapi belakangan KPK menambahkan sangkaan tindak pidana baru, selain suap yang senilai total Rp700 juta, yakni gratifikasi sebesar Rp5,8 miliar.

Suap Rp700 juta yang diberikan Anton, menurut KPK, untuk memuluskan pembahasan Rancangan APBD Perubahan Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Sedangkan penerimaan gratifikasi sebesar Rp5,8 miliar berkaitan dengan dana pengelolaan sampah di Kota Malang.

Belum diketahui pasti nasib lima legislator yang tersisa sekarang: Abdurrochman, Fraksi PKB yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD; Subur Triono, Fraksi PAN, Tutuk Hariyanu dan Priyatmoko Oetomo, Fraksi PDIP; dan Nirma Cris Desinidya, Fraksi Partai Hanura.

Namun dua nama pertama dan terakhir, Abdurrochman dan Nirma, disebut-sebut bersih atau tak menerima suap. Sebab mereka menjadi anggota Dewan hasil PAW. Abdurrochman dilantik sebagai anggota Dewan pada Juli 2017, sementara Nirma dikukuhkan pada Maret 2018. Artinya, mereka menjadi wakil rakyat jauh setelah perkara sogokan itu terjadi.

Tutuk dan Priyatmoko, dua anggota Fraksi PDIP yang tersisa, diduga sakit saat kasus suap itu terjadi. Sedangkan diperiksa KPK pada 4 September namun statusnya sebagai saksi. Subur adalah anggota DPRD yang bertugas di Komisi B. Ia bukan berstatus PAW dan masih menjabat ketika kasus suap APBD tahun 2015.