Jalan Baru Manusia ke Bulan

Ilustrasi permukaan Bulan, hasil rekaan tim Badan Antariksa Eropa (ESA).
Sumber :
  • www.esa.int

VIVA – Sebagian besar ilmuwan Badan Antariksa Amerika Serikat pekan lalu lega dan semringah. Tim ilmuwan Amerika Serikat dan NASA mengonfirmasi adanya es di permukaan Bulan.

Endapan es itu ditemukan di kutub utara dan selatan Bulan, serta kemungkinan berasal dari masa purba.

Hasil pengamatan dan studi menunjukkan, penyebaran endapan es itu tidak merata. Di kutub selatan Bulan, sebagian besar es terkonsentrasi di kawah-kawahnya. Di kutub utara, es-air lebih longgar dan lebih tersebar luas.

Temuan tim ilmuwan yang dipimpin oleh Shuai Li dari Universitas Hawaii dan Universitas Brown, termasuk Richard Elphic dari NASA Ames Research Center di Silicon Valley di California itu, mendapat pengakuan penting dari ilmuwan lain. 

Pakar fisika planet, Philip Metzger, tak ragu melabeli temuan ini hal yang benar-benar luar biasa. Dia juga mengatakan, temuan es itu punya konsekuensi penting dan ganda bagi masa depan misi dan eksplorasi antariksa dan satelit alami Bumi tersebut.

Es di Bulan bakal membuat misi ke Planet Mars menjadi lebih hemat bagi NASA dan perusahaan antariksa swasta SpaceX. 

Intinya, kata dia, temuan itu bisa menghemat dan meningkatkan bisnis penambangan air di Bulan.

Kebahagiaan tak hanya menyelimuti tim ilmuwan NASA yang menemukan es tersebut. Profesor ilmu planet dan astrobiologi Universitas London Inggris, Ian Crawford mengakui temuan itu mengejutkannya. 

"Hasilnya tampak sangat meyakinkan bagi saya," kata Crawford, yang tak terlibat dalam riset itu kepada Scientific American. 

Dalam keterangan di website-nya, NASA menuliskan Shuai Li dan timnya menggunakan data dari instrumen Moon Mineralogy Mapper (M3) yang ada di wahana antariksa India Chandrayaan-1, untuk mengidentifikasi tiga tanda khusus yang secara definitif membuktikan bahwa ada es di permukaan Bulan.  

Instrumen M3 mengumpulkan data yang tidak hanya mengambil sifat reflektif yang kemungkinan merupakan es. Tetapi, mampu secara langsung mengukur cara khas molekulnya menyerap cahaya inframerah, sehingga dapat membedakan antara zat cair atau uap dan es padat.

Suhu di Bulan pada siang hari dapat mencapai 100 derajat Celsius yang sangat panas dan tidak bagus untuk permukaan es Bulan untuk bertahan. Tapi untungnya, karena Bulan miring pada porosnya sekitar 1,54 derajat, ada tempat di kutub lunar yang tidak pernah mengalami siang hari. 

Sebagian besar es yang baru ditemukan pun terletak di bayang-bayang kawah di dekat kutub, di mana suhu terpanas tidak pernah mencapai di atas minus 250 derajat Fahrenheit, setara dengan minus 156 derajat Celsius.

Makanya kondisi ini akan menciptakan lingkungan yang membuat endapan es-air bisa tetap stabil untuk waktu yang lama.

Pengamatan sebelumnya secara tidak langsung menemukan kemungkinan tanda-tanda permukaan es di kutub selatan bulan. Tetapi ini bisa dijelaskan oleh fenomena lain, seperti tanah Bulan yang luar biasa reflektif.

***

Dari mana asalnya air?

Temuan ilmuwan NASA tentang es di kutub Bulan mengonfirmasi studi tahun lalu tentang air di satelit alami Bumi tersebut. 

Studi yang dipublikasikan oleh Shuai Li an Ralph Milliken dalam jurnal Nature Geosicence pada 24 Juli 2017 berkesimpulan, permukaan Bulan memiliki konsentrasi air yang sama dengan yang dimiliki permukaan Bumi. 

Dikutip dari laman DW, studi tahun lalu menunjukkan adanya deposit air di Bulan melalui analisis elaborasi sampel misi Apollo. Studi tim Li itu juga menguatkan penelitian pada 2008 yang membuktikan adanya air pada sampel batuan Bulan dari misi Apollo yang terakhir.

Namun, kesimpulan Li dalam studi tahun lalu belum bisa membongkar dari mana asal air di Bulan. 

Kala itu Li menuliskan, semakin banyak bukti air di Bulan belum mampu membongkar misteri air di Bulan. Apakah air di Bulan itu bertahan ataukah benda cair ini terbawa tak lama setelah tabrakan asteroid atau komet sebelum terbentuknya Bulan.   

Arti penting

Dengan cukup banyak es di permukaan Bulan, air mungkin dapat diakses sebagai sumber daya untuk ekspedisi masa depan, termasuk mengeksplorasi dan bahkan tinggal di Bulan. Es di permukaan Bulan juga berpotensi lebih mudah diakses daripada air yang terdeteksi di bawah permukaan Bulan.

Air dari es tersebut, berpotensi menjadi air minum bagi penghuni pangkalan di Bulan pada masa depan. Potensi lainnya, es bisa diurai menjadi hidrogen dan oksigen untuk bahan bakar roket. Oksigen bisa juga dimanfaatkan untuk astronaut bernapas. 

Betapa pun temuan es itu menjadi terobosan studi di Bulan, namun Metzger mengingatkan masih ada masalah yang paling penting, yaitu peneliti belum cukup mengetahui jenis es di permukaan Bulan saat ini. Apakah es di satelit Bumi itu adalah golongan es salju kerucut, blok padat, tanah kering yang tercampur es murni atau jenis yang lain. 

Makanya NASA kini harus fokus dengan misi utama untuk mempelajari dan meneliti lebih lanjut, bagaimana es itu tercipta. 

Soal untuk mengetahui jenis es di permukaan Bulan, Metzger menjelaskan, ilmuwan perlu menjalankan robot di permukaan Bulan dan mengukur es tersebut secara fisik. 

Masalah lainnya yakni pada kedalaman berapa deposit es di bawah permukaan Bulan. Jika terdapat es yang cukup di permukaan -ketebalan beberapa milimeter- air itu mungkin dapat diakses sebagai sumber daya untuk misi manusia ke Bulan di masa depan.

Metzger yang merupakan salah satu pendiri laboratorium pengembangan teknologi untuk studi permukaan Bulan dan objek antariksa lain itu menjelaskan, pengukuran baru terkait berapa banyak air dalam deposit es permukaan Bulan. Dia mengatakan, berbasis model fisika menunjukkan, konsentrasi deposit es bisa mencapai kedalaman beberapa meter. 

Setelah memastikan berapa kapasitas deposit es, tantangan ilmuwan yakni bagaimana cara mengeksplorasi es tersebut. 

Ada beberapa uji coba dan estimasi yang matang mengekstrak es Bulan yang dilakukan beberapa penelitian. 

Metzger menjelaskan, bersama timnya sudah mengembangkan konsep untuk mengekstrak es dan menganalisis ekonomi berdasarkan jenis perangkat keras yang akan dibutuhkan.        

Timnya juga sudah melakukan pemodelan komputer ekstraksi es Bulan dengan metode termal, yakni dengan merendam panas ke tanah Bulan, sehingga es berubah menjadi uap dan berdifusi keluar dari tanah, setelah itu dipanen.

Selain itu, Colorado School of Mine telah mengembangkan perangkat keras apa yang dibutuhkan serta biaya operasi ekstraksi es Bulan. Studi sekolah pertambangan itu menunjukkan, ekstraksi es Bulan bisa dilakukan dengan wajar secara bisnis. Tapi, lembaga itu menekankan agar lebih layak sebaiknya NASA harus dilibatkan menjadi mitra utama. 

"Sebab dengan demikian, itu akan benar-benar membuat operasi permukaan Bulan oleh NASA menjadi lebih terjangkau," jelas Metzger dikutip dari laman Newatlas

Masih ada metode lain untuk mengekstrak es Bulan yakni dengan melibatkan robot ekskavator sekelas RASSOR yang dibuat oleh laboratorium Swamp Works Kennedy Space Center NASA. Dia menjelaskan, robot RASSOR akan membuat tanah es ke dalam unit pemrosesan dan akan memanaskan tanah es tersebut.

Dari proses itu maka akan menguapkan es dan robot mengumpulkan uap es untuk dimanfaatkan.

Robot RASSOR

***

Air minum hingga oksigen

Es Bulan juga bisa diolah untuk menjadi air minum. Es satelit alami Bumi itu telah dideteksi mengandung beragam banyak zat yakni hidrogen sulfida, metana, karbon monoksida, dan zat lain yang mudah menguap. 

Metzger menjelaskan, salah satu cara untuk memurnikan es yakni menguapkannya dan menangkap zat yang hanya akan membeku di atas suhu tertentu. Cara ini memungkinkan zat-zat lainnya keluar ke luar angkasa. Tapi ada metode lain. 

"Metode lain melibatkan penggunaan membran yang memungkinkan hanya cairan tertentu yang bisa diambil. NASA telah sukses mengembangkan metode-metode ini," jelasnya. 

Bagaimana peluang es Bulan untuk mendukung cocok tanam. Metzger menuturkan, es bulan bisa dipakai untuk pertanian yang butuh banyak air.

Air dari es untuk cocok tanam juga tak perlu berulang lagi buang. Sebab, begitu sistem terbangun, cukup sekali saja air dipakai berulang-ulang. 

Problemnya, kata Metzger, adalah pertanian di Bulan kurang layak mengingat malam di Bulan berjalan panjang. Untuk itu, solusinya jika ingin penyesuaian yakni membuat pencahayaan buatan, sebagai pemendek malam di Bulan. Tapi pencahayaan buatan butuh sistem energi yang besar pula. 

Es di Bulan juga bisa dimanfaatkan untuk oksigen dan bernapas bagi manusia di sana. Caranya yakni memisahkan molekul es menjadi hidrogen dan oksigen. Selanjutnya hidrogen dan oksigen bisa dipakai sebagai bahan bakar roket. 

Untuk membakar hidrogen dalam roket, selain hidrogen, oksigen juga begitu diperlukan. Makanya, Metzger menilai oksigen dari es sebaiknya memang dipakai untuk bahan bakar roket saja. 

Sebagai ganti mendapatkan oksigen, peneliti bisa mendapatkannya melalui tanah dan bebatuan Bulan. Menurut bobotnya, 42 persen Bulan adalah oksigen dan tak mengandung hidrogen.

Makanya kapasitas ini bisa dipakai jika memang memerlukan oksigen. Selain itu, kata dia, produk sampingan dari pembuatan oksigen dari tanah Bulan yakni bisa menghasilkan logam, yang menjadi bahan penting dalam koloni di Bulan. 

"Jadi saya pikir es Bulan bagusnya dimaksimalkan untuk membuat bahan bakar roket, sedangkan tanah Bulan dimanfaatkan untuk membuat oksigen untuk pernapasan dan logam," tutur Metzger.