Membawa Tenun ke Ranah Terhormat

Founder dan CEO Toraja Melo
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

VIVA – Suasana ruang inti Museum Tekstil akhir pekan kedua Agustus 2018 sedikit berbeda. Deretan tenun Toraja dengan beragam motif berjajar rapi dan indah di dinding-dindingnya. 

Sementara itu, di sudut lain, beragam busana dari kain tenun mempercantik Museum Tekstil siang itu. Tak cuma busana siap pakai, aneka aksesori seperti dompet, bingkai foto, dan sepatu dari tenun juga menghiasi ruang museum yang berlokasi di Jalan K.S Tubun No. 2-4, Tanah Abang, Jakarta Barat itu. 

Tak lama, seorang perempuan ayu bernama Sofia Sari Dewi selaku Marketing and Communication Manager Toraja Melo menghampiri. VIVA kala itu memang berencana menemui Dinny Jusuf, pendiri dan CEO Toraja Melo yang tengah memamerkan produknya di Museum Tekstil.

Dan setelah diantar ke Ruang Betawi di bagian tengah museum, VIVA berjumpa dengannya. Ia menyambut dengan ramah dan memperkenalkan VIVA kepada penghuni ruangan. 

Selama berbincang, mantan bankir salah satu bank asing dengan aset terbesar di negeri ini tampak sangat bersemangat menceritakan Toraja Melo yang dirintisnya satu dekade silam. Dan meski usianya sudah jauh melewati setengah abad, tepatnya 62 tahun, namun tak terpancar sedikitpun kelelahan di raut wajahnya. Dia kuat dan segesit anak muda. 

Kepeduliannya dengan warisan budaya Indonesia, terutama tenun yang sempat terabaikan membuat wastra itu selamat dari kepunahan dan berhasil membawanya ke ranah yang lebih terhormat.

Tak cuma itu, wanita yang kerap mendapat penghargaan berkat jasa dan usahanya, salah satunya Honorable Mention oleh Arthur Guinness Project & Ashoka Changemakers di tingkat global ini, juga berhasil mengangkat derajat para penenun perempuan.  

Untuk mencapainya sudah pasti bukan pekerjaan mudah. Banyak upaya, kerja keras, biaya dan kesabaran luar biasa yang dipertaruhkan seorang Dinny. Namun, tekadnya untuk melestarikan tenun supaya dicintai masyarakat Indonesia dan dikenal dunia hingga memberdayakan penenun yang nyaris tak punya pewaris itu kini membuat dia, penenun dan masyarakat Indonesia bisa tersenyum manis. 

Karena dia juga, jumlah penenun sekarang tak cuma puluhan tapi sudah ribuan orang. Tak hanya perempuan tua, tapi bocah sekolah dasar (SD) kini sudah bisa menenun. Lalu, seperti apa perjuangan dan perjalanan Dinny hingga sampai ke tahap ini, berikut petikan wawancaranya bersama VIVA, beberapa waktu lalu. 

Bisa ceritakan awal mula Anda membentuk Toraja Melo?

Latar belakang saya bankir, lalu berhenti untuk mengurus anak. Saya juga banyak membuat organisasi sosial tentang lingkungan hidup, lalu pemberdayaan perempuan, yang pada tahun 2004 sampai akhir 2007 menjadi Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Perempuan.

Lalu tahun 2007, saya bilang ke suami yang asli Toraja mau bikin rumah di kampung sambil menulis pengalaman bekerja dengan perempuan. Di kampung papa mertua di atas gunung itu ternyata pusat tenun. Waktu itu penenunnya tua-tua, dan tenunnya tidak laku, pariwisata juga hancur sejak bom Bali I dan II, krisis moneter, ditambah pemerintah yang hanya mempromosikan Bali. 

Selain itu, banyak bayi terlihat bermuka Chinese. Saya tanya kenapa, karena bapaknya China lantaran banyak perempuan bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia, dihamili dan melahirkan, jadi pulang bawa bayi. Tapi mereka tidak bisa tinggal di Malaysia karena bayi itu lahir di luar nikah, sehingga tidak bisa punya surat lahir dan KTP. 

Dari situ saya berpikir, kalau mereka bisa hidup dari menenun di kampung, itu lebih bagus buat mereka. Sebenarnya yang saya lakukan sangat sederhana. Membeli tenun di kampung (saat itu warnanya masih terbatas), lalu saya bawa ke Jakarta untuk dibikin beberapa produk, yang dibantu teman dan juga mentor saya Josephine Komara atau yang dikenal dengan nama Obin dari Bin House, salah satu desainer selain Iwan Tirta, yang berhasil membawa batik ke ranah mahal. Nah, kami juga ingin membawa tenun ke ranah terhormat dan dibayar mahal. 

***

Perjuangan Selamatkan Tenun yang Hampir Punah

Kapan Toraja Melo dimulai?

Itu saya mulai membeli tenun tahun 2008 dan saya bikin produk fesyen dan produk lain tapi yang high quality. Kami membuatnya di Kecamatan Sa'dan karena itu sentral penenun. Sebenarnya tenun itu hanya alat bagi kami, bukan tujuan. Meskipun ada tujuan kedua, yaitu untuk melestarikan tenun Indonesia. Tapi tujuan utamanya soal kesejahteraan kehidupan penenun perempuan Indonesia. 

Toraja Melo ini sebenarnya apa?

Orang-orang sekarang menyebut kami social enterprise, terus terang kami enggak pernah menyebut diri kami social enterprise. Jadi 2008 saya mulai, lalu tahun 2010 adik saya, Nina Jusuf (Creative Director Toraja Melo) yang fashion designer dan aktivis gerakan perempuan dengan basis di San Fransisco membantu saya yang tidak tahu soal fesyen. Tahun 2010, kami mendirikan dua yayasan Toraja Melo karena kami harus bekerja untuk komunitas mendapat sumber dana dan kegiatan sosial, lalu membuat PT untuk bisnis karena kami sadar tidak mungkin menunggu sumbangan terus, sehingga kami cari dana sendiri. 

Kenapa dinamai Toraja Melo?

Karena tadinya kepikiran kerjanya di Toraja saja, jadi Toraja Melo. Itu artinya Toraja indah. Kami ingin bekerja dengan petani dan penenun di Toraja dan memajukan Toraja. Kami enggak tahu kalau sekarang jadi kerja di luar Toraja. Kami juga kerja di Mamasa, Sulawesi Barat karena ada permintaan penenun di sana, kemudian kami bekerja sama dengan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) pada 2014. 

Tahun lalu, kami mencari di mana organisasi Pekka yang sudah cukup kuat, ada penenunnya tapi sangat miskin dan kantong buruh migran. Itu kami temukan di Adonara dan Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jadi kami bekerja dengan Pekka di Adonara dan Lembata. Totalnya kami ada di empat daerah, Toraja, Mamasa, Adonara dan Lembata, sehingga yang tadinya merek itu terpisah Toraja dan Melo, kami jadikan satu pada 2015, menjadi Toraja Melo.

Waktu itu kondisi tenun seperti apa di Toraja?

Di Toraja penenunnya tua-tua, terus orang Toraja tidak mau pakai tenun Toraja termasuk suami saya. Ditambah waktu itu baru selesai dari zaman Orde Baru di mana semuanya Jawa, harus pakai batik, seakan sentralnya di Jakarta dan Jawa. Jadi orang Toraja kalau ke upacara pakai sarung batik, brokat, tidak ada yang pakai tenun. 

Selain itu, juga soal gengsi orang Indonesia. Kalau saya berhasil jual tenun di luar negeri dan Jakarta, orang Toraja baru akan sadar. Saya pertama kali jual kain Toraja di Jakarta, bukan di Toraja, lalu ke Jepang. Saya ke pameran di Jepang dari toko ke toko sama suami dan Nina, mengangkut koper dari stasiun ke stasiun, lalu laku banyak banget dan diberitakan. Terus kami ikut pameran demi pameran di Los Angeles, Paris, London, Milan dan pameran dagang dengan Kementerian Perdagangan. 

Tahun 2012, kami lakukan pameran tenun Toraja pertama di Museum Tekstil, dihadiri Pemda dan Bupati Toraja. Itu gempar di koran-koran. Orang Toraja juga datang, mereka menangis. Sejak itu, bupatinya bilang PNS harus pakai tenun Toraja seminggu sekali. Jadi orang-orang di Toraja, terutama di Toraja Utara itu sekarang sudah pakai tenun. Tidak hanya dipakai penduduk lokal, tapi tenun Toraja juga diminati turis yang mereka beli sebagai suvenir. 

Kami juga menghidupkan beberapa motif yang sudah mati menjadi laku lagi. Kami hubungkan mereka dengan distributor benang dan kami berikan kombinasi warna. Mereka juga mengakui kalau mengikuti warna Toraja Melo, tenunnya lebih laku.

Beberapa dibilang motifnya sudah mati, maksudnya?

Sudah tidak ada yang menenun dengan motif itu. Jadi saya harus cari kain tua supaya mereka mau mencoba membuatnya lagi, karena mereka tidak bisa bikin lagi kalau tidak pegang kainnya. Mereka harus bisa menghitung, ada rumusnya, tidak bisa cuma kami bilang bikin.

Kami sangat sulit mencari kain itu dan sudah mahal sekali harganya, karena kain tenun Indonesia termasuk Toraja sudah dibeli oleh kolektor tenun tua. Kalau tidak ada contohnya, tidak bisa dihidupkan kembali motif tenun. 

Waktu pameran 2012 saja saya tidak punya koleksi yang cukup untuk dipamerkan di Museum Tekstil. Paling tidak harus ada 100 lembar kain yang paling bagus. Nah kain tenun Toraja yang paling bagus sudah ada di Jepang. Jadi waktu itu ketika saya di Tokyo, saya menemui kolektor, dan memohon dipinjamkan untuk pameran di Museum Tekstil karena kalau tidak ada kain master, kami tidak bisa pameran di sini. 

Dalam negosiasi, kolektor itu minta US$1 juta untuk asuransi. Yang sebetulnya tidak bisa juga, jadi kalau kain itu rusak atau hilang, mau kamu punya US$1 juta, itu kain enggak ada lagi. Akhirnya kami bicara dan dia meminjamkannya tanpa diasuransikan. Tapi saya harus yang bawa dan tidak boleh lepas dari badan saya. Naik pesawat, saya gendong itu kain. Dan waktu pameran, jantung saya mau copot karena sistem keamanan di sini karena kalau dicomot, gimana?

Berapa harga kain itu kalau dirupiahkan?

Saya enggak tahu, yang pasti priceless (tidak ternilai).

Nah, kolaborasi Toraja Melo dengan Pekka bagaimana ceritanya?

Jadi Pekka itu executive director-nya Nani yang sudah kerja sama dengan organisasi lain, lalu dia membuat Pekka yang sudah mulai kerja dengan janda-janda di Aceh. Poinnya sebenarnya adalah pengorganisasian janda-janda dan harus ada livelihood, harus ada ekonominya. Waktu itu sekitar tahun 2010-2012, dia minta kerja sama tapi kami belum siap karena masih struggling

Sampai tahun 2014, sebenarnya dibilang siap juga enggak, tapi lalu kami ditawari pemilik kapal mewah keliling NTT selama seminggu untuk survei penenun di NTT. Kami pakai kapal itu dan dapat free keliling pulau NTT dengan Pekka dan saat tiba di Adonara dan Lembata, semua penenun keluar menyambut kami dengan tarian lengkap dengan tenunnya. Mereka bilang, kami sudah lelah ditipu orang Jakarta. Mereka minta saya membawa tenun ke Pulau Jawa dan saya sanggupi. Jadi dipaksa janji. 

Karena itu mulai tahun 2014, kami kerja sama dengan Pekka. Pembagian kerjanya jelas, Pekka pengorganisasian, Toraja Melo menghubungkan komunitas ke pasar dunia melalui desain dan marketing . 

Senangnya kerja dengan Nani adalah soal trust sudah terbentuk dan tik tok saja. Dan saya dengan Nani pergi ke Toraja, akan menuliskan pengalaman kami, dua organisasi ini bekerja bersama. Kami ingin berbagi pengalaman dan pembelajaran dengan teman-teman lain, melestarikan dan menguatkan perempuan. Jadi kami ingin bercerita agar yang kami kerjakan bisa ditularkan ke tempat lain dan bisa diturunkan ke generasi muda.

Ada penolakan ketika masuk ke kelompok penenun?

Penolakannya macam-macam, dan di tiap daerah lain-lain. Di Toraja itu kalau dibilang miskin, enggak miskin banget. Tapi waktu kami membuat tenun, membawa tenun Toraja dengan warna merah, hitam, kuning enggak ada yang mau beli, karena ada yang bilang norak. 

Lalu, ada teman yang minta dibuatkan warna merah hati, cokelat tapi karena tidak ada benang merah hati, harus beli benang ke Makassar dan yang ada hitam dan merah, lalu kami campur jadi merah hati dan bagus sekali, kami sebut warna itu gilang gemilang. 

Tapi penenun enggak mau mengerjakan. Saya bujuk satu mama (penenun) sampai enam bulan dan tetap tidak mau karena menurutnya jelek. Buat dia suasana hati penting ketika menenun. Tapi waktu jadi, saya mau ambil, ternyata sudah dikasih ke orang lain karena dia butuh uang. Itu salah satu tantangan kami. Jadi kalau kami pesan, ketika mereka membuatnya maka harus dibeli. Nah, itu juga tantangan kami dengan cash flow.

***

Jumlah Penenun Meningkat Pesat

Total penenun sekarang ini berapa jumlahnya?

Ada sekitar 1.000 penenun, harusnya sih lebih luas komunitasnya di empat daerah. Sebagian besar sudah kami latih dan menenun untuk kami. Jadi kami kasih penguatan ke mereka.

Proses pembuatan tenun berapa lama?

Macam-macam, paling cepat itu kalau pakai benang pabrik dan warna chemical seminggu sampai tiga minggu. Panjang kainnya 3,5 meter, Toraja dan Mamasa standar 3,5 meter, tapi Mamasa ada yang 10 meter. Di Lembata bisa berbulan-bulan. Semua daerah berbeda-beda, tapi range-nya segitu.

Ketika ini jadi industri, bagaimana penenun punya otoritas atas tubuhnya dan tidak seperti mesin?

Kami selalu memberikan kebebasan. Kami tidak  pernah bilang kami desain sendiri. Mereka itu desainer, mereka itu artisnya. Kami hanya memberikan color skin, tapi jadinya seperti apa tergantung selera dan kerja mereka, sehingga tidak ada tenun yang benar-benar sama. Kami ingin tenun menjadi produk yang mahal banget karena cuma ada satu.

Kisaran harga kain tenun berapa?

Sampai saat ini belum jual yang kain lembaran, kebanyakan yang sudah jadi produk karena kami ingin memberikan nilai tambah. Tapi mulai akhir tahun  dan awal tahun depan, kami ingin menjual kainnya saja. 

Sementara produk tenun saat ini, seperti fesyen, gift, cenderamata. Kalau aksesori kalung mulai Rp230 ribuan; gift Rp60 ribuan, ada pouch; kemudian ada wedding souvenir pakai frame Rp300 ribu; baju paling murah Rp300 ribu dan paling mahal Rp1,3 juta. Harganya masih terjangkau, bahkan ada yang bilang kemurahan.

Bagaimana dengan pemasarannya?

Pemasarannya dalam 10 tahun terakhir sudah ke mana-mana, yakni Amerika, Eropa, Asia. Tahun ini, kami ingin fokus ke Indonesia, tapi diajak ke Seibu Jepang. Jadi sampai awal 2019, produk Toraja Melo ada di Seibu Jepang. 

Sekarang bagaimana kehidupan penenunnya?

Melahirkan harga diri, dan menjadi kebanggaan karena mereka punya kebebasan ekonomi. Saya terus terang enggak mikir begitu, saya mikir mereka dapat penghasilan lebih teratur yang memang bukan penghasilan satu-satunya karena mereka juga punya sawah, mereka punya babi dan kerbau untuk dijual. 

Ini membuat harga diri mereka kembali karena kebanyakan juga ada yang kerja merantau jadi pembantu, pekerja seks atau lainnya, tapi kalau menenun, mereka bisa tinggal dengan keluarga, harga diri mereka kembali. Itu sesuai dengan social enterprise. Bahkan di Toraja, banyak TKW yang akhirnya pulang untuk menenun.

Penenun saat ini usianya berapa?

Dulu tua-tua, sekarang anak umur 12 tahun sudah bisa menenun. Tadinya malu, sekarang mereka bangga. Ada yang membiayai sekolah dengan menenun sampai diundang untuk bicara ke Jakarta, sehingga banyak anak-anak yang tertarik ikutan menenun. Itu prestige buat mereka.

Apakah tidak muncul anggapan mengeksploitasi anak?

Ada komentar seperti itu tapi jawabnya cukup mudah walaupun kadang marah juga. This is part of the culture, kami bukan memperbudak anak-anak, dan kami tidak menyuruh tapi anak-anaknya minta. Mereka melihat tantenya dan mamanya menenun, lalu ingin juga dan mereka mengerjakannya sesuka mereka. Karena tenun itu seperti bahasa, mereka harus belajar dari kecil, tidak bisa tiba-tiba, kalau sudah umur 25 tahun baru menenun itu susah. Jadi itu salah satu melawan pola berpikir begitu, ini budaya kok. 

Bagaimana menyeimbangkan kesejahteraan penenun sekaligus menjalankan bisnis?

Itu berat sekali, dalam arti waktu awal kami harus membeli tenun selama mereka latihan, kami bayar terus. Dan orang Indonesia ada yang bilang tenun kenapa mahal, padahal buatan Indonesia. 

Akhirnya kami harus tetap bekerja dengan partner di Singapura. Mereka mengubah pandangan pasar untuk menjadi conscious consumer atau konsumer yang punya kesadaran. Jadi kalau ada Toraja Melo di sebelah Zara, dan Toraja Melo lebih mahal, mereka akan tetap milih Toraja Melo karena di belakangnya ada cerita dan bukan pabrikan. Termasuk pameran ini untuk memperlihatkan ada tenun macam-macam dan itu kekuatan Indonesia. Yang membedakan negeri ini dengan negara lain, ya kekayaan alamnya.

Selama ini pernah mengalami kerugian?

Oh rugi terus, makanya sekarang punya business advisor. Saya pakai tabungan hari tua sama adik saya, untuk ini semua. Karena itu, kami dibantu business advisor yang pada 2018 memastikan agar bisnis tetap sehat, sehingga bisa menarik lebih banyak komunitas penenun.

Penghasilan penenun berapa?

Sekitar Rp3-5 juta per bulan. Itu lebih tinggi dari gaji PNS. Kalau Mamasa masih belum tapi ditopang dengan Community Based Travel dan ditunjang tenun, mereka bisa dapat uang dari menyewakan rumah untuk homestay dan menjual tenun ke tamu. Turis beli langsung dari masyarakat, langsung bayar ke masyarakat.

Selama ini sudah pameran ke mana saja di luar negeri?

Jepang, Los Angeles, Milan, Paris, London, San Fransisco. Tapi buat saya enggak terlalu penting pameran ke luar negeri, lebih untuk gengsi orang lokal karena membawa produk lokal ke ranah global, sebab besar di ongkos dan pembeliannya tidak terlalu besar. Pasar kami lebih besar di Indonesia dan kaum menengah ke atas yang sudah kerja lebih dari lima tahun dan suka tenun. Untungnya sekarang makin banyak anak muda yang ingin pakai produk Indonesia. 

Kalau luar negeri itu tambahan saja, tapi khusus ke Jepang, kami bisa beberapa minggu keliling Tokyo, Osaka, Hirosima, Kyota. Kenapa memilih Jepang, karena kalau bisa masuk Jepang, bisa masuk negara mana saja karena mereka hanya mau kualitas bagus dan handmade. Kami akan kembali ke Jepang kalau ada uang, dan mungkin juga ke Eropa seperti Italia dan Prancis. Sementara kalau di Indonesia, pasar kami adalah korporasi. 

Rencana atau target Toraja Melo ke depan apa?

Kami akan fokus pada strategi penjualan produk, Community Based Travel dan Consultancy. Kami sudah menguatkan komunitas, sekarang waktunya menguatkan bisnis kami. Selama ini, bisnis selalu dikalahkan sama komunitas. Selama ini kalau disuruh milih untung atau kesejahteraan penenun, kami larinya ke kesejahteraan penenun. Sekarang kami sudah kuat, sekarang kembangkan bisnisnya.

Kedua, Community Based Travel di Toraja. Sejak 2009 banyak menerima turis yang ingin lihat dan tinggal dengan penenun. Kami sekarang di Toraja punya dua komunitas, penenun dan based travel. Jadi mereka sebagai tuan rumah untuk turis yang datang ke Toraja dan melihat bagaimana Toraja Melo berkembang.

Ketiga konsultasi. Saya mengharapkan anak muda bisa meneruskan, dengan berbagi pengalaman kerja kami karena tidak banyak social enterprise berbasis komunitas, kebanyakan kelompok kecil. Tapi di belakang kami ada Pekka dengan anggota 5.000 penenun, namun kami mau fokus itu susah, jadi ambil 10.00 dulu.