Google Akhirnya 'Tunduk' ke China

Logo Google.
Sumber :
  • REUTERS/Thomas Peter

VIVA – Google is back. Mesin pencari asal Amerika Serikat ini berniat kembali lagi ke negeri Tirai Bambu, China, setelah pada 2010 hengkang. Internet di China terkenal dengan sensor ketat, terlebih dengan adanya "Great Firewall" yang melarang warganya untuk mengakses banyak situs.

Selain itu, informasi mengenai topik seperti agama, kebebasan berpendapat, dan demokrasi langsung diblokir. Kendati demikian, Google akan tampil beda jika benar-benar diterima. Hasil pencarian akan menyensor beberapa keyword dan topik sensitif sesuai permintaan pemerintah China.

Mengutip The Verge, Google telah mengembangkan mesin pencari yang disensor dengan kode "Dragonfly" sejak awal 2017. Nah, Dragonfly dikembangkan sebagai aplikasi untuk smartphone Android yang memiliki 80 persen pangsa pasar di China.

Selain itu, mesin pencari tersebut akan memblokir pencarian sensitif dan menyaring situs yang dilarang oleh sensor web China, seperti Wikipedia.

Hasil pencarian yang disensor ini pun meliputi seluruh platform pencarian, termasuk pencarian gambar, pemeriksa ejaan, dan suggested search. Tak hanya itu, saat ini Google sedang dalam tahap pembicaraan dengan e-commerce Tencent, Inspur, dan beberapa perusahaan besar lainnya untuk memboyong layanan komputasi awan atau cloud computing.

Baidu Terancam

Tak hanya itu, mitra Google Cloud juga bertanggung jawab untuk menghosting dan memberikan layanan seperti Google Drive dan Google Documents kepada pelanggan di China, dari server mereka sendiri. Dengan 'tawaran menggiurkan' ini maka diharapkan bisa memberi Google akses lebih besar ke pasar China.

Namun, Google menolak berkomentar. Bisa dikatakan, Google masih belum benar-benar meninggalkan China. Meski begitu, Google belum aman. Sebab, mereka harus melewati beberapa rintangan seperti persetujuan dari pemerintah China dan keyakinan Google bahwa mesin pencarinya lebih baik dibandingkan mesin pencari utama China, Baidu.

Tak pelak, comeback-nya Google membuat Robin Li ketar-ketir dan menganggapnya sebagai ancaman. Kepala Eksekutif Baidu ini mengklaim kembalinya Google ke China setelah delapan tahun tidak membuat Baidu gentar. Ia sesumbar dan mengatakan sebaliknya.

"Kami akan mengambil kesempatan untuk memiliki pertarungan sebenarnya. Kami akan menang," jelasnya, dilansir dari ZDNet. Apa yang dikhawatirkan Li bukan tanpa alasan. Sebab, mesin pencari yang dijuluki "Chinese Google" itu memang berkecimpung dalam ranah bisnis yang sama dengan raksasa Silicon Valley tersebut.

Keduanya sama-sama menawarkan layanan mesin pencarian, komputasi awan, mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), serta mengembangkan perangkat keras atau hardware. Ia pun mengakui, sepeninggal Google, pertumbuhan bisnis Baidu semakin kuat di rumah sendiri, atau menyerap lebih dari 70 persen pangsa pasar di sana.

***

Ditolak karyawannya sendiri

Akan tetapi, langkah Baidu untuk pasang badan ini tidak didukung sepenuhnya oleh pengguna mereka di China. Karena, dalam sebuah polling yang digelar di situs media sosial Weibo, Baidu kalah telak dari Google. Sebanyak 85,7 persen pemilih condong memilih Google ketimbang Baidu yang hanya memperoleh suara 6,6 persen.

Parahnya lagi, ada beberapa pengguna dengan blak-blakan akan meng-uninstall aplikasi Baidu jika nantinya Google bakal benar-benar kembali ke China. Strategi Google ini rupanya tidak didukung oleh sejumlah besar karyawannya.

Mereka tidak terlalu senang dengan kebijakan perusahaannya yang akhirnya tunduk oleh Undang-Undang Sensor China. Di lain pihak pesaing Google Cloud, Amazon dan Microsoft, juga menggandeng sekutu lokal China. Amazon Web Services menggandeng Beijing Sinnet Technology, sedangkan Microsoft Azure Cloud dengan 21Vianet Group.

Internet masuk China dimulai sejak Januari 1996. Penerapan kebijakan "Great Wall" ini terkait dengan biaya bandwidth internasional yang harus dibayar mahal jika laju lalu lintas menuju situs web-situs web luar yang dinilai terlampau banyak.

Pada 2010, terdapat sekitar 1,3 juta situs web yang diblokir China, termasuk Google. Dalam dunia komputer, Firewall merupakan sistem yang dirancang untuk memblokir akses bagi aplikasi atau program yang tidak sah. Imbasnya tentu ke perusahaan teknologi asing, tak terkecuali para pemain-pemain besar di dunia internet.

Para penantang

Khusus Google, sebelum hengkang pada 2010 diketahui telah diblokir sejak 2002 silam. Menyusul kemudian Facebook dan Twitter yang diblokir pada 2009. Meski mendapat cibiran dari dunia internasional, namun kebijakan tersebut ternyata memberikan dampak positif bagi dunia teknologi domestik.

Muncul layananan-layanan baru yang tak kalah canggih, tentu buatan orang China. Sebut saja Baidu sebagai penantang Google, Alibaba, e-commerce penantang Amazon, Weibo penantang Facebook, serta WeChat penantang WhatsApp.

Data dari Statista mengungkapkan, pada Desember 2016, terdapat 731,25 juta pengguna internet di China. Angka tersebut jelas merupakan suatu berlian yang sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan teknologi.

Meski telah diusir dan terus-menerus dicibir oleh masyarakat internasional, namun Google terus berharap bisa 'buka lapak' mereka kembali di China. Jumlah penduduk lebih dari 1 miliar jiwa merupakan aset besar sekaligus pangsa pasar yang sangat besar pula. (ren)

Walau kebijakan China membuat iklim teknologi lokal berkembang cukup baik, tapi hal tersebut tidak mengendurkan semangat Google untuk beroperasi di negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping.