Setop Pakai Sedotan Plastik!

Sedotan plastik.
Sumber :
  • Pixabay/rkit

VIVA – Raksasa gerai kopi asal Amerika Serikat, Starbucks belum lama ini mengumumkan rencana untuk tak lagi menggunakan sedotan plastik di seluruh gerai mereka di dunia pada 2020. Sebagai gantinya, mereka akan menggunakan strawless lids (penutup gelas tanpa sedotan) atau sippy cup lids, penutup gelas yang memiliki lubang di bagian pinggirnya untuk menyeruput minuman.

Perubahan besar-besaran yang berlaku di 28.000 gerai mereka di seluruh penjuru dunia ini diklaim akan mengurangi lebih dari 1 miliar sedotan plastik per tahun.

Sebelumnya, perusahaan restoran cepat saji McDonald's Britania Raya bahkan telah mengambil langkah berani dengan mengeliminasi penggunaan sedotan plastik untuk produk minuman mereka, dan menggantinya dengan sedotan kertas. Keputusan itu akan berdampak pada sebanyak 1.300 store McDonald's di Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.

Disney pun tak mau kalah. Mereka mengumumkan bahwa pada pertengahan 2019, mereka akan berhenti menyediakan sedotan dan pengaduk minuman sekali pakai yang terbuat dari plastik di seluruh taman bermain dan lokasi milik Disney di seluruh dunia. Itu berarti meliputi seluruh Disneyland, Tokyo Disney Resort, kapal pesiar Disney hingga berbagai tempat-tempat kecil seperti El Capitan Theater di Hollywood, AS.

Ya, belakangan ini, gerakan untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik semakin ramai diserukan di seluruh penjuru dunia. Hal ini terjadi lantaran masalah limbah plastik yang sudah mencemari lautan kini kian darurat.

"Mengeliminasi penggunaan sedotan plastik dan berbagai benda berbahan plastik lainnya adalah langkah penting dalam mempertahankan komitmen kami untuk menjaga lingkungan. Usaha-usaha global baru ini akan membantu mengurangi sampah lingkungan dan membantu mencapai tujuan kami, yakni menciptakan lingkungan yang berkelanjutan," ucap Chairman of Disney Parks, Experience and Consumer Products, Bob Chapek, dikutip dari Food Beast.

Tak berhenti di situ, pihak Disney bahkan mengungkapkan bahwa mereka juga berencana untuk menghapus seluruh penggunaan gelas styrofoam, mengurangi penggunaan kantong plastik di toko-toko mereka dan bahkan menawarkan alat-alat mandi daur ulang di kapal pesiar mereka.

Perubahan tersebut diproyeksikan bakal mengurangi penggunaan 175 juta sedotan plastik, 13 juta pengaduk minuman dari bahan plastik, serta mengurangi 80 persen penggunaan plastik di hotel-hotel dan kapal pesiar mereka per tahunnya.

Sebenarnya, gerai Starbucks di Seattle, AS sudah lebih dulu menggunakan sedotan dari bahan-bahan daur ulang, karena penggunaan sedotan plastik dilarang di kota itu. Seluruh gerai Starbucks di Vancouver, Kanada juga akan mengalami perubahan yang sama pada musim gugur mendatang.

"Untuk para partner dan pelanggan kami, ini adalah langkah penting untuk mencapai aspirasi global kami, yakni kopi yang berkelanjutan, yang disajikan kepada para pelanggan dengan cara yang lebih ramah lingkungan," kata Kevin Johnson, President and Chief Executive Officer Starbucks.

Di Indonesia, beberapa restoran dan kedai kopi juga telah melakukan hal serupa. Pada 2017, KFC Indonesia bahkan menggalakkan kampanye #NoStrawMovement. Gerai-gerai KFC di seluruh Tanah Air juga tak lagi menyediakan sedotan plastik. Konsumen yang membutuhkan sedotan dapat memintanya kepada kasir.

Hendra Yuniarto, General Manager Marketing PT Fast Food Indonesia (KFC Indonesia) mengatakan, gerakan ini dilakukan untuk mengajak masyarakat turut peduli pada keselamatan laut dan kehidupannya. Bentuk nyatanya, dengan menolak sedotan plastik sekali pakai saat memesan minuman di restoran atau di mana pun mereka menikmati minuman.

”Sedotan merupakan penyumbang sampah laut terbesar kelima di dunia. Melihat fakta tersebut, kami tergerak untuk mengajak masyarakat menolak sedotan plastik sekali pakai saat memesan minuman di restoran kami maupun di luar, karena faktanya sedotan tidak dapat didaur ulang dan sebagian besar sampah sedotan hanya akan berakhir di pembuangan atau laut," katanya.

***

Darurat Sampah Plastik

Sampah plastik atau limbah plastik di dunia yang sudah mencemari lautan kini sudah mencapai tahap darurat. Di Amerika Serikat saja, sebanyak 500 juta sedotan plastik digunakan setiap harinya. Tak heran perusahaan-perusahaan makanan dan minuman raksasa AS mulai melakukan perubahan untuk berpartisipasi dalam usaha pengurangan penggunaan plastik dalam kemasan minuman mereka. Dimulai dari sedotan.

Sedotan plastik secara bertahap kabarnya memang akan dilarang digunakan di AS dan Kanada pada 2019. Negara-negara Eropa juga diketahui akan melakukan hal yang sama, dan diharapkan begitu dengan negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Itu karena tak lagi memakai sedotan plastik akan sangat berpengaruh dalam mengurangi sampah atau limbah plastik.

Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kedua penghasil sampah plastik paling banyak di dunia. Menurut data Jambeck 2015, jumlah sampah plastik yang mencemari laut Indonesia mencapai 1,29 juta ton per tahun atau setara dengan berat 215.000 ekor gajah jantan Afrika dewasa.

Data dari LSM Divers Clean Action (DCA) menunjukkan, dari jumlah tersebut, salah satu yang paling banyak adalah sampah plastik dalam bentuk sedotan. Mereka memperkirakan, pemakaian sedotan plastik masyarakat Indonesia mencapai 93.244.847 batang setiap harinya. Sedotan-sedotan itu umumnya berasal dari restoran, minuman kemasan, dan sumber lainnya (packed straw).

Sebagai bayangan, jika disambungkan, sedotan plastik dalam jumlah tersebut panjangnya mencapai 16.784 kilometer, atau sama dengan dengan jarak yang ditempuh dari Jakarta ke Mexico City. Itu berarti jika dihitung per pekan, maka pemakaian sedotan plastik masyarakat Indonesia mencapai 117.449 kilometer atau sama dengan tiga kali keliling Bumi.

Swietenia Puspa Lestari, penggagas DCA mengungkapkan bahwa sedotan plastik yang rata-rata panjangnya hanya sekitar 10 sentimeter membutuhkan waktu 500 tahun untuk terurai secara alami. Itulah yang membuatnya membentuk DCA, yang merupakan aksi penyelaman untuk membantu membersihkan sampah plastik yang mencemari laut Indonesia.

Meski begitu, ia melihat bahwa masalah sampah bukanlah sesuatu yang aneh di Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan.

"Tidak semua pulau punya sistem sampah, pasti ada menemui sampah. Jadi kita berkaca lagi, kenapa sampah ini bisa ada? Karena dilewati beberapa samudra, jadi banyak juga sampah dari laut lain yang juga terbawa. Tapi ketika berkaca pada diri sendiri, di masyarakat sampahnya tidak ada pengolahan. (Sampah) ditimbun di pantai atau dibuang ke laut. Kita harus refleksi pada diri sendiri dahulu," ujar Swietenia saat dihubungi VIVA baru-baru ini.

Selama dia melakukan aksi penyelaman untuk membersihkan sampah di laut di berbagai tempat di Indonesia, ia mengatakan bahwa laut yang paling banyak tercemar sampah adalah di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Bahkan di laut yang cukup dalam pun, ia masih menemukan beberapa sampah di sana.

Hartadi Alamsyah, Vice Chief Production Officer PT Trisinar Indopratama, perusahaan yang merupakan salah satu produsen plasticware terbesar di Indonesia dengan merek Technoplast pun turut berkomentar mengenai hal ini. Menurutnya, sampah plastik yang bermasalah adalah yang disposable alias sekali pakai. Itulah mengapa pihaknya hanya membuat produk plastik yang tidak disposable.

"Sampai di lapangan pun kami tidak menggunakan plastik yang disposable. Memang karyawan juga diwajibkan untuk tidak menggunakan yang seperti itu. Setidaknya kami mengurangi lah, tidak menambah plastik yang sekali (pakai) buang seperti itu," katanya saat ditemui di pabrik Technoplast di Cikupa, Tangerang, Banten beberapa waktu lalu.

Ia juga menambahkan, produk-produk plasticware mereka bisa di-reuse atau digunakan kembali. "Jadi biasanya di pabrik plastik kecil ambil waste dari pabrik plastik seperti ini (Technoplast). Mereka grinding, mereka pakai untuk mereka. Biasanya seperti itu secara naturalnya," dia menjelaskan.

Hartadi melanjutkan, umumnya, waste atau limbah plastik dari pabrik-pabrik besar tadi dimanfaatkan oleh pabrik kecil untuk membuat produk lain, biasanya produk-produk yang tidak untuk food contact atau kontak dengan makanan.

***

Lingkungan Jadi Korban

Tentu saja yang paling terkena imbas masalah sampah plastik ini adalah lingkungan, di mana ekosistem laut rusak, termasuk terumbu karang. Padahal Indonesia adalah penyumbang terumbu karang terbesar, yakni mencapai 76 persen di Coral Triangle dunia. Sayangnya, menurut United Nations Development Programme (2016), dari jumlah keseluruhan luas terumbu karang di Indonesia yang mencapai 2,5 juta hektare, 68 persennya memiliki kualitas yang buruk.

Belum lagi jika bicara mengenai partikel mikroplastik yang saat ini sudah diungkapkan oleh berbagai studi, telah terkandung di dalam hidangan berbahan dasar seafood atau boga bahari yang dimakan sehari-hari.

"Kalau sampah pengaruhnya banyak banget, dia enggak bisa cepat terurai. Kalau terurai, dia jadi partikel kecil. Serpihan itu ketika masuk bisa dimakan ikan, sementara bentuk plastiknya mengapung. Jadi semakin banyak, semakin dimakan sama ikan. Dan ini nanti juga akan berbahaya ketika ikan itu dimakan oleh manusia," ucap Swietenia.

Ia juga mengatakan bahwa semua bahan plastik mengandung polipropilen dan BPA atau Bisphenol A, yang bisa berbahaya jika masuk ke dalam tubuh. Menurutnya, jika ini terus menerus masuk ke dalam tubuh, bukan tidak mungkin bisa menyebabkan kanker.

Sedangkan menurut Hartadi, mikroplastik itu hasil dari kualitas formulasi produk plastik. "Semakin tipis, mereka tidak terdegradasi, mereka menjadi serpihan mikroplastik itu. Tapi kalau ini (produk Technoplast) kan enggak (menghasilkan mikroplastik). Plastiknya lebih tebal. Jadi (mikroplastik) ada hubungannya dengan dimensi dan kekuatan formulasi (produk plastik) itu sendiri," ujarnya.

Sementara itu, Rosa Vivien Ratnawai, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mengatakan, di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di daerah perkotaan, pesisir dan tujuan wisata memang ditemukan pencemaran laut akibat sampah plastik, baik di daerah pantai maupun di badan air laut. Namun, belum ada penelitian yang menyatakan berapa besar tingkat pencemaran sampah plastik di laut Tanah Air.

Ia mengatakan bahwa hasil studi tahun 2017 menunjukkan rata-rata 60 persen sampah plastik ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), 5-10 persen didaur ulang dan 25-30 persen 'bocor' ke lingkungan (dibakar, dibuang ke sungai, pantai, dan ke media lingkungan lainnya).

Meski begitu, ia mengatakan, sampah plastik jika sudah sampai di laut akan bergerak dinamis mengikuti arus laut. "Contohnya, sampah laut yang sempat viral di perairan Bali itu keesokan harinya sudah tidak ditemukan lagi pada titik yang sama," ucapnya.

Pemerintah sendiri, kata Rosa, sudah banyak melakukan program aksi pengelolaan sampah plastik, berkolaborasi dengan semua pihak dalam bentuk penyusunan kebijakan dan regulasi, perbaikan sistem pengelolaan sampah di daerah, perbaikan sarana dan prasarana, peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat, membangun komitmen kewajiban produsen, kampanye dan edukasi publik serta melakukan kerja sama internasional.

Dikatakannya, pemerintah pusat pun telah menetapkan Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (Jakstranas PS), yang segera disusul Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada) provinsi dan kabupaten/kota, serta sedang menyelesaikan beberapa peraturan.

"Yaitu rencana aksi penanganan sampah laut, cukai kantong belanja plastik, pengurangan kantong belanja plastik pada usaha ritel dan peta jalan kewajiban produsen dalam pengurangan sampah. Sementara di beberapa daerah sudah mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan kantong belanja plastik," ujarnya.

Sebelumnya, penerapan harga kantong belanja Rp200 yang sifatnya uji coba nasional pada 2016 juga ia sebut memiliki hasil yang luar biasa, karena mampu mengurangi penggunaan kantong plastik sampai 55 persen dalam waktu tiga bulan saja. Survei juga menunjukkan, 82 persen publik menerima kebijakan tersebut. Usaha ritel yang masih menjalankannya sampai saat ini adalah jaringan supermarket Superindo dengan hasil pengurangan penggunaan kantong plastik dari 3 lembar menjadi 1,5 lembar per transaksi.

Swietenia juga mengatakan bahwa selain membantu membersihkan sampah plastik di laut, pihaknya juga bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk melakukan penelitian tentang sampah. Mereka pun tak henti-hentinya mendorong gerakan-gerakan di berbagai perusahaan untuk mengurangi pemakaian sedotan dan produk plastik. Begitu juga dengan kerja sama membersihkan laut, menyediakan bahan dan pelatihan dan membuat paltform untuk saling sharing pengalaman membersihkan sampah di laut.

Ia pun mengakui bahwa kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang masalah sampah saat ini sudah lebih baik. "Yang dulu gerakan bersih-bersih hanya pada momen tertentu, sekarang jadi lebih rutin. Tidak hanya mengambil sampah, tapi disortir. Ada datanya, dikumpulkan ke kami dan dikumpulkan sampah yang bisa dimanfaatkan, di-recycle. Itu sudah sangat besar sih," katanya.

Yang ia nilai kurang hanyalah perihal penegakan hukum bagi mereka yang melanggar peraturan terkait masalah sampah ini. "Masih kurang punishment-nya dan masih tidak maksimal. Itu yang harus ditingkatkan," dia menambahkan.

Sedotan Plastik Masih Dibutuhkan

Namun, ternyata tidak semua pihak setuju dengan gerakan menghilangkan sedotan plastik. Komunitas difabel atau penyandang disabilitas di AS adalah salah satunya. Itu karena sedotan adalah alat bantu untuk mereka yang secara fisik tidak bisa minum dengan cara biasa.

Lembaga Hak Asasi Washington bahkan menulis surat resmi kepada Dewan Kota Seattle untuk menyuarakan pendapat para kaum difabel. Sebagai informasi, pemerintah Kota Seattle sudah melarang penggunaan sedotan plastik beberapa waktu lalu. Itu lah mengapa Starbucks di kota tersebut sudah lebih dulu menggunakan sedotan yang terbuat dari bahan-bahan daur ulang.

Salah satu hal yang ditekankan dalam surat tersebut adalah, "Banyak orang dengan disabilitas fisik, seperti cerebral palsy dan multiple sclerosis yang membutuhkan bantuan sedotan plastik untuk minum. Jenis sedotan lainnya (seperti sedotan kertas atau dari bahan metal) tidak memberikan kombinasi kekuatan, fleksibilitas dan keamanan seperti sedotan plastik”.

Meski begitu, ada beberapa restoran di Seattle yang diizinkan untuk menyediakan sedotan plastik untuk diberi kepada pengunjung yang memang memintanya karena memiliki kondisi medis atau fisik tertentu. Larangan penggunaan sedotan plastik di Seattle sendiri sebenarnya tidak berlaku bagi kaum difabel. Ini berarti mereka tetap bisa meminta sedotan plastik kepada pihak restoran.

"Jika dibutuhkan oleh pelanggan karena kondisi medis atau fisik tertentu, dan mereka tidak bisa menggunakan sedotan kertas, maka sedotan minuman plastik yang fleksibel dan sekali pakai boleh diberikan. Jika tidak, maka hanya boleh menggunakan sedotan dari bahan-bahan daur ulang," demikian bunyi peraturan di Kota Seattle.

***

Apa yang Bisa Kita Lakukan

Langkah yang dilakukan banyak restoran untuk mengeliminasi penggunaan sedotan plastik dinilai sangat efektif oleh Swietenia. Menurutnya, itu merupakan hal yang sangat sederhana namun punya pengaruh yang luar biasa. Ia juga mengatakan bahwa restoran menjadi sarana edukasi yang efektif. Dengan tidak menyediakan sedotan, pihak restoran juga mengedukasi anak-anak agar tidak asal mengambil sedotan plastik yang malah seringkali dijadikan mainan, misalnya pedang-pedangan.

Yang sulit justru warung atau kedai makan pinggir jalan. Itulah mengapa, Swietenia menilai yang sangat perlu dilakukan adalah mengubah mindset atau pola pikir masyarakat, dalam hal ini terutama kelas menengah ke bawah.

"Saya pernah bilang (ke pemilik warung pinggir jalan) untuk enggak usah pakai sedotan plastik, tapi tetap dikasih. Mereka bilang, 'Pakai saja, ini kan gratis'. Ini kan masalah mindset. Kalau kita bisa mencegah dari awal, itu sangat sangat bagus dan impact-nya juga besar," kata dia.

Sementara Rosa menyebut, ke depannya, pemerintah juga akan mengatur tentang penggunaan sedotan plastik. Bukan cuma melarang atau membatasi sedotan, tapi termasuk juga membatasi pemakaian alat makan dan minum plastik sekali pakai serta styrofoam.

"Sedotan terlihat sepele, tapi ternyata kalau sudah jadi sampah, jutaan jumlahnya setiap hari. Belum ada peraturan yang membatasi penggunaan sedotan, maka kami sangat menghargai inisiatif beberapa restoran yang sudah tidak lagi menyediakan sedotan," ucapnya.

Tak perlu menunggu semua restoran mengeliminasi penggunaan sedotan plastik, siapa pun bisa berkontribusi mengurangi sampah plastik dengan tidak menggunakan sedotan plastik. Sebagai gantinya, ada banyak alternatif sedotan yang lebih ramah lingkungan, mulai dari sedotan dari kertas, bambu, jerami, akrilik, kaca, silikon hingga besi atau metal.

Selain itu, ada banyak sekali hal sederhana lainnya yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah plastik. Rosa menyarankan Anda untuk membawa kantong belanja sendiri dan tidak menggunakan kantong belanja plastik. Kemudian biasakan untuk membawa tumblr atau botol minum, tidak usah membeli minuman dalam kemasan, bawa wadah makanan sendiri agar kalau membeli makanan tidak memakai styrofoam.