Menebak Peta Koalisi Pilpres 2019 Usai Pilkada
- ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
VIVA – Hitung cepat atau quick count terkait hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang digelar sejumlah lembaga survei dinilai berpengaruh terhadap poros koalisi untuk Pemilihan Presiden 2019. Meski hitungan resmi Komisi Pemilihan Umum belum diumumkan, namun hasil quick count dinilai jadi gambaran dinamika politik menjelang Pilpres 2019.
Arah koalisi untuk Pilpres 2019 diprediksi masih bisa berubah sebelum pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden pada 4-10 Agustus 2018. Kurang dari 40 hari, partai-partai dinilai akan semakin intens dalam penjajakan koalisi.
Merujuk hasil quick count, terdapat kejutan di beberapa daerah yang menggelar Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. PDI Perjuangan sebagai partai pemenang Pemilu 2014 pun belum punya hasil menggembirakan.
Duet jagoan yang diusung partai berlambang banteng moncong putih itu banyak yang kalah. Ambil contoh pasangan calon yang diusung PDIP di Pilgub Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, serta Jawa Timur tumbang dari rivalnya.
Kemudian, di sisi lain, partai yang selama ini di barisan oposisi dan kritis terhadap pemerintahan Joko Widodo juga senasib. Pasangan yang diusung koalisi Gerindra dan PKS keok. Bahkan, di Pulau Jawa minus DKI Jakarta, duet jagoan Gerindra-PKS seluruhnya tumbang.
Melihat dinamika ini, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengatakan hasil Pilkada 2018 akan berpengaruh terhadap arah koalisi Pilpres 2019. Bagi dia, penjajakan poros koalisi akan makin menguat pasca-6Pilkada 2018. Saat ini, status PAN masih sebagai salah satu partai belum memutuskan dukungan arah koalisi.
"Hasil jelas berpengaruh, tentu berpengaruh. Nah, sekarang kembali lagi dalam kombinasi capresnya kayak apa dan partai pendukungnya seperti apa?" ujar Zulkifli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Juni 2018.
Baca: Banyak Jagoan PDIP Keok di Pilkada, Ini Analisis Penyebabnya
Foto: Djarot Syaiful saat dideklarasikan PDIP sebagai bakal cagub Sumut.
Zulkifli merespons hasil quick count Pilkada 2018 memperlihatkan perebutan basis dukungan menuju 2019. Ia menganalisis contoh seperti persaingan di Pilgub Jateng dengan kandidat yaitu Ganjar Pranowo melawan Sudirman Said. Ganjar merupakan jagoan PDIP yang mendukung Joko Widodo maju lagi sebagai capres 2019.
"Misalnya siapa yang ngira Sudirman Said baru 3 bulan, enggak punya uang, enggak punya logistik. Ganjar kerja hampir 5 tahun dan itu basis kuatnya PDIP, tapi (Sudirman) bisa dapat 43 persen, bayangkan," kata Zulkifli.
Respons juga disuarakan elite Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan kubu pendukung Joko Widodo. Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani menekankan kemenangan Ridwan Kamil di Pilgub Jawa Barat, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, dan Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur akan memberikan poin lebih untuk dukungan Jokowi di Pilpres 2019.
"Karena ketiganya, Khofifah, Emil, Ganjar itu pendukung Jokowi," tutur Arsul kepada VIVA, Kamis, 28 Juni 2018.
Baca: Nasib #2019GantiPresiden Usai Jagoan Gerindra-PKS Tumbang di Jabar
Arsul mengklaim koalisi pendukung Jokowi saat ini yang sudah terbentuk akan solid dan tak bermasalah. Justru, kata dia, jumlah pendukung koalisi diklaim akan bertambah seiring sisa waktu sebelum pendaftaran pasangan capres dan cawapres pada awal Agustus 2018.
"Insya Allah, kami solid, tidak berubah. Tapi, malah bertambah 1-2 partai. Masih ada waktu 2-3 minggu juga untuk merembukkan cawapres untuk Jokowi," sebut Arsul.
Sejauh ini, parpol yang menyatakan mendukung Jokowi di Pilpres 2019 adalah PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura. Ada juga partai nonparlemen seperti PSI, Perindo, dan PKPI.
Fashion Show Politi
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Media Survei Nasional, Rico Marbun, mengatakan Pilkada 2018 diibaratkan fashion show politik sebelum rangkaian Pemilu serentak 2019 yang terdapat Pilpres.
"Di sini akan terlihat kekuatan riil dari mesin politik partai serta tokoh tiap partai," ujar Rico kepada VIVA, Kamis, 28 Juni 2018.
Rico menganalisis hasil Pilkada 2018 versi quick count ini sebagai 'kemenangan' Jokowi, bukan PDIP. Ia melihat secara riil politik, Jokowi kerap memberikan gestur kedekatan terhadap calon kepala daerah yang dekat dengannya. Beda pilihan dengan PDIP.
"Karena riilnya begitu, sering memberikan gesture kedekatan yang dekat dengannya. Tapi, bukan dari PDIP," sebut Rico
#2019GantiPresiden Tetap
Foto: Prabowo Subianto bersama Ahmad Heryawan dan Presiden PKS Sohibul Iman.
Kalah di Pilgub Pulau Jawa terutama Jabar versi quick count tak mengubah tekad barisan oposisi untuk menyuarakan mengganti Jokowi di Pilpres 2019. Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Pouyono menyebut bersama PKS, Gerindra tetap bersama di Pemilu 2019 termasuk arah koalisi di Pilpres 2019.
Alasannya, bagi Arief, karena selama ini bersama PKS sudah sehati di Pilkada 2018 dengan koalisi di sejumlah daerah. Kekompakan koalisi ini terbangun di Pilgub Jabar, Jateng, Sumatera Utara, Kalimantan Timur.
"Kalau kami bersama PKS dan mungkin PAN akan tetap bersama. Kita sudah panaskan mesin politik. Seruan #2019GantiPresiden tetap jalan," ujar Arief kepada VIVA, Kamis, 28 Juni 2018.
Baca: Deretan Jagoan PDIP yang Keok di Pilkada 2018
Bagi dia, hasil Pilkada 2018 menunjukkan kehancuran PDIP dengan deretan kekalahan pasangan calon yang diusung partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu. Kekalahan Ia melihat figur Jokowi tak layak dijual.
"Nah, justru kelihatannya poros koalisi parpol pengusung Jokowi bisa berubah. Perkiraan saya, Jokowi hanya diusung sama Nasdem, Hanura, PPP saja," tutur Arief.
Kolega Arif, sesama Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon mengatakan pasca-Pilkada 2018 yang pasti adalah merajut koalisi akan lebih intensif dan serius. Bagi dia, hingga sekarang barisan parpol seperti PKS dan PAN akan setia bersama Gerindra. Hal ini mengacu koalisi Gerindra-PKS-PAN di Pilgub Jatim dan Jateng.
"Mereka partai-partai yang belum menyatakan sikap dukungan pada pemerintah sekarang. Malah kecenderungannya bergabung bersama kita di luar pemerintahan. Jadi, prioritas Gerindra tetap dengan PKS, PAN, dan mungkin Demokrat yang belum nyatakan sikap," jelas Fadli Zon.
Foto: Prabowo saat mengkampanyekan pasangan Sudrajat-Syaikhu.
Fadli masih pede tak ada masalah dengan koalisi yang ingin melawan Jokowi di Pilpres 2019. Ia menekankan biar waktu yang akan menentukan. Dia yakin koalisi yang bersama Gerindra akan lebih mudah menentukan figur capres dan cawapres.
"Pak Prabowo relatif lebih mudah. Sementara mereka akan lebih sulit memilih cawapres. Karena kalau yang dipilih A, yang B mungkin tak terlalu senang. Yang C juga demikian yang lain-lain," sebut Fadli Zon.
Oposisi Melemah
Pengamat politik Rico Marbun menilai ada sisi lain kelemahan kubu oposisi dari Pilkada 2018. Kekalahan di sejumlah Pilgub terutama Jabar memperlihatkan kelemahan barisan oposisi. Meski secara resmi, belum ada keputusan KPU terkait Pilgub Jabar.
"Kita ambil contoh ada kesenjangan kekuatan kerja antara PKS, Gerindra plus kekuatan gerakan 212 di Jabar," ujar Rico.
Dia menganalisis justru faktor Prabowo Subianto dan seruan #2019GantiPresiden kuat mendongkrak suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Pilgub Jabar. Hal ini menjadi ironi karena Jabar terdapat Ahmad Heryawan yang notabene merupakan mantan Gubernur Jawa Barat dua periode.
"Kelemahan oposisi. Faktor Aher yang tidak s7ignifikan mengangkat suara Asyik bisa saja membuat Prabowo dan Gerindra berpikir ulang memilih kandidat PKS sebagai cawapres pada 2019 nanti," tutur Rico.
Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan hasil quick count Pilkada 2018 memperlihatkan bahwa Jokowi seperti 'di atas angin'. Namun, sekali lagi, politik cair dan tak bisa ditebak dengan hanya mengacu hasil Pilkada 2018.
"Akan sangat berpengaruh, tapi hasil Pilkada itu akan sulit menentukan kira-kira bagaimana peta koalisi yang terjadi," kata Hendri kepada VIVA, Kamis, 28 Juni 2018.
Hendri menekankan sisa waktu kurang dari lima pekan sebelum pendaftaran capres akan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk penjajakan koalisi. Ia memprediksi barisan oposisi seperti Gerindra-PKS yang mendukung Prabowo bisa saja kemungkinan bergabung dengan Demokrat besutan Susilo Bambang Yudhoyono.
Bagi dia, peluang ini karena SBY serta elite Demokrat kerap kritik pemerintahan Jokowi.
"Politik itu cair, enggak bisa ditebak. Prabowo yang hampir bisa mengimbangi Jokowi saat ini bisa saja gabung dengan SBY," sebutnya.