Muka Dua Facebook

Media sosial Facebook.
Sumber :
  • REUTERS/Dado Ruvic

VIVA – Facebook makin mendapat sorotan dalam skandal bocor data pengguna. Borok media sosial besutan Mark Zuckerberg itu makin terungkap. Ternyata, Facebook sudah tidak adil sejak dalam praktik perusahaan mereka. Orang dalam Facebook mengungkapkan, bagaimana bobroknya sistem keamanan data pengguna.

Mantan Manajer Operasi Facebook, Sandy Parakilas tak tahan memendam dan berdiam diri dengan aksi culas Facebook selama bertahun-tahun. Di depan publik, Facebook menegaskan menjaga data pribadi pengguna, padahal di dalam sistem perusahaan, mereka mengabaikan keamanan data pengguna. Facebook bermuka dua.

Parakilas yang meninggalkan Facebook pada 2012, karena frustasi sarannya kepada petinggi Facebook soal pengetatan data pengguna tak dihiraukan. Pria usai 38 tahun itu mengatakan, karena tak tahan, ia memutuskan hengkang dari Facebook. 

Setelah keluar dari Facebook, Parakilas sengaja diam dan menyimpan informasi kebobrokan internal Facebook dalam data pengguna.

Dia mengakui, memang tidak mengumbar borok Facebook di publik selama bertahun-tahun, karena kepentingan pribadi. 

Namun, sikapnya mengubur bobrok Facebook berubah, setelah dia mendengar kesaksian pengacara Facebook kepada Senat dan DPR Amerika Serikat pada akhir 2017, terkait intervensi Rusia dalam Pilpres AS melalui media sosial. 

Parakilas terhenyak dan setelah kesaksian itu, dia memutuskan mempublikasikan kekhawatirannya tentang borok Facebook di koran terkemuka AS, New York Times

"Facebook tidak bisa dipercaya untuk mengatur dirinya sendiri," tulis Parakilas dalam koran tersebut dikutip The Guardian. 

Semasa di Facebook, Parakilas menangani klien Cambridge Analytica. Dia mengungkapkan, pembocoran data pengguna di Facebook adalah aktivitas yang rutin. 

Parakilas mengungkapkan, borok Facebook lainnya. Menurutnya, media sosial raksasa itu dengan sengaja membuat syarat dan ketentuan Facebook diatur sedemikian rupa, agar tak dibaca dan tak dipahami pengguna.

Parahnya lagi, Parakilas mengungkapkan, Facebook sengaja tidak menegakkan hukum, misalnya dengan tak mau mengaudit pengembang eksternal. Langkah itu untuk memastikan tidak ada gugatan data pengguna. 

"Langkah pengawasan Facebook itu sangat menyakitkan. Karena, saya tahu pengembang bisa mencegah hal itu," jelasnya. 

Belum cukup itu saja, Parakilas mengungkapkan, begitu data pengguna tersimpan di server Facebook, pengembang luar Facebook tidak punya kendali apapun. 

Parakilas mengatakan, sejatinya dia sudah mengingatkan eksekutif Facebook atas bahaya data bocor, setelah melalui pengembang eksternal. Namun, eksekutif Facebook malah mengabaikannya dan meminta Parakilas tutup mulut, tidak usah sok pintar. 

"Apakah kami benar-benar ingin melihat apa yang kamu temukan?" ujar eksekutif yang tak disebutkan namanya itu.

Dari jawaban petinggi itu, Parakilas berkesimpulan Facebook sudah tahu akan terjadi masalah dan media sosial itu sengaja mengacuhkan, karena merasa punya posisi kuat jika digugat dalam penyalahgunaan data.  

Fakta lainnya, Parakilas mengatakan, Facebook ternyata tidak tegas. Penindakan kepada pengembang nakal tergolong 'sangat langka' dan 'santai'. Dia mengaku selama bekerja di Facebook, tidak melihat adanya audit tunggal dari sistem pengembang.

Selama berada di Facebook, Parakilas menuturkan, ternyata media sosial raksasa itu mendorong lebih banyak pengembang untuk membuat aplikasi. Untuk menarik minat pengembang, Facebook menawarkan akses data pengguna dan teman pengguna.

Belakangan, aplikasi dari pengembang subur di Facebook pada tahun-tahun jelang IPO Facebook pada 2012. Namun, anehnya kebijakan Facebook untuk mencari data teman dihentikan pertengahan 2014. Parakilas menuturkan, ada puluhan atau ratusan ribu pengembang yang melakukan pemanenan data teman pengguna. 

Facebook menolak berkomentar soal pengakuan Parakilas. Media sosial pemilik WhatsApp ini malah meminta The Guardian untuk melihat sikap resmi Facebook di blog perusahaan pada 2017. Pada sikap tersebut, Facebook merasa tidak ada yang salah dalam praktik berbagi data yang menjadi ‘meningkat signifikan’ selama lima tahun terakhir.

"Meskipun adil untuk mengkritik bagaimana kami menegakkan kebijakan pengembang kami lebih dari lima tahun yang lalu, tetapi salah menuding kami belum atau tidak peduli dengan privasi. Fakta-faktanya menceritakan cerita yang berbeda," tulis pernyataan Facebook.

Berikutnya, respons Indonesia>>>

***

Respons Indonesia

Borok baru dari Facebook sampai terdengar di Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan, pemerintah tetap akan menunggu proses audit Facebook dari otoritas Inggris, yang masih menyelidiki skandal penyalahgunaan data yang menyeret Facebook dan Cambridge Analytica. Hasil dari audit itu akan menjadi landasan sikap dari Kominfo terhadap Facebook.

"Ya, nanti kan proses menetapkan Facebook itu lalai atau ceroboh atau ignorance atau apa. Kita tunggu saja, kalau lalai kan sanksinya berbeda," ujarnya di Kantor Kominfo, Jakarta, Kamis 31 Mei 2018. 

Rudiantara juga tidak mau berandai-andai apa yang dibeberkan Parakilas benar terjadi. Ia bersikukuh untuk menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Inggris. 

"Tapi harus membuat kita alert, ada orang yang memberikan warning tapi di-ignore dan warning itu dalam bentuk apa. Kalau sebagai teman, beda. Tapi dia resmi, apalagi (orang) dalam Facebook menyampaikan tertulis atau apa. Berarti itu pengabaian," jelasnya.

 

Respons lainnya disampaikan Heru Sutadi, salah satu penggugat Facebook di Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dia mengatakan, sambil menunggu sidang di PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2018, Heru bersama penggugat lainnya, Kamilov Sagala, terus memantau perkembangan terbaru dari kasus Facebook, termasuk apa yang disampaikan Parakilas. 

"Kami terus memantau apa yang terjadi dengan Facebook, termasuk perkembangan di global," tegasnya. 

Heru mengatakan, pada awal Agustus, dia akan menggelar kumpul bareng dengan para pengguna Facebook di Jakarta. Tujuannya, untuk membahas langkah selanjutnya setelah pengajuan gugatan, serta memberikan dukungan selama menjalani persidangan. 

"Diharapkan, sekitar 25 persen dari 130 jutaan pengguna Facebook bisa hadir ke Jakarta, untuk kumpul bareng dan bersilaturahmi," ujar Heru. 

Menurutnya, kasus ini menjadi pelajaran bagi media sosial raksasa agar tak jemawa dan semena-mena dengan pengguna. Facebook harus belajar dari Indonesia, yakni berhati-hati dan meningkatkan keamanan dan dalam menjaga data pribadi pengguna, apalagi sampai menjual ke pihak lain. 

"Jangan menjual data pengguna pada pihak lain. Selektif lah memantau aplikasi yang bekerja sama dan hormati aturan yang ada di suatu negara seperti Indonesia," jelas Heru. 

Untuk menggalang dukungan dalam menggugat Facebook, Heru mengajak pengguna di Indonesia menyampaikan dukungan dengan mengisi formulir online pada tautan www.idicti.com/wp. 

Pengguna Facebook Indonesia yang ingin gabung menggugat platform besutan Mark Zuckerberg diminta mengisi dan mengirimkan formulir yang berisi nama, alamat e-mail, nomor telepon, dan fotokopi KTP.

Mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia itu mengatakan, dukungan terus mengalir. Heru mengatakan, per Kamis 31 Mei 2018, dukungan sudah menembus seribuan pengguna. 

Selanjutnya, riwayat gugatan>>>

***

Riwayat gugatan

Pada pekan pertama Mei 2018, Wakil kelompok yang direpresentasikan Kamilov Sagala dari Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) dan Heru Sutadi dari Indonesia ICT Institute (IDICTI), mengajukan class action kepada Facebook global, Facebook Indonesia, dan Cambridge Analytica, sebagai tergugat.

Penggugat di Indonesia menuntut ganti rugi kepada Facebook dan Cambridge Analytica kerugian materiil dan immateriil dampak dari bocornya data pengguna tersebut. 

Untuk kerugian materiil, penggugat menuntut Facebook dan Cambridge Analytica, membayar ganti rugi Rp21,93 miliar dengan rincian kerugian akses internet Rp20 ribu untuk tiap pengguna Facebook dikalikan 1,096 juta pengguna Facebook Indonesia.

Dalam gugatannya itu, penggugat menilai kerugian materiil berupa pengeluaran-pengeluaran yang timbul sejak munculnya berita kebocoran data-data pribadi milik masyarakat Indonesia pengguna Facebook. 

"Antara lain, biaya-biaya pulsa dan/atau data internet untuk mengakses, mengecek pengaturan (setting) aplikasi Facebook, mencari informasi berita-berita media online terkait kebocoran data pribadi pengguna Facebook," demikian gugatan class action dari tanah air tersebut. 

Penggugat juga meminta pengadilan menghukum tergugat membayar uang paksa sebesar Rp1 juta per hari dalam hal terlambat memenuhi isi putusan terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap (incracht). 

Penggugat juga ingin Facebook meminta maaf secara tertulis dan terbuka kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya pengguna Facebook Indonesia, selama tujuh hari berturut-turut di media massa nasional baik cetak maupun elektronik, sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap. 

Selain itu, penggugat meminta pengadilan memblokir atau melarang akses Facebook di Indonesia dan melarang kegiatan operasional Facebook Indonesia di gedung perkantoran Capital Place Lantai 49 Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. 

Dalam gugatannya, Facebook dan Cambridge Analytica dituding telah gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam ketentuan Permenkominfo Nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi, Pasal 15 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 

Dengan kegagalan menjaga data pengguna, penggugat menilai Facebook dan mitranya itu, konsekuensinya gagal memenuhi hak kenyamanan konsumen/pengguna sesuai ketentuan pasal 4 huruf a Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (asp)