Orangtua Butuh 'Vitamin' Tangkal Radikalisme Anak
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Aksi teror bom bunuh diri di Surabaya pada awal Mei lalu berbuntut pada perbincangan publik terkait isu radikalisme yang kian masif di Tanah Air. Tidak heran, sebab tragedi tersebut merupakan kejahatan kemanusiaan yang mengakibatkan tak sedikit korban luka dan tewas. Lebih parahnya lagi, pelaku teror mengikutsertakan keluarga, termasuk anak-anak di bawah umur sebagai ‘pengantin’.
Banyak publik yang mempertanyakan mengapa sedemikian tega orangtua bocah melibatkan anaknya pada aksi yang membahayakan nyawa. Hal tersebut lantas mengembangkan dugaan bahwa paham-paham radikal sudah mulai ditanamkan oleh orangtua-orangtua pada anak-anaknya yang tak berdosa.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan pun ikut disorot. Sejumlah kajian dan riset menemukan bahwa di sekolah terdapat aktivitas keagamaan dan kegiatan ekstrakurikuler lain yang disinyalir menjadi agen promosi nilai-nilai radikal, melalui sistem kaderisasi terhadap para siswa.
Seperti penelitian dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah terhadap generasi Z (kelahiran tahun 1996-2012), menemukan lebih dari sepertiga mereka setuju bahwa jihad adalah perang, terutama perang melawan non muslim. Sebanyak 1 dari 5 responden setuju bahwa bom bunuh diri adalah jihad Islam.
Sepertiga muslim generasi Z dalam responden itu setuju, muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) harus dibunuh. Hampir sepertiga mereka juga berpendapat bahwa perbuatan intoleran terhadap minoritas adalah tidak masalah.
Untuk memahami dan menghayati fenomena tersebut, yaitu pelibatan anak dalam aksi teror dan maraknya radikalisme di sekolah dan lembaga pendidikan, VIVA mewawancarai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Susanto, MA, pada Jumat, 18 Mei 2018 lalu. Berikut ini petikannya:
Bagaimana KPAI memandang fenomena anak-anak dilibatkan dalam aksi terorisme?
Pertama harus dilihat bahwa anak meskipun dilibatkan sebagai pelaku, sesungguhnya adalah sebagai korban. Karena tentu dalam banyak kasus kan tidak berdasarkan kesadaran mereka, tapi karena proses infiltrasi yang intensif sehingga yang bersangkutan rela melakukan tindakan itu.
Yang kedua, ini menurut kami kalau terkait kejahatan terorisme ini kan bukan hal baru, ya, sudah ada sejak lama. Tapi kalau dari sisi modus, ini merupakan fenomena baru. Perempuan dulu ada bom panci, itu dulu ada perempuan. Sedangkan bom perempuan membawa anak, ini baru terjadi di Jawa Timur.
Kami menduga ada beberapa hal kenapa perempuan dan anak dilibatkan dalam aksi teror. Satu, agar tidak mudah terdeteksi. Karena kalau yang bersangkutan menginfiltrasi dan berkomunikasi dengan pihak lain, itu akan mudah ketahuan. Apalagi melalui handphone.
Kedua, mereka itu kan punya cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita memandang terorisme itu sebagai sebuah kejahatan, tapi oleh mereka dianggap sebagai amaliah yang positif dan perjuangan suci. Jihad itu. Makanya orangtua (pelaku bom) menginginkan agar masuk surga itu jangan sendirian, tapi bisa bareng-bareng dengan keluarga.
Yang ketiga, kami melihat karena ini dianggap sebagai panggilan suci, maka mereka seolah ingin menyampaikan pada publik bahwa panggilan suci itu tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, lho. Tapi, ya, semua, baik laki-laki, perempuan, maupun anak. Dan menurut mereka, memenuhi panggilan suci lebih dini lebih baik. Asumsi mereka bisa mati syahid.
Maka dalam kajian-kajian deradikalisasi, sering kami menyampaikan bahwa akan lebih baik kalau perspektif hukum kita itu tidak menghukum mati bagi pelaku terorisme. Karena kalau menghukum mati, itu yang bersangkutan bisa saja berpikir tugas saya selesai, tugas suci saya berhasil.
Apakah sebelum ini KPAI sudah mensinyalir nilai-nilai radikalisme banyak dipromosikan pada anak-anak?
Ya, memang saat itu, KPAI sebenarnya sudah me-launch ke publik pintu infiltrasi radikalisme itu melalui pintu tenaga pendidik dan kependidikan. Yang kedua, infiltrasi melalui kelompok sebaya, yang seringkali dilakukan karena yang bersangkutan merasa sudah firm tentang paham radikalnya sehingga merasa penting menebarkan pada teman sebayanya.
Yang ketiga, pintu infiltrasi melalui pola pengasuhan. Nah, seperti yang terjadi di Jawa Timur itu. Di beberapa kajian kami sebenarnya sudah kami sampaikan di tahun 2017, bahwa pintu masuk pengasuhan itu cukup rentan. Dan itu jauh lebih berbahaya jika infiltrasi radikalisme itu dari keluarga, kelemahannya adalah sulit dideteksi dan tidak mudah dicegah, karena volume waktu anak lebih banyak ketemu ibu dan ayahnya.
Berarti KPAI sudah mendeteksi adanya bibit-bibit radikalisme sejak lama?
Iya, kami sebenarnya berdasarkan kajian KPAI bahwa potensi kerentanan infiltrasi dari keluarga itu ada, dan oleh karena itu semua stakeholder harus berhati-hati. Alhamdulillah pemerintah sebenarnya melalui direktorat pendidikan keluarga itu juga sudah meng-insert beberapa perspektif kontra radikalisme dalam materi-materi pendidikan keluarga, misalnya. Sebagai respons bahwa ini ada kerentanan, lho. Tetapi proses deteksi ini harus dilakukan oleh beberapa pihak. Karena KPAI juga tidak memiliki kekuatan untuk mendeteksi keluarga ke keluarga.
Terkait anak-anak yang dilibatkan dalam aksi radikalisme, apakah Anda memandang ini seperti fenomena gunung es?
Ya, radikalisme yang terjadi trennya saat ini memang terus bergeser, ya. Contohnya, di lingkungan perguruan tinggi. Tren mahasiswa, berdasarkan sejumlah riset, anak yang diduga masuk kelompok NII (Negara Islam Indonesia), misalnya, itu justru lebih banyak dari perguruan tinggi umum, dibanding dengan mahasiswa dari Fakultas Dakwah, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ushuludin. Kenapa begitu? Ya, jangan-jangan anak-anak yang lulusan SMK dan SMA itu memang dalam kajian dan riset kami memang relatif rentan untuk diinjeksi.
Bagaimana seharusnya orangtua untuk membentengi anak dari radikalisme yang semakin masif?
Satu, tidak boleh takut. Itu penting. Tidak boleh cemas. Kita harus punya kekuatan batin dan tenaga untuk melawan segala bentuk radikalisme dan terorisme.
Kedua, harus waspada. Melakukan banyak antisipasi, agar anak-anak kita tidak terpapar konten-konten radikal. Karena orangtua itu kan penjaga utama bagi anak-anaknya. Jangan sampai orangtua yang seharusnya jadi penjaga utama, kemudian justru menjadi pelaku infiltrasi (radikalisme).
Maka memang butuh injeksi-injeksi baru dan vitamin-vitamin baru nih bagi orangtua. Parenting skill yang menjadi program pemerintah, dan juga stakeholder bahkan juga kelompok-kelompok sosial itu, hemat kami tidak hanya bermuatan konten pengasuhan dalam arti keterampilan, teknis, dan sebagainya. Tapi juga punya muatan konter radikalisme itu.
Dengan begitu maka pertahanan keluarga kita semakin kuat. Ketahanan keluarga itu satu pondasi untuk mewujudkan Indonesia yang beradab, yang berkualitas, yang berbudaya, dan sebagainya.
Caranya bagaimana?
Strategi jangka panjangnya di antaranya adalah memastikan seluruh calon pengantin, kemudian pasangan muda, pasangan tua, dan kakek nenek itu juga mendapatkan pendidikan pengasuhan positif termasuk di dalamnya ada muatan konter radikalisme. Itu hemat kami sangat fundamental.
Kedua, tenaga pengasuh juga penting. Hati-hati, lho. Jangan melihat bahwa dia aman. Punya kerentanan juga menjadi pintu masuk. Contoh misalnya, ayah ibunya bekerja. Pergi pagi pulang malam, proses pengasuhan dilakukan oleh tenaga pengasuh. Infiltrasi juga sangat rentan dilakukan tenaga pengasuh, jika kita tidak memastikan ia steril.
Maka hemat kami, pemerintah daerah juga perlu melakukan dan mengembangkan inovasi-inovasi pemberdayaan keluarga. Tidak hanya pemberdayaan keluarga dalam arti ekonomis saja, tetapi pemberdayaan keluarga dalam arti pendidikannya. Pendidikan pengasuhan yang positif, pendidikan konter radikalisme, termasuk juga jika perlu akan lebih baik jika ada sertifikasi tenaga pengasuh.
PKK itu jangan hanya dididik bagaimana masak yang enak, tapi juga dididik terlibat aktif seputar pendidikan parenting, termasuk counter radikalisme, dan lain-lain. Karena organisasi-organisasi kita kan ada banyak. Seperti PKK, PGRI, RT-RW. Jadi kalau perlu, terutama di daerah rentan radikalisme itu, ya ibu-ibu itu dididik lah, bagaimana mengcounter radikalisme dan pengasuhan positif.
Ada survei yang menemukan anak-anak sekolah dan mahasiswa cenderung permisif pada radikalisme, apa tanggapan Anda?
Ya, begini. Hmmm.. Tentu hasil survei ini harus menjadi input bagi pendidik, bagi dinas pendidikan, bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekaligus juga orangtua. Kalau ini hasil survei ternyata merepresentasikan fakta yang sesungguhnya, maka kita dalam posisi harus siaga. Dalam arti kita semua harus memastikan menyatukan gerakan, menyatukan energi kita, untuk bersatu padu, mengcounter potensi-potensi yang seperti itu.
Misalnya ada anak yang tak mau hormat bendera, menolak sistem negara, ada anak yang membenci aparat negara dengan tanpa alasan, menginginkan satu sistem negara yang diyakininya. Kalau ada tanda-tanda seperti itu, hemat kami jangan dibiarkan. Sekolah harus melakukan intervensi dan rehab terhadap yang bersangkutan. Ini sangat berbahaya. Kalau sekolahnya tidak mampu, harus bekerja sama dengan dinas pendidikan. Kalau tidak dicegah sejak awal, ini akan jadi bibit-bibit baru yang menimbulkan masalah bagi bangsa kita.
Apa yang harus dilakukan orangtua jika anak sudah terjangkit radikalisme?
Ini menarik. Saya justru bertanya balik, orangtuanya ini sudah terinfiltrasi radikalisme atau belum?
Dengan asumsi orangtuanya tidak atau belum terinfiltrasi radikalisme?
Nah, kalau orangtuanya diasumsikan belum terinfiltrasi radikalisme, maka hemat kami, dalami dulu anaknya. Katakanlah ia menjadi paham (radikalisme), atau jangan-jangan ini perbincangan dengan temannya. “Ma, kemarin kata teman hormat bendera itu enggak boleh?” Ini kan baru pertanyaan anak, nih. “Katanya sistem negara kita enggak tepat, ya, Ma? Benar enggak Ma?” Nah, ini tanda-tanda. Berarti ada sesuatu. Sehingga penting dilakukan yaitu menelusuri dari siapa? Katakanlah dari temannya, temannya siapa?
Keterlibatan guru penting. Kalau ternyata terjadi di sekolah, disampaikan pada guru bahwa teman anak memberi informasi pada anaknya seperti ini. Hemat kami ini khawatir akan jadi virus bagi teman-temannya yang lain. Selanjutnya, tentu kalau ternyata sudah dipastikan terinfiltrasi radikalisme ya harus direhab.
Rehabilitasinya itu seperti apa?
Nah, pola-pola rehabilitasi radikalisme itu memang harus komprehensif ya. Melalui dengan psikolog yang tidak hanya ahli psikologi biasa, tapi juga ahli psikologi agama. Sayangnya, kita ini kan memang belum punya banyak tenaga yang kompeten di bidang counter radikalisme. Tapi kalau di UIN dalam sejumlah fakultas kan sudah ada fakultas psikologi. Satu sisi sentuhan keagamaannya dapat, tapi di balik keterampilan mendeteksi teknik psikologinya ada. Saya kira tidak semua psikolog bisa mendeteksi.