Menangkal Radikalisme Anak
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA – Tragedi teror bom yang belum lama ini terjadi di Surabaya, Sidoarjo, dan Riau, meninggalkan luka, amarah, sekaligus tanda tanya. Mengapa pelaku bom bunuh diri itu mengatasnamakan agama? Sudah sedemikian masifkah wajah radikalisme di Tanah Air?
Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, wajar bila kita marah sekaligus miris melihat kenyataan aksi bom bunuh diri yang dilakukan secara beruntun. Bermula di hari Minggu pagi, 13 Mei 2018, tiga gereja di Surabaya menjadi sasaran pelaku bom bunuh diri, yang diduga satu keluarga, terdiri dari pasangan suami istri, dan empat orang anak. Korban tewas dan luka-luka mencapai puluhan orang.
Tiga gereja tak cukup, ledakan bom kembali terjadi di rusunawa Sidoarjo. Kali ini dilakukan oknum lain. Karena pelaku bom bunuh diri di tiga gereja sebelumnya, ikut tercatat dalam daftar korban meninggal.
Saat luka batin masih basah, keesokan harinya, Senin, 14 Mei 2018, publik kembali terhenyak. Mapolrestabes Surabaya menjadi sasaran bom bunuh diri. Hampir sama dengan pelaku di tiga gereja, oknum pembawa bom juga disinyalir satu keluarga, yaitu pasangan suami istri, dan tiga orang anaknya. Nyawa satu anak berinisial AAP (8 tahun) tertolong, lainnya meninggal sebagai korban ledakan bom.
Seolah tak puas bermain letusan bunga api mematikan, Rabu, 16 Mei 2018, giliran Mapolda Riau diserang. Hingga kini, terorisme dan radikalisme menjadi perbincangan hangat publik. Seolah mengingatkan kita semua, soal eksistensi gerakan dan paham radikal yang masih subur di Tanah Air.
Apakah gerakan radikal itu? Merujuk pada penjelasan Dr. Arie Sujito, S.Sos, M.Si, Ketua Departemen Sosiologi Universitas Gajah Mada dari sebuah sumber, secara umum fenomena radikalisme atau fundamentalisme yang bertumpu pada nilai atau aliran kelompok tertentu itu merupakan gerakan yang berupaya menyeragamkan suatu pandangan atau suatu keyakinan secara drastis, dengan cara-cara yang subyektif menurut kelompok tersebut.
“Gerakan ini cenderung mengabaikan aliran atau keyakinan lain dan membenarkan segala cara untuk memaksakan aliran atau keyakinannya sendiri,” ujar Arie. Menurutnya, gerakan radikalisme tidak selalu berbasis agama, tapi juga etnik, kepentingan ideologi, atau gaya hidup tertentu.
Pernyataan senada diungkapkan Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, psikolog anak dan keluarga, serta aktivis toleransi lintas agama. “Ketika orang mengalami proses radikalisasi, nilai-nilai dalam hidupnya berubah. Nilai-nilai ini salah satunya dengan membolehkan melakukan kekerasan, demi tujuan yang ingin dicapai,” kata Alissa dalam sambungan telepon kepada VIVA, Kamis, 17 Mei 2018.
Ia menegaskan, mekanisme penerimaan seseorang terhadap nilai-nilai radikal memerlukan proses pengendapan dalam otak, bukan terjadi dengan serta merta. “Tidak segampang orang nyuruh matiin lampu, tapi ada proses inkubasi nilai-nilai yang sangat kuat,” ujar Alissa menambahkan.
Aksi terorisme memiliki sifat yang merusak, bertujuan menimbulkan ketakutan, serta mengubah tatanan yang ada. Demikian halnya dengan radikalisme. Namun, perlu digarisbawahi tidak semua radikalisme menghasilkan terorisme, tapi terorisme dapat berawal dari radikalisme. “Apakah setiap orang yang mengalami radikalisasi pasti menjadi teroris? Tidak. Tapi seorang teroris pasti berawal dari radikalisasi,” kata Alissa.
Sederet aksi teror yang terjadi di Tanah Air, termasuk di antaranya bom bunuh diri, kerap mengatasnamakan agama Islam. Padahal menurut Alissa, sejarah mencatat penggalan cerita bahwa agama dan ideologi apa pun bisa dijadikan alat untuk melancarkan teror. “Terorisme itu tidak melekat pada satu agama tertentu. Semua agama dan semua ideologi bisa dipakai oleh teroris. Misalnya, Stalin pakai komunisme, Nazi dengan ideologi superioritas ras. Dulu juga pernah agama Shikh digunakan untuk teror meledakkan pesawat,” ujarnya.
Ia juga menuturkan bahwa agama dijadikan landasan menyebarkan teror karena dianggap dapat melekat sangat erat pada identitas diri seseorang. Dengan melakukan suatu tindakan atas nama Tuhan, pelaku bisa dengan mudah mengkalim bahwa perbuatannya mulia. Apalagi dengan unsur-unsur doktrin yang mengakar kuat, sebagai implementasi penanaman nilai-nilai radikalisme yang berkesinambungan.
“Ndilalah teroris di Indonesia mengatasnamakan Islam. Kenapa? Karena Indonesia mayoritas penduduknya Islam. Makanya dia bisa berkembang,” kata Alissa.