Misi Pasukan Elite Basmi Teror

Ilustrasi prajurit Kopassus.
Sumber :
  • REUTERS

VIVA – Rentetan aksi teror yang berawal dari kasus Mako Brimob disinyalir membangkitkan sel-sel mati jaringan teroris. Pada Minggu pagi, 13 Mei 2018, aksi teror itu dimulai. Bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.

Ulah kelompok terduga teroris itu berlanjut di rusunawa Sidoarjo. Aksi meledakkan diri di depan Markas Polrestabes Surabaya pun terjadi sehari setelah tragedi bom gereja.

Pada Rabu pagi, 16 Mei 2018, kelompok terduga teroris kembali berulah. Kali ini lokasinya di Riau, tepatnya di markas Polda Riau.

Berbeda di Surabaya, para terduga teroris ini beraksi dengan menabrakkan mobil ke gerbang dan mengacungkan senjata tajam ke petugas. Pelaku juga menggunakan rompi yang diduga bom bunuh diri. Korban dalam kejadian ini melibatkan sipil dan juga anggota kepolisian.

Melihat aksi yang cukup brutal tersebut, pemerintah akhirnya mengambil langkah tegas. Untuk menjaga keamanan negara, penanganan terorisme pun akhirnya melibatkan pasukan elite dari tiga matra Tentara Nasional Indonesia. Pasukan tersebut tergabung dalam Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab).

Koopssusgab adalah tim antiteror gabungan yakni dari Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI AD, Detasemen Jalamangkara punya TNI AL, dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI AU.

Pasukan elite antiteror ini, dibentuk saat Jenderal (Purn) Moeldoko masih menjadi panglima TNI. Beberapa peralatan yang sempat dipamerkan seperti helikopter Bell 412, MI-35, SA-330 Puma, serta pesawat SA-330 Puma.

Kepala Staf Presiden, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah merestui dihidupkannya kembali Koopssusgab dan sudah diresmikan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

Komando ini aktif kembali, dan dinilai diperlukan, karena keadaan terorisme. Koopssusgab saat ini pun langsung siap untuk diterjunkan ke beberapa lokasi yang dianggap dibutuhkan.

Namun, pengaktifan kembali tim tersebut mendapat reaksi keras dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Anggota Panitia Khusus Revisi UU Anti Terorisme Arsul Sani meminta rencana itu ditunda sampai revisi UU ini disahkan di DPR.

"Soal pembentukan Koopssusgab tersebut sebaiknya dibicarakan setelah revisi UU Anti Terorisme disetujui," kata Arsul lewat keterangan tertulisnya, Kamis 17 Mei 2018.

Arsul menjelaskan, dalam revisi UU itu akan mengakomodir peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam memberantas aksi terorisme. Hal itu juga seperti ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. "Dengan ketentuan dan mekanisme yang harus dituangkan dalam sebuah perpres," ujar Arsul.

Menurut Arsul, di perpres inilah kemudian bisa saja Presiden memilih untuk membentuk semacam Koopssusgab itu. Perpres itu juga katanya berdasarkan konsultasi dengan DPR.

"Perpres ini disusun dengan konsultasi dengan DPR sebagai sebuah keputusan politik negara yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme berdasarkan kebutuhan situasional," katanya.

Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi I DPR, Hidayat Nur Wahid. Menurutnya, pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan harus memiliki payung hukum yang cukup. Upaya itu agar wewenangnya tak berlebihan.

"Segala upaya memberantas terorisme kami dukung ya, tapi tentu harus mempergunakan payung hukum yang cukup, supaya tidak menghadirkan kesimpangsiuran dan atau penggunaan wewenang yang berlebihan," kata Hidayat di gedung DPR, Jakarta, Kamis 17 Mei 2018.

Adapun soal keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sebenarnya sudah diatur dalam UU Pertahanan dengan prinsip Bantuan Kendali Operasi (BKO). Kalau polisi butuh bantuan TNI bisa dimintakan secara legal.

"Kalau memang itu bagian dari payung hukumnya benar dan legal, ya silakan saja. Tapi kalau itu belum ada payung hukum, sebaiknya diselesaikan dari sisi payung hukum supaya tidak menghadirkan permasalahan seperti pelanggaran HAM," kata Hidayat

***

Sudah Libatkan Kopassus


Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengaku sudah melibatkan anggota Kopassus dalam mempercepat penangkapan sel teroris. Dalam hal ini, Tito mengaku sudah menghubungi panglima TNI.

Menurutnya, penangkapan jaringan teroris Surabaya harus segera dilakukan, karena bila aparat lengah, mereka bisa segera menghilang dan sangat mungkin melakukan serangan balik. "Jangan dikasih napas, harus terus dilakukan pengejaran dan penangkapan. Jadi, jangan sampai terjadi lagi di tempat lain," kata Tito.

Menurut Tito, jaringan teroris ini sangat lihai melarikan diri. Hal itu telah terbukti dari berbagai dokumen yang disita oleh polisi, saat melakukan penangkapan.

Mereka menemukan adanya buku manual bagi teroris untuk menghindar dari pantauan aparat. "Kami kayak kucing-kucingan sama teroris," ucapnya.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto menambahkan, dalam penangkapan terduga teroris di beberapa tempat, tim Densus 88 antiteror sudah bekerja sama dengan Kopassus.

"Sudah (koordinasi dengan instansi lain). Kopassus sudah ikut masuk. Pak Kapolri sudah sampaikan. Sudah bekerja sama dengan Brimob di lapangan untuk penggerebekan dan penangkapan," kata Setyo.

Selain itu, pengamanan dengan menggandeng Kopassus sudah dilakukan untuk mengamankan objek-objek vital lainnya. "Kalau itu sudah protap (prosedur tetap)," katanya.

***

Tiru Amerika

Keberadaan Koopssusgab itu mirip Joint  Special Operations Command (JSOC) atau Komando Operasi Khusus Gabungan, yang merupakan komando subunifikasi dari United States Operations Command (USSOCOM) atau Komando Operasi Khusus AS.

Tugas JSOC mempelajari persyaratan dan teknik operasi khusus, serta memastikan interoperabilitas dan standardisasi peralatan. Selain itu, merencanakan serta melakukan latihan operasi khusus dan pelatihan. Pasukan itu juga mengembangkan taktik operasi khusus bersama.

JSOC memiliki bidang operasi khusus yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Marinir, dan sipil, yang disaring secara ketat. Personelnya merupakan pria dan wanita yang memiliki keterampilan unik dan khusus, serta yang terbaik di bidangnya.

Beberapa pertempuran yang menerjunkan personel JSOC antara lain Desert One di Iran (1980), Grenada (1983), Laut Mediterania selama pembajakan Achille Lauro (1985), Panama (1989), Timur Tengah selama Perang Teluk (1991), Somalia (1993), Haiti (1994), Balkan (1996-2002), Afghanistan (2001-sekarang), dan Irak (2003-sekarang).

JSOC telah menghabiskan 14 tahun terakhir untuk melancarkan perang rahasia. Meski demikian, ada beberapa bagian yang digariskan dalam dokumen rahasia, yang tidak disensor.

Beberapa 'operator' JSOC membawa senapan HK-416, granat fragmentasi, dan granat flash-blink yang tidak mematikan. Terkadang ada granat yang sangat mematikan yang disebut Hellhounds, yang dirancang untuk membunuh semua orang di dalam ruangan, bunker, atau gua dengan cepat.

Salah satu peran utama dari personel JSOC adalah sebagai unit misi pengintaian yang mendalam, unit khusus pengumpulan intelijen, untuk mendukung DEVGRU atau Seal Team Six dan Delta Force.

Sementara itu, Delta Force dan DEVGRU adalah unit kontra terorisme utama militer, menghilangkan target bernilai tinggi dan melakukan penyelamatan sandera adalah peran utama mereka, bersama dengan pengintaian khusus dan penugasan aksi langsung.

Sebagai bagian dari perang melawan terorisme, JSOC melakukan banyak operasi di seluruh dunia terutama negara-negara gagal dalam upaya untuk menghentikan jihadis mendapatkan tempat berlindung yang aman. Operasi ini dilakukan di bawah wewenang dua perintah eksekutif.

Pertama, memungkinkan JSOC beroperasi di lebih dari selusin negara, dengan AS saat ini tidak sedang berperang di Lebanon, Libya, Mali, Nigeria, Peru, dan Somalia.

Kedua, memberikan izin JSOC melakukan operasi pasukan, pengintaian dan intelijen di negara-negara yang mungkin membutuhkan kehadiran militer AS.

Awas Langgar HAM

Koordinator KontraS, Yati Andriyani, khawatir dengan cara pemerintah yang sangat reaktif, apalagi dengan membangun kembali Koopssusgab. Meskipun, komando itu diklaim akan mempersulit penyebaran paham radikal yang menjadi akar terorisme.

"Kami khawatir ini bisa melemahkan langkah-langkah deradikalisasi terhadap benih ekstremisme yang bisa jadi akan memperbesar polarisasi di masyarakat," katanya.

Atas dasar itu, KontraS berpendapat bahwa pemberantasan terorisme harus dilakukan dengan cara yang bermartabat.

"Jangan mencari solusi yang instan dan mendelegitimasi HAM (hak asasi manusia) atau jangan sampai HAM dijadikan kambing hitam. Kami tak ingin pernyataan ini direproduksi terus-menerus dan negara ini kembali ke jalan pintas yang menimbulkan lagi pelanggaran HAM," kata dia.

Apalagi, kata dia, konstitusi secara jelas telah memasukkan HAM ke dalamnya. "Prinsip-prinsip HAM telah diadopsi dalam pasal-pasal konstitusi kita," lanjutnya.

Yati mengingatkan pemerintah dalam melakukan penindakan terhadap teroris agar tidak membabi buta. Hak asasi manusia disebut KontraS harus tetap dipegang dalam upaya penegakan hukum dan demokrasi.

"Sehingga menyalahkan HAM dalam penanganan terorisme adalah pandangan yang reaktif, tidak proporsional dan tidak memiliki justifikasi,” kata dia.