Teror Hoax di Media Sosial

Ilustrasi media sosial.
Sumber :
  • REUTERS/Dado Ruvic

VIVA – Duka kembali melanda Ibu Pertiwi. Kali ini, serangan tak berperikemanusiaan melanda Kota Pahlawan, Surabaya, Minggu pagi, 13 Mei 2018.

Ledakan pertama terjadi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel pukul 06.30 WIB. Kemudian, bom meledak di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro pukul 07.15 WIB, dan disusul Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno pukul 07.53 WIB.

Tak ayal, insiden ledakan bom ini membuat para jemaat yang saat itu baru berdatangan untuk melakukan perayaan Misa, serentak menjadi panik dan lari berhamburan.

Lalu, terjadi ledakan lagi di Rumah Susun Sewa Wonocolo di Sidoarjo pada hari dan tanggal yang sama. Terakhir, Mapolrestabes Surabaya menjadi korban aksi teror bom pada Senin, 14 Mei 2018.

Masyarakat pun ikut memantau hingga mengomentari tragedi nasional tersebut di masing-masing media sosial mereka. Namun, tidak jarang pula banyak yang berusaha menjadi penyebar informasi, entah informasi yang sifatnya positif maupun negatif atau hoax.

Informasi hoax ini jelas sangat berbahaya, karena orang-orang yang pemahamannya masih awam dan pikirannya sempit pasti dapat mudah terprovokasi lewat konten-konten radikal. Kondisi itu yang kemudian memunculkan istilah teroris media sosial. Jelas sekali, tebaran hoax bom di media sosial membuat harap-harap cemas masyarakat.

Woro-woro di media sosial pun bergema dengan tagar #lawanteroris #kamitidaktakut #bersatulawanteroris dan #janganshare.

Terhambat Mekanisme

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan, masyarakat dapat intens ikut mengatasi konten-konten negatif dengan mengawasi platform agar tidak ada informasi salah yang tersebar.

Selain mengawasi, Semmy sapaan akrabnya, menegaskan bila mulai Senin kemarin, Kominfo membuka channel pengaduan lewat Twitter @aduankonten agar masyarakat punya banyak pilihan melaporkan konten negatif.

"Ke depannya akan dibuka di platform Facebook," kata Semmy kepada VIVA.

Namun demikian, ia mengaku, untuk menutup akun-akun penyebar ujaran kebencian ataupun konten negatif lainnya, pemerintah belum bisa langsung melakukannya.

Sebab, ada mekanisme yang harus dijalankan sebelum akhirnya sebuah akun ditutup total, yaitu mengirim surat ke platform terkait dengan disertai data dan bukti.

"Kami harus mengirim surat. Pelanggaran apa, ya, ini buktinya. Mereka harus tutup. Kalau enggak tutup kami harus mengajukan sanksi. Tapi, waktu mengajukannya pun kami enggak bisa sembarangan. Harus ada pelanggaran hukum," paparnya.

Semmy menambahkan, Kominfo terus memberikan edukasi tentang informasi-informasi hoax. Menurutnya, belum tentu yang menyebarkan informasi salah ataupun tidak pantas itu paham tentang kebenaran informasi tersebut.

"Jangan sampai teroris meraih kemenangan dengan menyebarkan secara sporadis lewat konten negatif. Paling buruknya adalah platform dijadikan tempat membangun jaringan baru bagi teroris itu sendiri," tutur Semmy.

Antara Benar dan Hoax

Tak hanya itu, VIVA juga menemukan tujuh pesan beredar yang cukup meresahkan di WhatsApp pascaledakan bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur. Berikut kami kumpulkan ketujuh isu yang beredar, baik yang benar maupun hoax.

1. Bom di Halaman Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur (Fakta)

Aksi teror kembali menyerang dengan menyasar Markas Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin, 14 Mei 2018. Dari rekaman video CCTV yang beredar, pelaku menggunakan motor seraya membonceng seorang perempuan. Keduanya meninggal bersamaan dengan bom yang meledak di lokasi.

2. Bom di Gereja Paroki Santa Anna, Duren Sawit, Jakarta Timur (Hoax)

Setelah melakukan pengecekan di Gereja Santa Anna, Duren Sawit, Jakarta Timur, polisi memastikan kabar ancaman bom di tempat itu tidak terbukti. Karena itu, masyarakat diminta tidak menyebarkan berita bohong atau hoax.

"Itu hoax. Saya sudah ke lokasi, sudah cek, sudah disisir. Itu berita hoax. Tidak ada benda mencurigakan," kata Kapolres Metro Jakarta Timur, Komisaris Besar Yoyon Tony Surya Putra.

3. Bom di Bandara A. Yani, Semarang, Jawa Tengah (Hoax)

Corporate Secretary Angkasa Pura I, Israwadi mengatakan jika barang yang diduga bom di Bandara Ahmad Yani, Semarang ternyata suku cadang eskavator milik seorang penumpang.

Namun begitu, penjagaan di bandara tetap diperketat dan personel keamanan serta patroli pun ditambah.

4. Bom di Satpas Colombo, Tanjung Perak, Surabaya (Hoax)

Berita hoax soal bom di kantor Satlantas Surabaya, atau tempat pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) Satpas Colombo, Surabaya, Jawa Timur, sudah menyebar di dunia maya.

Informasi bohong ini telah dibantah tegas oleh Kanit Regident Polrestabes Surabaya, AKP Sigit Indra. Ia memastikan seluruh pelayanan SIM berjalan dengan normal. "Informasi itu tidak benar, alias hoax," katanya.

5. Penangkapan Teroris di Urangagung, Sidoarjo, Jawa Timur (Fakta)

Lima orang terduga teroris di Perumahan Puri Maharani, Sukodono dan juga di Desa Urangagung, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dikabarkan berhasil ditangkap. Mereka terciduk pada Senin, 14 Mei 2018.

"Iya benar informasinya seperti itu (soal penangkapan lima teroris di Sidoarjo)," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto di Kantor Divisi Humas Polri.

6. Bom Meledak di Bank Prima, Surabaya (Hoax)

Kabid Humas Polda Jawa Timur Komisaris Besar Fans Barung Mangera mengatakan adanya isu terorisme di sejumlah tempat. Namun, ia tidak pernah mengeluarkan pernyataan terkait dengan bom di Bank Prima Surabaya.

Bahkan, berita terkait dengan aksi bom di lokasi tersebut tidak ada dalam mesin pencarian di dunia maya. Frans memastikan jika semua informasi yang tidak keluar dari mulutnya adalah hoax.

7. Pesan Berantai BIN dan Densus 88 Antiteror agar Hindari Mal (Hoax)

Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan soal info untuk menghubungi Densus 88 Antiteror dan soal hindari berkunjung ke sejumlah lokasi perbelanjaan di kawasan Jakarta adalah tak benar.

Soroti Peran Orangtua

Semuel Abrijani Pangerapan menambahkan, perubahan zaman dari manual ke digital semakin memudahkan masyarakat mengakses internet.

Hal ini juga harus dibarengi dengan edukasi soal dunia internet yang merata ke semua lapisan masyarakat. Menurutnya, blokir juga seharusnya menjadi peringatan bagi pemilik akun di media sosial.

"Mereka yang diblokir harusnya mikir, ada yang salah dari perilaku mereka saat berselancar di dunia maya. Masih untung diblokir, bukan ditangkap. Kalau sudah diblokir artinya melanggar hukum. Enggak mungkin enggak," tutur Semmy.

Ia juga mengingatkan, bagi semua pengguna akun media sosial supaya membiasakan diri membaca seluruh informasi yang masuk atau diterima, jangan hanya dibaca judulnya.

Sebab, banyak ditemukan antara judul dan isi informasi berbeda. Selain itu, membaca tanggal informasi yang dibuat, karena bisa saja bukan informasi yang baru.

"Pakai akal sehat. Saya kalau mau melihat informasi, ya, dari media massa mainstream. Itu jauh lebih terpercaya. Isu besar juga akan diangkat apabila ada fakta pendukung. Enggak berani mengutip sesuatu tanpa fakta," tegasnya.

Pada kesempatan terpisah, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau Mafindo menyoroti penyebaran berita palsu atau hoax di kalangan aplikasi chatting datang dari orangtua.

Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, menyebut akan sulit memberitahu para orangtua untuk menghentikan penyebaran berita tidak jelas ke anak-anak mereka.

"Misalnya, kita sebagai anak ngasih tau orangtua, ya, enggak bisa. Yang namanya anak ngasih tau orangtua itu sulit sekali. 'Kamu siapa, kamu saya yang didik,’" kata Septiaji, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, untuk memberitahu orangtua tentang berita hoax butuh pendekatan yang out of the box. Ia mencontohkan, pemberitahuannya bisa lewat orang-orang dewasa yang dipercaya atau tokoh masyarakat dengan kredibilitas tinggi.

Artinya, anak secara sengaja untuk menasihati orangtua lewat mulut orang lain. Kesulitan untuk memberitahu atau mengubah pola pikir orangtua ataupun orang lain karena sebuah informasi yang salah itu akibat era digital yang kehidupannya menginginkan homogen, kesamaan pola pikir.

"Ketika orang ada di suatu echochamber. Ketika berada di satu grup WhatsApp di situ homogen. Wah, ini sangat rentan sekali untuk penyebaran berita enggak jelas. Dan, itu hanya bisa dilawan dengan perimbangan informasi untuk kelompok ini," paparnya.