Darurat Terorisme

Korban bom bunuh diri di gereja Surabaya.
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA – Dalam waktu kurang dari dua hari terakhir, Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, jadi sorotan dengan insiden rentetan bom bunuh diri. 25 Orang termasuk pelaku tewas akibat rentetan aksi teror ini.

Dari dua wilayah itu, Surabaya yang paling menyita perhatian karena teror bom terjadi di tiga gereja dan markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes). Tiga gereja disasar bom dalam rentan waktu kurang dari dua jam pada Minggu pagi, 13 Mei 2018. Esok paginya, giliran Mapolrestabes Surabaya yang diincar pelaku.

Aksi rentetan bom di Surabaya ini memiliki kesamaan dari pelaku. Pihak polisi menegaskan pelaku terdiri satu keluarga termasuk istri serta anak-anaknya yang masih di bawah umur.

Untuk pelaku teror bom tiga gereja Surabaya diduga masih jaringan Jamaah Anshar Daulah (JAD) yang beralifiasi dengan kelompok radikal Islamic State in Iraq and Syria (ISIS)

"Kami sudah mengetahui pelakunya. Kami sudah mengidentifikasi kelompoknya yaitu JAD," kata Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian di Markas Polda Jawa Timur, Senin, 14 Mei 2018.

Tito mengatakan fenomena bom bunuh diri dengan menggunakan perempuan bukan kali pertama. Menurut dia, ancaman teror bom dengan pelaku perempuan pernah terjadi pada 11 Desember 2016.

Ketika itu, pelaku bernama Dian Yulia Novi yang sedang dalam kondisi hamil berencana menyerang Istana Negara, namun gagal. Pengadilan kemudian memvonis Dian Novi 7,5 tahun penjara. Novi pun melahirkan dalam Rumah Tahanan Markas Komando Brimob.

"Polri berhasil menghentikan bom bunuh diri oleh saudari Novi di Jakarta. Novi ditangkap dalam keadaan hamil kemudian dibawa ke Rutan Mako Brimob," ujar Tito yang juga mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri tersebut.

Baca: Ledakan Bom Terjadi di Gereja Surabaya

Pelaku teror perempuan juga sudah banyak terjadi di luar negeri. Dijelaskan Tito, serangan bunuh diri oleh perempuan pernah terjadi Irak, India, dan Suriah. Namun, diakuinya ada hal baru dalam teror bom di Indonesia. Cara ini menurutnya sudah dipraktikkan dalam teror ISIS di Suriah.

"Fenomena menggunakan anak-anak baru pertama kali di Indonesia usia 9 dan 12 tahun. Bomnya di pinggang," jelas Tito.

Pola Baru Teroris

Pengamat terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menganalisis cara menggunakan keluarga dinilai lebih efisien dalam mengeksekusi teror bom. Ia mengacu efisiensi ledakan di tiga gereja di Surabaya dengan melibatkan istri dan anak-anak dari Dita Oeprianto.

"Ini yang pertama berhasil dari pelaku perempuan. Libatkan anak-anak pula. Menurut saya efisien. Buktinya itu tiga gereja dengan bom bunuh diri," kata Khairul saat dihubungi VIVA, Senin, 14 Mei 2018.

Menurut Khairul, pola melibatkan anak-anak dalam aksi teror menjadi strategi baru pelaku di Indonesia. Meski dari penelitiannya, beberapa negara sudah ada yang menggunakan anak kecil sebagai alat teror. Dengan anak-anak di bawah umur akan meredam kecurigaan sehingga akan lebih humanis.

"Ya, mungkin lebih humanis, tak diduga, siapa sangka kan. Ibu dan anak taruh bom di pinggang misalnya," ujar Khairul.

Baca: Polisi: Ledakan Bom di Tiga Gereja Surabaya

Kemudian, ia juga menyoroti masalah doktrinasi pemikiran radikal. Ia melihat doktrinasi tak mudah terhadap satu keluarga terutama suami istri. Munculnya pelaku satu keluarga ini juga dinilai sebagai upaya regenerasi.

"Pelaku pemboman gereja itu ada yang remaja. Artinya regenerasi ini mungkin bagi mereka berhasil tanamkan ideologi kepada anak-anaknya," ujar Khairul.

Ancaman Serius

***

Adanya pola baru yang melibatkan anak-anak memperlihatkan terorisme sudah menjadi ancaman serius untuk keamanan negara. Menurut Khairul Fahmi, negara membutuhkan alat yang efektif demi kepentingan keamanan nasional yaitu revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Ini sudah serius, urgent disikapi. Salah satu diantaranya dengan memperbaiki sisi lemah payung hukum pemberantasan terorisme," ujar Khairul.

Khairul menjelaskan memang masih ada perdebatan dalam beberapa poin seperti pencegahan terkait klausul yang mengatur penindakan dini dengan penangkapan terhadap terduga teroris. Hal ini yang harus diselesaikan pemerintah dengan Panitia Khusus DPR UU Terorisme.

Baca: Korban Tewas Bom Gereja Surabaya Bertambah Jadi 18 Orang

Terkait penangkapan terduga teroris juga seharusnya dipastikan pemberian kewenangan. Apalagi kemungkinan besar TNI akan dilibatkan dalam UU Terorime yang baru nanti.

"Di level dan area mana saja TNI boleh dan harus dilibatkan. Tentang bagaimana koordinasi, penggerakan, pengendalian, serta pengawasan," jelas Khairul.

Ketua Pansus RUU Pemilu, Muhammad Syafii mengapresiasi sikap pemerintah yang sudah siap secepatnya merampungkan bersama DPR. Menurut dia, dalam memberantas teroris tak bisa dihadapi setengah-tengah. Pihak TNI diperlukan dalam menghadapi teroris.

"Dia bergerak total, kita hadapi dengan total. Tidak mungkin kita punya kekuatan yang tak bisa digunakan melawan terorisme yang total itu," ujar Syafi'i saat dihubungi VIVA, Senin, 14 Mei 2018.

TNI Tak Superior

Dia menegaskan perlunya TNI dilibatkan namun disertai aturan-aturan tertentu. Ia percaya TNI akan profesinal bila dilibatkan dalam memberantas terorisme. Rentetan teror bom yang terbaru di Surabaya harus menjadi perhatian.

"Jangan sampai kekhawatiran-kekhawatiran masa lalu TNI akan superior kembali ke orde-orde sebelumnya. Saya jamin tidak akan ke sana," tuturnya.

Foto korban bom gereja di Surabaya

Kemudian, terkait usulan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) bila revisi UU Teroris mentok, Syafii menilai belum perlu. Menurutnya, revisi UU Terorisme ini yang sedang digodok tim pansus harus diselesaikan.

"Tinggal dua hal krusial yang dimantapkan lagi dalam revisi UU Terorisme," jelas Syafi'i.
 
Dua hal yang dimaksud terkait masalah definisi terorisme dan kewenangan TNI dalam penindakan teroris. Diakuinya, dua hal ini yang sempat membuat pembahasan revisi UU Terorisme molor dan jauh dari target.

Namun, ia mengklaim bila sudah ada kesiapan pemerintah untuk mendahulukan rampungnya revisi UU Terorisme ketimbang Perppu maka dua hal ini bisa diselesaikan.

"Pembahasan terus akan dilakukan. Pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk tidak perppu. Ya kita selesaikan dulu," ujar Syafi'i.

Baca: Juni RUU Anti Terorisme Tak Selesai, Jokowi Terbitkan Perppu

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menjamin posisi TNI dalam pemberantasan teroris tak akan kembali seperti Orde Baru. Ia setuju penanganan teroris ini harus dilakukan total alias bukan setengah-setengah.

Wiranto mengatakan pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk merampungkan secepatnya revisi UU Terorisme. "Terorisme ini tidak bisa dihadapi sepotong-sepotong. Dia bergerak total, kita hadapi dengan total," ujar Wiranto di rumah dinasnya, Jakarta, Senin 14 April 2018.