Melawan Teror di Kota Pahlawan
- ANTARA FOTO/HO/HUMAS PEMKOT-Andy Pinaria
VIVA – Serangan teror kembali mengguncang Tanah Air, kali ini di Surabaya. Lagi-lagi warga sipil tak bersalah menjadi korban.
Publik pun terkesiap, mengingat insiden pada Minggu pagi itu terjadi saat sebagian warga tengah menjalankan ibadah. Aparat keamanan pun kembali bersiaga, karena serangan teror atas rumah ibadah bukan sekali itu saja terjadi dan berlangsung tak lama setelah kerusuhan para napi teroris di rumah tahanan kompleks Markas Komando Brimob Depok.
Seorang pengendara sepeda motor tampak melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi pada pagi hari itu, Minggu, 13 Mei 2018, tepatnya pukul 07.07.51 WIB. Dia muncul dari arah perempatan jalan, lalu bergerak cepat menyeberang ke arah gereja dan langsung belok kiri masuk ke halaman Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Utara, Kecamatan Gubeng, Surabaya.
Tak lama kemudian, hanya dalam hitungan detik, ledakan itu terjadi. Asap putih segera mengepul di halaman Gereja Santa Maria. Beberapa pengendara motor yang berada di dekat lokasi ledakan itu terlihat panik dan berusaha menjauh dari tempat kejadian perkara.
Lihat video selengkapnya di sini.
Ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela itu pun mencatatkan fakta: lagi, dan lagi, terorisme mengguncang ibu pertiwi. Korban-korban tidak berdosa pun berjatuhan. Tragisnya, serangan para penjahat itu ternyata tidak hanya menyasar satu gereja saja, dua gereja lain yaitu Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro 146, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan di Jalan Raya Arjuna juga bernasib sama.
Baca: Kronologi Bom Bunuh Diri di Tiga Gereja Surabaya
Khusus aksi teror terhadap gereja, data Litbang tvOne menyebutkan, dalam kurun waktu 2016 sampai dengan 2018, setidaknya terjadi 5 kali teror termasuk kejadian terakhir pada Minggu, 13 Mei 2018 tersebut. Empat lainnya yaitu pada 11 Februari 2018 di Gereja St. Lidwina, Sleman dengan korban 5 orang terluka.
Lalu pada 13 April 2017, di Gereja Santo Yusup, Semarang yang tidak menimbulkan korban jiwa, dan 13 November 2016 di Gereja Oikumene, Samarinda dengan korban 1 orang tewas dan 3 orang terluka. Selanjutnya pada 28 Agustus 2016 di Gereja Santo Yosep, Medan, dengan korban 1 orang terluka.
Sementara itu, kepolisian menyebut bahwa setidaknya sampai pukul 20.30 WIB, 13 orang kehilangan nyawa dalam peristiwa bom Surabaya pada Minggu pagi itu, termasuk di antaranya adalah bocah berusia 11 tahun bernama Vincensius Evan. Kemudian, 41 orang lainnya luka-luka dan dirawat di sejumlah rumah sakit baik di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur, atau juga Rumah Sakit Dr. Soetomo.
Baca juga: Buya Syafii: Tuhan Tak Ajarkan Bom Bunuh Diri
Jaringan ISIS
Tidak butuh waktu lama untuk menganalisa, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, langsung menyimpulkan bahwa pelaku bom bunuh diri di tiga gereja itu tidak jauh-jauh dari jaringan gerakan teroris Negara Islam Irak dan Suriah alias ISIS. Dia menegaskan bahwa kelompok tersebut memang sudah merencanakan aksi-aksinya.
"Ya lihat saja (sama dengan ISIS). Apa pernyataan-pernyataan mereka? Persis sama," kata Ansyaad dalam perbincangan dengan tvOne, Minggu, 13 Mei 2018.
Ansyaad mengatakan mereka bisa memakai nama apapun dalam aksinya di Indonesia. Namun, secara ideologi dan tujuan tetap sama. Misalnya saja Jemaah Ansharut Daulah yang disingkat JAD.
"Itu sama barangnya. Cuma targetnya lain," kata dia.
Ansyaad menuturkan bagi mereka nama tidak terlalu penting. Semua kelompok yang berbeda itu serentak sama dan menyatakan diri bagian dari ISIS.
Aksi-aksi teror di Surabaya itu menurut pria kelahiran 2 Juni 1948 itu juga merupakan rangkaian serangan dari ISIS di Tanah Air yang simultan dan terencana. Dia menyampaikan kelompok itu sengaja melakukan teror untuk menakut-nakuti masyarakat.
"Ini bukan balasan (atas kejadian di Mako Brimob). Tanpa kejadian di Mako Brimob, aksi teror tetap akan terjadi. Kalau Mako Brimob tidak terjadi, pasti meledak di tempat lain," ujarnya.
Namun, Ansyaad meminta masyarakat jangan takut, tidak panik. Selain itu, dia mengimbau mereka untuk membantu kepolisian, tidak sebaliknya justru membully Korps Bhayangkara. Dia tetap yakin polisi mampu menangani aksi-aksi teror di Indonesia.
"Sama-sama tegar, berani. Bangkit melawan bersama-sama," tutur dia.
Tidak lupa, Ansyaad juga mengingatkan para elite negeri ini untuk tidak mengkapitalisasi kejadian di Surabaya demi kepentingan politik. Misalnya menyalahkan polisi dan pemerintah hanya demi meningkatkan elektoral saja karena situasi dalam negeri yang sudah masuk tahun politik.
Baca juga: 4 Terduga Teroris Ditembak di Cianjur, Mau Serang Polisi
Satu keluarga
Beberapa jam setelah peristiwa, atau Minggu sore, Kapolri Jenderal Tito Karnavian meluncur ke Surabaya. Dia mendampingi Presiden Joko Widodo melihat korban bom di Rumah Sakit Bhayangkara Markas Kepolisian Daerah Jatim.
Dalam kesempatan itu, Tito menyampaikan bahwa Presiden Jokowi sudah memerintahkan padanya untuk melakukan investigasi secepat mungkin dan menuntaskan kasus tersebut. Oleh karena itu, institusinya langsung bergerak dari pagi begitu peristiwa terjadi.
Hasilnya cukup signifikan. Mereka langsung bisa mengetahui identitas atau siapa pelaku-pelaku dari aksi bom di tiga gereja tersebut.
Tito mengatakan para pelaku diduga satu keluarga. Pelaku yang melakukan serangan di Gereja Pantekosta, menggunakan Avanza, diduga keras adalah orang tua atau ayahnya bernama Dita Uprianto.
Sebelumnya dia men-drop istri dan dua anak perempuannya. Istrinya yang meninggal diduga bernama Puji Kuswati. Kemudian yang perempuan bernama Fadilah Sari, umur 12 tahun, dan Pamela Riskita, umur 9 tahun.
"Kelahiran Surabaya semua, kecuali Puji Kuswati yang kelahiran Banyuwangi," kata Tito.
Kemudian, lanjut mantan Kepala BNPT tersebut, pelaku ketiga yang di Gereja Santa Maria, dua orang laki-laki, yang diduga juga putra dari Dita. Satu bernama Yusuf Fadil, usia 18 tahun, dan Firman Halim yang usianya 16 tahun.
Tito memastikan bahwa semua adalah serangan bom bunuh diri. Cuma jenis bomnya saja yang berbeda.
"Yang pelaku dengan Avanza di Jalan Arjuna, itu menggunakan bom yang diletakkan di dalam kendaraan setelah itu ditabrakkan. Ini ledakan yang terbesar, saya kira, dari yang dua ledakan itu," kata dia.
Kemudian untuk yang di GKI di Jalan Diponegoro, tiga-tiganya menggunakan bom yang diletakkan pada pinggang. Alasannya menurut Tito, ciri-cirinya sangat khas karena yang rusak di bagian perutnya saja.
"Itu yang perempuan. Ibunya maupun anaknya, (yang rusak) hanya bagian perutnya, sementara bagian atas dan bagian bawahnya masih utuh. Tapi di tempat ini tidak ada korban dari masyarakat," ujar Tito.
Lalu bom yang di Jalan Ngagel, Gereja Katolik Santa Maria di Ngagel, Tito mengatakan pelaku menggunakan bom yang dipangku. Namun di sini, polisi belum tahu jenis bomnya. Tapi mantan Kapolda Metro Jaya itu mengakui efek ledakannya cukup besar.
"Dan itu dibawa oleh dua orang dengan sepeda motor. Jadi, ini ciri khas bom-bom bunuh diri tapi jenis bomnya yang berbeda. Sekarang, bahan peledaknya apa, sedang dilakukan penyelidikan oleh Laboratorium Forensik," tutur dia.
Baca juga: Mabes Polri Indikasikan Sel Teroris Akan Bangkit
Sudah Terpojok
Tito melanjutkan pelaku aksi bom ini tidak lepas dari kelompok Jamaah Anshorud Daulah (JAD) dan Jamaah Anshorud Tauhid (JAT) yang merupakan pendukung utama ISIS. Di Indonesia, JAT ini dipimpin oleh Aman Abdurrahman yang sekarang ditahan di Mako Brimob.
Dia menyampaikan kelompok pelaku yang satu keluarga itu juga terkait dengan sel JAD yang ada di Surabaya. Dalam hal ini, Sang Ayah, Dita, menjadi ketuanya.
Terkait motif, Tito menduga ada beberapa poin. Pertama, di tingkat internasional, ISIS ditekan oleh kekuatan-kekuatan baik dari Barat, Amerika, Rusia, dan lain-lain, sehingga dalam keadaan terpojok. Kemudian, mereka memerintahkan semua jaringan yang ada di luar, termasuk yang sudah pulang ke Indonesia untuk bergerak.
"Sehingga digunakan semua jaringan, termasuk di London juga ada peristiwa terorisme yang menggunakan pisau di sana," katanya.
Sebagai upaya untuk membasmi aksi terorisme di negeri ini, Tito menegaskan bahwa Polri, TNI, dan BIN akan bergerak dan merapatkan barisan. Dia meminta Panglima TNI Hadi Tjahjanto untuk mengirimkan kekuatan dalam rangka melakukan operasi bersama menangkap kelompok sel-sel JAD dan JAT di Indonesia.
Selain itu, dia berharap undang-undang terorisme segera diperbaiki. Proses revisi sejauh ini dinilai terlalu lama karena sudah berjalan satu tahun tetapi belum juga selesai.
Tito menyampaikan UU Nomor 15 Tahun 2013 sangat responsif sekali. Kepolisian baru bisa bertindak bila kelompok teroris itu sudah melakukan aksi atau jika sudah ada barang buktinya.
Lebih dari itu, dia meyakinkan masyarakat bahwa negara tidak akan kalah dengan para teroris. Salah satu alasannya karena mereka hanya kelompok kecil.
"Kelompok ini tidak besar, yang jelas kelompok ini tidak besar. Ini hanya sel kecil, mereka tidak akan bisa mengalahkan negara, tidak mungkin. mengalahkan Polri, TNI, dan kita semua," kata Tito.
Baca juga: Tagar #terorisJANCUK Berkumandang di Jagat Twitter
Sampai ke akar-akarnya
Semua pihak mengecam dan mengutuk aksi terorisme di tiga geraja Surabaya tersebut. Dari para politikus di Senayan sampai ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama.
Sikap yang sama ditunjukkan oleh Presiden Jokowi. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan tindakan terorisme itu sungguh biadab dan di luar batas kemanusiaan. Aksi tersebut menimbulkan korban tak hanya dari anggota kepolisian tapi juga baik masyarakat dan anak-anak yang tidak berdosa.
"Termasuk pelaku yang menggunakan dua anak berumur kurang lebih 10 tahun yang digunakan juga pelaku bom bunuh diri," kata Jokowi, di Surabaya, Minggu, 13 Mei 2018.
Jokowi menuturkan terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Semua ajaran agama menolak semua terorisme apapun alasannya.
Baginya, tak ada kata yang dapat menggambarkan dalamnya rasa duka cita atas jatuhnya korban akibat serangan bom bunuh diri di Surabaya itu. Dia pun memerintahkan kepada Kapolri untuk mengusut tuntas jaringan-jaringan pelaku dan membongkar sampai ke akar-akarnya.
Selain itu, Jokowi menegaskan seluruh aparat negara tak akan membiarkan tindakan pengecut semacam itu. Dia mengajak kepada seluruh masyarakat untuk bersama-sama memerangi terorisme, radikalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai luhur sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan kebhinekaan.
"Dan saya juga mengimbau kepada seluruh rakyat di seluruuh pelosok tanah air agar semuanya tetap tenang, menjaga persatuan dan waspada. Hanya dengan upaya seluruh bangsa terorisme bisa kita berantas. Kita harus bersatu melawan terorisme," katanya.
Presiden yang pernah menjadi Wali Kota Solo itu juga mengajak semua pihak berdoa untuk para korban yang meninggal dunia mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT dan pada keluarga diberikan ketabahan dan keikhlasan. Sedangkan untuk para korban luka-luka agar segera diberikan kesembuhan.
"Negara, pemerintah menjamin semua biaya pengobatan dan perawatan para korban," tutur Jokowi.
Baca juga: Muhammadiyah: Pelaku Bom Tiga Gereja di Surabaya Orang Kafir
Evaluasi Serius
Pengamat Terorisme, Al Chaidar, menilai serangan di tiga gereja itu adalah bentuk dari gerakan JAD yang berafiliasi dengan ISIS. Mereka ingin menunjukkan eksistensi. Selain itu juga perpanjangan dari insiden Mako Brimob.
Semangat juang kelompok itu juga semakin berkobar lantaran ada undangan atau seruan yang mengajak untuk melakukan jihad sejak 9 Mei 2018 dan membantu rekan mereka yang berada di Mako Brimob.
Menurut Al Chaidar, target serangan mereka yang pertama ialah polisi. Kemudian rumah ibadah non muslim. Baru setelah itu tempat keramaian dan tempat-tempat ibadah kelompok sekte yang dianggap sesat.
Senada, Pengamat Teroris lainnya, Harist Abu Ulya, juga berpendapat bahwa aksi teror di Surabaya itu dilakukan oleh orang-orang muda yang terafiliasi dengan ISIS dan JAD. Dia melihat mereka masih konsisten dengan seruan ISIS, ada juga yang memang telah dibaiat.
Harist menilai alasan mereka menyasar gereja karena hanya ingin membuat kerusuhan saja. Selain itu juga agar umat Islam didiskreditkan.
Ke depan, dia menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi serius. Regulasi penanganannya harus dibicarakan secara konprehensif antara pemerintah dengan instansi-instansi terkait. (ren)