Problem Perempuan Bekerja, Tak Cuma soal Cuti Haid

Ilustrasi wanita bekerja di kantor.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Amanda (35 tahun) adalah salah satu pegawai administrasi di sebuah perusahaan jasa. Ia juga seorang ibu dari 2 orang anak yang masih berusia 7 dan 5 tahun.

Setiap hari Amanda bangun pukul 4 pagi untuk mempersiapkan kebutuhan anak, suami, mertua sekaligus dirinya. Tak hanya mencuci dan menyiapkan pakaian, ia juga memasak dan memastikan anak-anaknya kecukupan gizi.

Pukul 7.30 pagi setelah anak-anak dan suaminya berangkat beraktivitas, ia lekas bergegas menyiapkan kebutuhannya berangkat ke kantor.

Amanda harus menempuh jarak kurang lebih 20 km untuk sampai ke kantornya di kawasan Karet Jakarta Selatan, berdesakan di angkutan umum sekaligus menghadang macet. Setelah berkutat seharian dengan urusan kantor, ia kembali harus menghadapi kemacetan dan baru tiba di rumah pukul 9 malam.

Tugasnya belum selesai sampai di situ.  Pulang kerja ia tetap harus memastikan anak-anak, suami dan mertuanya menjalani harinya dengan baik sekaligus membereskan rumah dan cucian piring.

Kisah Amanda memang sangat klasik terdengar. Ada pepatah yang bilang bahwa jadi pekerja perempuan tidaklah mudah.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menyebut, ada 46,3 juta pekerja perempuan seperti Amanda. Hal itu menandai bahwa pekerja perempuan terus meningkat. Dari 262 juta penduduk Indonesia, sebanyak 114 juta penduduk merupakan pekerja, di mana jumlah pekerja laki-laki sebesar 71,7 juta dan jumlah pekerja perempuan sekitar 46,3 juta.

Berbeda dengan laki-laki, pekerja perempuan memiliki tingkat problematika yang lebih kompleks. Saat memilih untuk bekerja, perempuan tahu akan ada risiko yang harus ditanggung. Membagi peran antara karier dan keluarga (memikul peran ganda). 

Tidak ada larangan memang bagi perempuan untuk bekerja, namun masalah yang dihadapi tidaklah sebanding.

Eksploitasi dan diskriminasi di dunia kerja

Para pekerja perempuan yang jumlahnya hampir 40 persen  dari total pekerja ini sangat rentan mengalami eksploitasi dan diskriminasi.

Mereka juga mempunyai peran ganda dan rentan terpapar bahaya di tempat kerja di samping secara alamiah mengalami fase haid, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. 

Drg. Kartini Rustandi M.Kes., Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Dirjen Kesehatan Masyarakat, menyebut soal permasalahan utama pada perempuan pekerja di Indonesia.

"Peran ganda, kesehatan pekerja termasuk hak maternitas (Hak perempuan, yang melekat sejak ia hamil hingga memiliki bayi), dan diskriminasi," ujarnya ditemui VIVA di Jakarta.

Menurutnya pekerja perempuan memiliki beban yang lebih besar termasuk menjamin generasi penerus bangsa. "Sebagai subjek pembangunan kesehatan, pekerja perempuan merupakan penentu alokasi pangan, penentu budaya konsumsi keluarga, pendidik, perawat dan pemelihara di dalam keluarga,” ujarnya.

Sementara itu, dilansir VIVA, Labor Institute Indonesia menyatakan, ada tiga permasalahan mendasar yang masih dialami para pekerja Indonesia di tempat kerja, yakni kekerasan berbasis gender, sulit mendapatkan hak maternity dan sulit mendapatkan Hak Kepesertaan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Dalam beberapa kasus yang diamati Labor Institute Indonesia, kekerasan berbasis gender tersebut berupa pelecehan seksual. Dalam kasus pelecehan seksual di tempat kerja rata-rata buruh perempuan tak mau melapor karena takut kehilangan pekerjaan.

Ketimpangan juga kerap terjadi ketika pekerja perempuan yang sudah berkeluarga masih dianggap lajang, walaupun pekerja perempuan tersebut sebagai pencari nafkah utama di keluarga. Selain itu juga perekrutan pekerja perempuan khusus lajang dan tidak boleh melahirkan dalam kurun waktu tertentu.

Hak maternity juga merupakan masalah yang sering dijumpai dalam hubungan industrial di tempat kerja. Seperti dalam industri manufaktur, hak untuk mendapatkan cuti haid, melahirkan, hingga penyediaan tempat bagi ibu menyusui juga masih sulit.

Beberapa kasus yang disebutkan bahwa tidak sedikit buruh perempuan yang akan melahirkan dipaksa mengundurkan diri.

Masalah lain adalah sulitnya akses untuk mendapatkan perlindungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baik BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan juga masih dialami pekerja perempuan khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit. 

Buruh perempuan dengan alasan status pekerja borongan dan yang sudah berkeluarga dianggap lajang merupakan alasan manajemen untuk tidak memberikan hak BPJS para buruh perempuan tersebut.

Faktor lain adalah soal keamanan kerja, terutama jika sedang bekerja lembur sampai larut malam. Tak jarang dengan alasan lelah, suami tidak bersedia menjemput sang istri di tempat kerjanya. Atau, karena bekerja adalah pilihan dan keputusan istri, maka pulang larut malam adalah risiko yang harus ditanggungnya sendiri.

***

Perlakuan khusus bagi pekerja perempuan? 

Perlakuan khusus terkait perlindungan kesehatan bagi pekerja perempuan sebetulnya telah diatur dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Semua Perempuan (CEDAW). 

Dalam Pasal 11 menjelaskan nondiskriminasi dalam pekerjaan, kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, melarang pemecatan selama kehamilan dan cuti hamil, cuti hamil yang dibayar, layanan yang memungkinkan perempuan untuk menggabungkan kewajiban keluarga dan bekerja (fasilitas perawatan anak), juga perlindungan terhadap jenis pekerjaan yang berbahaya selama kehamilan.

Di Indonesia, konvensi ini kemudian diperkuat dengan Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 153 ayat satu (1), disebutkan perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh dengan alasan maternity seperti hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui.

Namun, aturan-aturan ini hanya sempurna di atas kertas. Padahal,  Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menilai sejauh ini pemerintah mengambil posisi pasif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan buruh perempuan yang sedang hamil. 

Salah satu ketimpangan yang ia rasakan adalah soal buruh yang sedang hamil masuk program pemerintah 1000 hari pertama kehidupan (HPK) bagi anak. 

“Pemerintah punya gerakan program 1000 HPK, tapi belum bisa menjawab persoalan buruh perempuan hamil yang mendapat perlakuan diskriminatif di pabrik-pabrik,” katanya dalam temu media beberapa waktu lalu.

1000 hari pertama kehidupan merupakan masa-masa penting bagi manusia. 1000 HPK ini dimulai dari hari pertama kehidupan janin (270 hari) hingga bayi berusia 2 tahun (730 hari). 

Masa 1000 HPK membutuhkan perlakuan khusus, seperti pemberian asupan pangan, gizi, dan nutrisi bagi janin di hari pertama sampai anak usia 2 tahun. Jika masa-masa ini diabaikan, maka akan berdampak terhadap kesehatan anak di kemudian hari.

Perlakuan 1000 HPK dalam jangka pendek akan menentukan perkembangan otak, pertumbuhan tubuh, dan metabolisme tubuh anak. 

***

Butuh regulasi yang melindungi

Sejauh ini, Mutiara mengatakan pemerintah telah membuat perjanjian kerja sama empat kementerian untuk mengatasi persoalan buruh perempuan. Kerja sama ini yaitu perjanjian Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang diteken Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 

“Dari Kemenkes lebih pada membuat standar dan pedoman teknis pelaksanaan dan pembinaan teknis,” ujarnya. 

Sementara itu, Menkes RI, Prof. dr. Nila Djuwita Moeloek, Sp.M (K) pada acara High Level Meeting Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) di Kantor Kemenkes, pernah menyebut bahwa Program GP2SP diarahkan pada pemenuhan kecukupan gizi pekerja perempuan, pemeriksaan kesehatan pekerja perempuan, pelayanan kesehatan reproduksi pekerja perempuan, peningkatan pemberian ASI selama waktu kerja di tempat kerja dan penanggulangan penyakit menular (PM) dan tidak menular (PTM).

Pada kesempatan itu Menkes menyampaikan harapan kepada para pengusaha agar dapat melaksanakan upaya-upaya yang khususnya memperhatikan pekerja wanita. 

Harapan Menkes kepada para pengusaha di antaranya adalah 

1. Menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh pekerja dengan manfaat yang menyeluruh, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi baik yang diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan perusahaan maupun bermitra dengan pihak ketiga.

2. Melakukan penanggulangan anemia gizi besi pada pekerja perempuan dengan pemberian tablet tambah darah, obat cacing dan obat lainnya sesuai penyebabnya.

3. Memberikan pelayanan kesehatan reproduksi bagi pekerja perempuan mulai dari sebelum hamil, hamil dan setelah melahirkan.

4. Memberikan kelonggaran waktu untuk mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan - termasuk kesehatan reproduksi yang menjadi mitra perusahaan sesuai dengan kebutuhan pekerja dan memenuhi hak-hak pekerja perempuan antara cuti bersalin.

5. Menyediakan tempat untuk menyusui bayinya atau memerah ASI berupa ruang ASI di tempat kerja, sehingga hak bayi untuk mendapat ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan dapat diwujudkan.

6. Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit menular (PM) dan penyakit tidak menular (PTM) seperti penyelenggaraan suntik vaksin serviks dan penyuluhan soal kesehatan perempuan.

"Pekerja perempuan memerlukan pengawalan dan perlindungan khusus di bidang kesehatan. Tanpa kesehatan yang baik, pekerja kita tidak akan mampu bersaing dengan tenaga kerja lainnya di era globalisasi saat ini."

Ia melanjutkan, bila pekerja perempuan sehat diharapkan bahwa keluarganya dan masyarakat akan menjadi sehat.

"Begitu pula sebaliknya. Bila pekerja perempuan sakit, maka tentu akan berdampak buruk pada unit tempat ia bekerja dan juga keluarganya. Hal ini tentu bukan menjadi harapan kita semua," imbuhnya.