Sanksi Tegas untuk Facebook
- REUTERS/Dado Ruvic
VIVA – Pekan ini menjadi pekan yang menentukan nasib Facebook. Sebab, parlemen dari Indonesia dan Amerika Serikat akan memanggil petinggi Facebook untuk dimintai keterangan perihal bocornya 87 juta data pengguna.
Sedianya, Chief Executive Officer Facebook Mark Zuckerberg akan menghadap Kongres AS pada Rabu, 11 April mendatang. Namun, tiba-tiba dimajukan menjadi Senin, 9 April waktu setempat atau Selasa, 10 April WIB.
Majunya jadwal rapat dengar pendapat atau RDP dengan Komite Perdagangan dan Energi dari Dewan Perwakilan Rakyat AS ini lantaran adanya kekhawatiran terkait kampanye boikot Facebook, Instagram dan WhatsApp yang digelar pada Rabu.
Mengutip situs Reuters, kampanye bernama Faceblock ini mengajak semua orang untuk mengikuti aksi ini dengan mengunjungi tautan www.facebookblackout.org, dan tidak menggunakan media sosial tersebut selama 24 jam.
Indonesia Tiga Besar
Juru Bicara Kampanye Faceblock, Laura Ullman, mengatakan, kelompoknya begitu peduli dengan data pribadi dan bagaimana sebuah perusahaan harus mematuhi regulasi terkait data pribadi.
Sementara di Indonesia, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat akan memanggil Country Head Facebook Indonesia Sri Widowati dan jajarannya untuk RDP pada Rabu siang.
Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mengatakan, tindakan yang akan diberlakukan kepada Facebook menunggu hasil RDP yang dilakukan bersama Komisi I, termasuk jika memungkinkan, opsi memblokir platform milik Mark Zuckerberg itu.
Hanafi juga meminta pemerintah agar bersikap tegas atas skandal penyalahgunaan 87 juta data pengguna Facebook. "Kita dorong pemerintah untuk punya sikap tegas terkait dengan Facebook ini," ujarnya.
Menurut data yang dimilikinya, Indonesia berada di posisi tiga besar yang jumlah data penggunanya ditambang oleh perusahaan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica.
"Atas skandal inilah kita harus tegas sama Facebook," kata Hanafi di Gedung DPR, Jakarta, Senin. Pada kesempatan terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengaku belum ada perkembangan terbaru dari audit yang dilakukan Facebook.
***
Hasil Audit Facebook
Meski begitu, ia masih menunggu platform tersebut supaya wajib lapor ke Kominfo setiap satu minggu sekali. "Belum. Kita masih tunggu minggu ini. Karena baru beberapa hari," kata Rudiantara kepada VIVA.
Ia menegaskan kalau pemerintah tidak segan dan tidak ragu menutup Facebook. Namun, hal ini bergantung dari hasil audit. "Bisa (ditutup). Kita lihat progres auditnya seperti apa," ungkapnya.
Meski ada desakan dari DPR untuk segera memblokir Facebook, namun Rudiantara mengaku bisa saja hal itu dilakukan. Namun faktanya, pemberian sanksi harus ada tahapan.
Ia mengatakan sebelum akhirnya datang memenuhi panggilan beberapa waktu lalu, Kominfo sudah melayangkan beberapa kali panggilan lisan, namun tak digubris Facebook.
"Baru setelah itu kita keluarkan peringatan tertulis tanggal 5 April 2018. Kita hanya bisa memberikan sanksi administrasi berupa lisan dan tertulis, hingga suspend atau penghentian operasional sementara. Untuk tindak pidana itu sudah masuk ranah Polri," papar dia.
Rudiantara menambahkan dalam wajib lapor ada hal yang harus dilaporkan Facebook, seperti jumlah data pengguna yang disalahgunakan dan meminta mereka untuk menghapus aplikasi yang mirip dengan Cambridge Analytica.
"Kita minta ke mereka untuk memastikan bahwa angka (data pengguna yang disalahgunakan) itu kalau berubah segera lapor ke kita. Lalu, kita juga minta shutdown aplikasi-aplikasi mirip Cambridge Analytica," ujar Rudiantara.
***
Tirulah Jerman
Senada, Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan siap membantu Kementerian Komunikasi dan Informatika mengusut satu juta data pengguna asal Indonesia yang bocor di Facebook.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal meminta Facebook untuk menghargai privasi seluruh penggunanya.
"Facebook harus menghargai hukum positif dan privasi pengguna di Indonesia," kata Iqbal di Mabes Polri, Jakarta. Iqbal menambahkan Facebook bisa dikenai Pasal 30 UU ITE, di mana pasal tersebut mengatur tentang akses ilegal.
Isi pasal ini menyatakan bahwa seseorang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem keamanan, diancam pidana hingga 8 tahun.
Facebook telah mengonfirmasi jumlah data pengguna yang bocor, dari 50 juta menjadi 87 juta, di mana 70,6 juta akun milik warga Amerika Serikat, Filipina sebanyak 1,1 juta akun, dan Indonesia dengan 1 juta akun.
Di mata Koordinator Regional SAFEnet, Damar Juniarto, sanksi yang harus dijatuhkan ke Facebook atas bobolnya data pengguna Indonesia, bukanlah blokir.
"Sanksi denda boleh saja. Artinya, Indonesia meniru cara Jerman. Dengan menerapkan denda cukup tinggi atas kelalaian Facebook. Blokir bukan solusi," kata Damar kepada VIVA.
Jika memang diperlukan sanksi lain, Damar melanjutkan, perlu dieksplorasi efektivitasnya. Selain itu, kata Damar, apa yang melanda Facebook dan AS sangat mungkin bisa terjadi di Indonesia. Apalagi, Indonesia sudah memasuki tahun politik.
Skandal bocornya data pengguna Facebook Indonesia menjadi momentum Indonesia untuk segera menghadirkan UU Perlindungan Data Pribadi.
Dengan adanya UU tersebut, maka memungkinkan pengakuan hak warga negara untuk menuntut Facebook. Pengguna bisa menggugat ke Facebook karena data mereka disalahgunakan.
"UU itu juga bentuk pengakuan privasi warga. Karena ini tantangan terbesar dalam hukum kita. Data pribadi kita belum dilindungi negara. Bahkan sampai sekarang," tegas dia.
Ia kembali mengingatkan kalau AS, negara yang memiliki payung hukum perlindungan data pribadi saja kebobolan apalagi Indonesia yang masih 'telanjang.' (one)