Sukmawati, Puisimu Harimaumu
- Antara/ Ujang Zaelani
VIVA – Nama Sukmawati Soekarnoputri menjadi sorotan. Adik Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri itu menjadi kontroversi, karena karya puisi berjudul 'Ibu Indonesia' yang dalam beberapa baitnya menyinggung syariat Islam, seperti azan dan cadar.
Puisi itu dilantunkan Sukmawati dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018, Jakarta Convention Center, Rabu, pekan lalu. Gelombang protes mengalir dengan respons melaporkan putri Proklamator RI itu ke polisi.
Sukmawati dilaporkan ke polisi, karena karya puisinya diduga mengandung Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA). Salah satu yang tersinggung dengan puisi tersebut adalah Forum Umat Islam Bersatu (FUIB). Pihak FUIB siap melaporkan Sukmawati ke Badan Reserse Kriminal Polri pada Kamis 5 April 2018.
Ketua Umum FUIB, Rahmat Himran menilai, Sukmawati mestinya hati-hati dalam bersikap yang berpotensi polemik. Tak etis menyinggung perbandingan azan dengan kidung. Belum lagi, syariat Islam dan cadar yang ikut disebut dalam bait puisi.
"Harusnya hati-hati. Ini jadi gaduh, karena memuat SARA. Tak paham syariat Islam, tetapi bandingkan cadar dengan konde. Kidung sama azan. Hati-hatilah," ujar Rahmat, saat dihubungi VIVA, Selasa 3 April 2018.
Sebagai figur yang dikenal publik, perempuan berusia 66 tahun itu dianggap tak sensitif. Kasus yang mengandung SARA berpotensi gaduh, mengingat momennya saat ini tahun politik. Ia mencontohkan, kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok.
"Konsekuensi seperti ini jadi gaduh, kalau enggak sensitif. Bicara sampaikan puisi di forum publik yang konteksnya enggak pas," tutur Rahmat.
Baca: Puisi Sukmawati yang Sudutkan Syariat Islam, Azan dan Cadar
Sementara itu, Sukmawati memberikan klarifikasi terkait puisi kontroversialnya. Dalam klarifikasinya, ia tak sependapat bila dinilai ada muatan SARA dalam puisi karyanya. Dari sudut pandangnya sebagai budayawan, dia melihat bait dalam puisi yang dilantunkan adalah kenyataan yang memang terjadi di Indonesia.
"Saya budayawati, saya menyelami bagaimana pikiran dari rakyat di beberapa daerah yang memang tidak mengerti syariat Islam seperti di Indonesia Timur, di Bali, dan daerah lain," kata Sukmawati dalam klarifikasi yang dibacakan di 'Apa Kabar Indonesia Pagi' tvOne, Selasa 3 April 2018.
Bagi dia, soal bait yang menuliskan perbandingan kidung Ibu Indonesia, lebih merdu dari alunan azan adalah sebuah ekspresi dari dirinya sendiri. Ia berpendapat, lantunan ibu-ibu saat bersenandung bisa menjadi lebih merdu.
"Enggak selalu orang yang mengalunkan azan itu suaranya merdu. Itu suatu kenyataan. Ini kan seni suara ya. Dan, kebetulan yang menempel di kuping saya adalah alunan ibu-ibu bersenandung, itu kok merdu. Itu kan suatu opini saya sebagai budayawati," jelas Sukma.
Berikutnya, dimensi syariat Islam>>>
Dimensi syariat Islam
Sastrawan Candra Malik, melihat puisi Sukmawati yang menjadi polemik ini dari beberapa aspek. Dari aspek suatu karya, putri Presiden RI pertama, Soekarno itu ingin bermaksud mengeksplorasi bait kata dengan makna yang dalam.
"Bisa jadi, seorang Bu Sukmawati punya rahasia tertentu dan dituliskan. Tetapi, itu belum diketahui kebanyakan orang yang akan membacanya," ujar Candra, saat dihubungi VIVA, Selasa 3 April 2018.
Candra pun menyoroti penggunaan istilah syariat Islam. Bagi dia, istilah ini bukan hal baru yang dan hanya kembali dilantunkan Sukmawati. Namun, memang seperti menjadi beda, karena puisi dibacakan oleh seorang figur yang juga merupakan putri Proklamator RI.
Ia menyinggung syariat Islam sudah menjadi pembicaraan lama. Begitu pun soal cadar yang pernah mencuat seperti polemik larangan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, belum lama ini.
"Ini dimensi lain. Soal dimensi syariat Islam itu menjadi berbeda, karena Bu Sukmawati ini putri proklamator. Ini yang menjadi dinamis dan menuai kontroversi," tutur Candra.
Namun, dari aspek lain, diakui Candra, ada kalimat antarbait yang memang mengundang kontroversi. Ada pengakuan Sukmawati yang tak paham syariat Islam, namun tetap melanjutkan dengan 'perbandingan' versinya.
"Dimensi berikutnya, beliau bisa belajar lebih mendalam dulu, sehingga bisa membedakan antara agama dan budaya. Bagaimana ajaran agama, apa itu bangsa, dan lain segalanya. Tetapi, dalam bait puisi itu seperti kurang aple to aple bila disandingkan," jelas Candra.
Baca: Puisi Sukmawati Dikecam, Guruh Membela Sang Kakak
Sukmawati pun diminta segera mengklarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf secara resmi terkait puisinya. Permintaan ini disampaikan langsung politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma Sundari.
Bagi Eva, persoalan agama tak kompatibel dibandingkan dengan budaya. Ia berpendapat, azan tak bisa dibandingkan dengan lantunan nyanyian. Azan panggilan ibadah salat bagi umat Islam, sehingga tak bisa disamakan dengan isu lain.
"Saya harap, Mbak Sukma segera menjelaskan, tabayyun, sekaligus minta maaf, karena ada sesuatu yang serius di situ," kata Eva di gedung DPR, Jakarta, Selasa 3 April 2018.
Selanjutnya, efek ke Jokowi>>>
Efek ke Jokowi
Sukmawati harus segera merespons dan mengklarifikasi puisi karyanya. Pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menekankan permintaan maaf harus cepat dilakukan agar polemik tak semakin liar dan membesar.
Hendri menilai, permintaan maaf adik Megawati Soekarnoputri itu, karena bait puisinya menyinggung umat Islam.
"Sukma harus menjelaskan makna puisinya, karena ini bisa berbahaya. Kalau dia tidak menjelaskan, akan benar-benar melukai umat Islam," tutur Hendri saat dihubungi VIVA, Selasa 3 April 2018.
Kata dia, hal yang mudah pada tahun politik dengan mengaitkan Sukmawati dengan Megawati dan Joko Widodo (Jokowi). Dari polemik puisi ini, dengan memberikan efek negatif ke Jokowi, dinilainya cukup besar.
"Sekarang itu tahun politik. Bisa dengan mudah mengaitkan Sukmawati dengan Jokowi dan Megawati," ujar Hendri.
Hal senada dikatakan pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno. Kondisi saat ini yang dianggap tak pro terhadap umat Islam, harus menjadi perhatian. Beberapa kasus, seharusnya dijadikan pembelajaran semua pihak agar tak menjadi gaduh.
"Apalagi, beberapa tahun belakangan dijadikan anak tiri, justru di tengah mayoritas Islam. Keindahan puisi, tak harus membandingkan konde dan syariat Islam, masih banyak diksi lebih baik yang bisa dipilih," tutur Adi Prayitno.
Adi menilai gelombang protest sebagai konsekuensi yang mesti direspons Sukmawati. Menurut dia, diibaratkan karya puisinya seperti pepatah ‘mulutmu harimaumu’.
“Ya, mulutmu harimaumu menjadi hukum alam bagi siapapun yang tak bisa menjaga lisannya,” ujar Adi.
Baca: Pengacara dan Politisi Hanura Laporkan Sukmawati
Sementara itu, Polda Metro Jaya yang sudah menerima laporan soal puisi Sukmawati siap menindaklanjuti. Menurut Direktur Kriminal Umum Polda Metro, Kombes Pol Nico Afinta mengisyaratkan pihaknya akan membentuk tim khusus untuk menelaah laporan ini.
"Untuk itu kami masih dalami, nanti masuk ke mana, kami akan bentuk tim untuk mendalami laporan tersebut," kata Nico Afinta di Mapolda Metro Jaya, Selasa 3 April 2018. (asp)