Ketar-ketir Aturan Mobil Listrik

Mobil Listrik Universitas Indonesia. Ilustrasi.
Sumber :
  • Antara/Widodo S. Jusuf

VIVA – Para pelaku industri otomotif di Tanah Air tengah cemas. Aturan main pengembangan mobil listrik yang belakangan santer menggema belum juga rampung. Padahal, pemerintah sebelumnya janji bakal menerbitkan aturan itu akhir 2017.

Fakta rupanya berkata lain, rencana meleset dan diubah kembali jadi akhir Maret 2018. Semakin dipertanyakan, karena mendekati penghujung Maret, aturan tak jua ada tanda-tanda disahkan.

Apa yang dicemaskan kalangan pelaku industri otomotif tentu beralasan, mengingat mereka belum tahu bayangan bulat seperti apa peta pengembangan mobil listrik di Indonesia. Apalagi ini menyangkut dengan investasi besar yang butuh hitung-hitungan matang. Jangan sampai investasi yang digulirkan justru menguap sia-sia karena aturan main yang kurang tepat.

"Kami harap semoga aturan program LCEV (Low Cost Electric Vehicle) segera terbit. Kami dan banyak merek otomotif lain sebenarnya sudah siap," kata Vice President Director of Marketing and Sales PT Nissan Motor Indonesia, Davy J Tuilan.

Fokus kendaraan listrik sebenarnya didengungkan pemerintah menghadapi perkembangan zaman dan berusaha mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Pemerintah menargetkan pada 2025, sebanyak 20 persen populasi mobil di jalanan didominasi model listrik.

Mobil listrik konsep dari Nissan. Foto: Istimewa

Presiden Joko Widodo pun sudah memberi lampu hijau kepada jajarannya untuk menyusun draf terkait kebijakan kendaraan listrik di Indonesia, yang melibatkan banyak unsur. Tiga kementerian sebagai tim penyusun draf, dan dilibatkan pula berbagai pihak termasuk produsen mobil, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) hingga perguruan tinggi.

"Kami sangat berharap bahwa regulasi itu bisa tepat waktu. Tapi saat ini, menurut saya, yang penting bukan hanya bicara regulasinya, tapi bagaimana mengomunikasikannya," kata Vice President Corporate Communications, BMW Group Indonesia, Jodie O'Tania.

Belum Matang

Pemerintah rupanya punya banyak alasan mengapa aturan mobil listrik di Tanah Air belum sampai ke titik final. Ini terkait dampak yang dihasilkan jika benar-benar aturan diketok.

Mungkin pemerintah baru melihat persoalan, di mana kebijakan baru ini dikhawatirkan bakal mendistorsi struktur industri otomotif. Terlebih banyak kategori di aturan itu yang berubah. Persoalan lain yang dihadapi, terkait infrastruktur dan ketersediaan produksi baterai di Indonesia.

Beberapa persoalan lain yang masih dihadapi adalah beberapa pasal yang masih dianggap kontroversi, seperti ketentuan pemerintah buka kesempatan luas untuk impor kendaraan listrik berikut komponennya.

Pemerintah bahkan diketahui menjanjikan insentif perpajakan maupun bea masuk impor. Tetapi yang dikhawatirkan, tak ada hitung-hitungan matang berapa mobil listrik dan komponen yang diimpor.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Foto: Dok VIVA

“Kami masih menunggu. Sedang dibahas, sedang digodok. Kebetulan airnya belum matang,” ujar Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto.

***

Airlangga meyakinkan aturan yang digodok akan dibuat matang meliputi banyak hal, seperti mengatur soal baterai, pajak, produksi, hingga stasiun pengisian listrik.

Selain itu, akan diatur siapa saja produsen mobil yang diperbolehkan melakukan impor kendaraan listrik dalam bentuk Completely Built Up (CBU) dari negara lain serta rinciannya. Aturan, kata dia, hanya berlaku bagi produsen mobil yang punya komitmen produksi kendaraan listrik secara lokal.

"Selama ada komitmen investasi. Mengenai insentifnya nanti akan kami informasikan jika peraturan sudah diresmikan. CBU (juga) akan diberikan," kata dia.

Menurut Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, ada beberapa hal yang jadi fokus pemerintah hingga membuat aturan soal mobil listrik agak molor, yakni dampak terhadap penjualan mobil, ekonomi, komitmen mengurangi emisi gas buang, dan ekspor.

”Kami saat ini intens diskusi membahas dengan Kementerian Keuangan dan lainnya yang terkait," kata dia.

Syarat Sukses

Sejatinya gagasan pemerintah mengembangkan industri kendaraan listrik terbilang tepat di tengah polusi emisi gas kendaraan yang semakin menggila. Kendati pun langkah pemerintah merupakan bagian sikap konsensus internasional.

Namun, masih ada hal yang dipertanyakan produsen otomotif terkait kebijakan baru tersebut. Salah satunya soal kesiapan. Sebab, rantai produksi industri otomotif sangatlah panjang dan rumit, karena melibatkan ribuan pemasok dan pekerja.

Sementara itu, dari sisi industri, pengembangan kendaraan listrik dianggap tak masalah, karena di luar Indonesia mereka telah memasarkannya. Masalah justru dianggap datang dari sisi infrastruktur hingga supplier pendukung mobil listrik yang belum sepenuhnya siap.

"Misalnya langsung loncat ke listrik? Enggak seperti itu. Mobil kami ada, tapi harus dilihat infrastrukturnya, kemudian supplier-nya, lalu konsumen siap enggak menerima itu. Siap enggak konsumen colok listrik untuk cas mobil di rumah. Kurang lebih begitu. Kalau kayak di Jepang sudah ada struktur itu," ujar Jonfis Fandy, Marketing and Aftersales Service Director PT Honda Prospect Motor.

Honda menegaskan, sebenarnya aturan mengenai LCEV ini bagus. Tetapi dia menyarankan agar pemerintah melakukannya secara bertahap, tidak langsung melompat jauh. "Kalau mau loncat jauh pemerintah harus mempunyai visi. Terkait eksekusinya ini, juga lihat kenyataannya harus bagaimana," kata Jonfis.

Honda NeuV concept. Foto: Carscoops

Sementara itu, walau menyambut positif rencana regulasi mobil listrik, Gaikindo punya catatan lain terkait syarat sukses hadirnya kendaraan ramah lingkungan seperti mobil bertenaga listrik, mobil hybrid maupun plug in hybrid di Tanah Air.

Menurut Ketua I Gaikindo, Jongkie D Sugiarto, program tersebut bisa sukses terlaksana apabila ada komitmen dari pemerintah, salah satunya dilakukannya harmonisasi tarif mobil rendah emisi.

Menurut dia, program mobil rendah emisi bisa berhasil bila pemerintah mematok harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Sebab, untuk mobil listrik sendiri saat ini masih menjadi barang mewah.

"Contoh Prius harganya Rp800 juta, dengan uang segitu beli mobil bisa dapat berapa? Tiga. Betulkan? Terus mau beli? Mahal, jadi itu saja. Kalau harganya terjangkau orang mikir boleh juga beli mobil ginian," katanya.

Meski mobil listrik memiliki teknologi yang canggih dengan berbagai kelebihannya, lanjut Jongkie, masyarakat di Indonesia memang masih cenderung memilih mobil dengan harga yang lebih terjangkau.

"Sekarang kita tempatkan diri kita sendiri, mobil ini enggak ada polusinya tapi harganya Rp800 juta, cinta lingkungan nih tapi kita lebih cinta duit kita kan? Ya logikanya seperti itu saja," kata dia.