Susah Putus dari Facebook

Ilustrasi tombol dislike Facebook.
Sumber :
  • Reuters//Dado Ruvic/Illustration

VIVA – Facebook sedang menjadi pusat perhatian dunia. Bukan karena prestasinya tapi kebobrokannya. Skandal bocornya data 50 juta pengguna telah mencemari reputasi Facebook, dari media sosial andalan menjadi terancam ditinggalkan. 

Kampanye menghapus Facebook terlontar usai skandal bocornya data oleh firma politik asal Inggris, Cambridge Analytica menyeruak ke publik. Salah satu pendiri WhatsApp, Brian Acton, mengajak pengguna internet di dunia untuk menghapus akun Facebook mereka. Dalam postingannya, pesan dia cukup tegas dan lugas, dengan menyertakan tagar#DeleteFacebook. 

Tagar tersebut dengan cepat menjadi viral. Mendunia. Banyak pihak menggaungkan tagar #DeleteFacebook karena khawatir bisa jadi data pribadi mereka yang jadi korban berikutnya.

Pengguna internet mengoceh di Twitter dengan tagar tersebut. Ada yang merasa hidupnya lebih baik setelah menghapus akun Facebook, ada pula yang hanya protes dengan menyertakan tagar tersebut. Kampanye #DeleteFacebook memang punya daya dobraknya. Viral di dunia maya, berdampak di dunia nyata dan lantai bursa. 

Beriringan dengan kampanye hapus Facebook itu, saham Facebook anjlok sampai 14 persen. Memang terjun bebas saham Facebook itu lantaran terkuaknya skandal jual beli data pengguna. 

Dampak skandal bocornya data pengguna itu juga menggerus tingkat kepercayaan pengguna internet terhadap media sosial raksasa tersebut. Seperti disalak anjing bertuah, kepercayaan publik pada Facebook merosot. 

Jajak pendapat Reuters bersama Ipsos menemukan kurang dari setengah responden Amerika Serikat yang mempercayai Facebook dibanding perusahaan teknologi lain yaitu Apple, Google, Amazon, Microsoft dan Yahoo.

Survei ini dilakukan secara daring dengan jumlah 2237 responden dari Inggris sampai Amerika Serikat. Jajak pendapat ini dilakukan sejak Rabu sampai Jumat pekan lalu, saat skandal bocor data Facebook sedang panas-panasnya. 

Jajak pendapat itu menemukan, di kandang Facebook alias di Amerika Serikat, hanya 41 persen responden AS yang meyakini Facebook mematuhi undang-undang perlindungan informasi personal. Sementara responden yang percaya dengan Amazon mencapai 66 persen, Google (62 persen), Microsoft (60 persen) dan Yahoo (47 persen). 

Hasil tak jauh beda keluar dari jajak pendapat Kantar EMNID, unit periklanan global WPP. Jajak pendapat ini menemukan hanya 33 persen responden yang menilai media sosial punya dampak positif pada demokrasi, sedangkan sisanya 60 persen responden meyakini media sosial punya dampak sebaliknya. 

Tingkat kepercayaan terhadap Facebook ternyata tak begitu linier dengan kampanye #DeleteFacebook. Ajakan hapus Facebook memang mudah diucapkan tapi susah untuk dilaksanakan. Menggema di mana-mana tapi hasil aksinya. Facebook sudah mengikat hati penggunanya. Tanpa Facebook rasanya media sosial hilang dari muka Bumi. Sulit untuk memutuskan kontak dari Facebook.

Data Reuters dari firma pengukur khalayak daring global, SimiliarWeb menunjukkan, penggunaan Facebook di pasar-pasar utama dan seluruh dunia tetap stabil, setelah ajakan #DeleteFacebook menggema sepanjang pekan lalu. 

"Penggunaan (Facebook) dari aplikasi, mobile dan desktop masih stabil dan bagus dengan kisaran yang diperkirakan. Ini penting untuk memisahkan frustasi dampak nyata terhadap penggunaan Facebook," jelas Direktur Pemasaran SimiliarWeb, Gitit Greenberg.   

Nyatanya meski tahu borok Facebook, namun tidak mudah untuk mengambil keputusan menghapus akun Facebook. Ada beberapa hal yang menyandera pengguna.

Tak berhenti hapus Facebook

***

Pengalaman eksekutif teknologi dari San Francisco, Arvind Rajan bisa menjadi gambaran. Dikutip dari CBSnews, Rajan menonaktifkan akun Facebooknya Senin pekan lalu. Tiba-tiba rasanya susah untuk meloloskan diri dari Facebook.

Sebab, saban dia ingin masuk ke website, berbagai aplikasi, dia harus memasukkan ID Facebook. Maka dia memang repot, harus membuat username dan password baru untuk bisa masuk ke situs yang ingin diaksesnya. Sebelumnya Rajan, selalu masuk ke situs atau aplikasi menggunakan identitas Facebooknya. 

"Ini menyakitkan, membuat tak nyaman. Tapi bukan akhir dari segalanya," kata dia.

Praktik masuk ke situs atau aplikasi dengan menggunakan login Facebook untuk mengautentifikasi pengguna, sudah begitu jamak. Misalnya Spotify sampai Tinder menggunakan skema tersebut untuk menerima pengguna. Jadi menghapus Facebook memang keputusan yang penting, pengguna siap untuk merasakan ketidaknyamanan begitu mereka menghapus akun mereka, seperti yang terjadi pada Rajan.

Facebook memang begitu digdaya menggurita kehidupan di internet. Asisten profesor Studi Informasi Universitas Southern California Amerika Serikat, Safiya Noble menjelaskan dalam bukunya Algorithms of Oppressions, bagi banyak orang Facebook merupakan pintu gerbang penting untuk masuk ke internet. 

"Nyatanya, orang tahunya internet adalah hanya Facebook dan Facebook memainkan peran sentral dalam berkomunikasi, melahirkan komunitas dan partisipasi dalam masyarakat daring," tulisnya dikutip dari Engadget. 

Sedangkan aktivitas dan penulis di Berlin, Jillian C. York menuliskan, menghapus Facebook mudah digaungkan tapi tak mudah dilaksanakan. Menghapus Facebook adalah sebuah hak khusus bagi masing-masing. 

York menggarisbawahi, bagi mereka yang penyandang disabilitas atau sakit tertentu, warga di perbatasan, anak muda, akan sangat kehilangan koneksi atau keterhubungan saat Facebook tidak ada lagi. 

Dari titik ini, memang Facebook menyandang raja media sosial. Begitu digdaya. Platform ini memang sedang dicaci tapi punya kuasa terhadap pengguna. 

Asisten profesor dan Direktur Pascasarjana Departemen Komunikasi Universitas Buffalo Amerika Serikat, Melanie C. Green mengakui, Facebook telah meningkatkan kesejahteraan pengguna, setidaknya bisa terhubung dengan teman dan orang terdekatnya. Menurutnya, orang menggunakan media sosial untuk secara aktif mengelola hubungan dan menciptakan keterhubungan. 

"Tantangan dalam meninggalkan Facebook adalah masalah aksi kolektif. Banyak orang mungkin ingin meninggalkan Facebook tapi karena tidak jelas platform alternatifnya, akan sudah bagi mereka untuk menjalin koneksi," jelasnya kepada Engadget.

Senada, analis eMarketer, Debra Williamson menjelaskan, terlalu dini turunnya kepercayaan pada Facebook akan membuat pengguna ramai-rama meninggalkan Facebook. Menurut Williamson, secara psikologi lebih susah untuk melepaskan platform seperti Facebook, sebab platform semacam in telah mewujud dan berurat akar dalam kehidupan manusia saat ini. 

Menghapus akun Facebook bukan lantas menyelesaikan masalah. Pengguna tetap tak akan  lepas dari mata-mata pengambilan data, meski memutus akses media sosial. Pakar data pribadi dari Privacy International, Frederike Kaltheuner mengatakan, pengguna bisa saja lepas dan menghapus akun Facebook tapi pengguna masih bisa dilacak secara daring maupun kehidupan offline. 

"Ponsel secara definisi adalah perangkat pelacakan," tuturnya. 

Susah Putus

***

Soal susahnya putus hubungan dengan Facebook diamini oleh Digital Detoxer, Tanya Goodin. Dia mengatakan, Facebook dirancang menjadi begitu melekat bagi penggunanya. 

Goodin menjelaskan, saat mendapatkan like atau komentar di Facebook, pengguna akan mendapatkan semacam dopamine, bahan kimia yang membuat manusia senang. Efek dopamine yang ditimbulkan di Facebook sama seperti kesenangan saat berhubungan seks, judi, atau usai mengonsumsi ganja. 

Efek dopanime inilah, kata Goodin, yang membuat pengguna makin lengket dengan terus menerus memakai media sosial mereka. 

Menurut Goodin, sama halnya dengan berjudi, bermain Facebook bakal mengubah pengguna punya kepribadian adiktif terhadap media sosial. 

Namun tak semua pengguna Facebook merasa tergantung dengan platform ini. Beberapa pengguna hanya senang mendapatkan feedback di media sosialnya. 

Karena hal itu, Goodin mengatakan seharusnya pengguna Facebook juga tidak perlu memaksakan untuk langsung memutuskan hubungan dengan media sosial itu.

"Software itu didesain secara spesifik untuk membuat kita selalu kembali, kita tidak harus mengalahkan diri kita sendiri tentang fakta terlalu sulit untuk tidak menggunakannya," tuturnya.

Hampir mirip, penulis buku The Happy Brain, Dean Burnett menunjukkan makna penting interaksi sosial pada otak manusia. 

Interaksi sosial berperan dalam evolusi otak. Dalam berbagai studi, menurutnya, buktinya bisa dilacak pada jaringan saraf yang mengatur interaksi sosial. Jadi saat pengguna berinteraksi sosial di Facebook maka akan mengarah pada jalur penghargaan mesolimbik. Ini merupakan bagian otak yang menyebabkan manusia mengalami kesenangan. Makanya tak heran, manusia pada umumnya menyukai interaksi sosial.

Indonesia Harus Apa?

***

Keriuhan Skandal Facebook soal bocornya data pengguna tidak akan begitu berdampak di Indonesia. Kampanye #DeleteFacebook tidak akan banyak didengar maupun dijalankan oleh pengguna tanah air. 

Pegiat internet Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), Damar Juniarto meyakini karakter masyarakat Indonesia yang cenderung permisif dan menyukai buka-bukaan, membuat isu perlindungan data belum begitu dianggap penting. Bahkan Damar menduga, pengguna Facebook di Indonesia enggak memahami konsekuensi dari terbongkarnya skandal Facebook tersebut.

"Mungkin enggak tahu sekian banyak yang diambil (datanya). Tapi setelah tahu pun saya rasa, masyarakat Indonesia enggak terlalu peduli. Karena enggak pernah dianggap penting data-data pribadi itu," jelas Damar kepada VIVA. 

Sikap acuh pengguna Facebook terhadap data pribadi itu, menurut Damar, terkait dengan perilaku dan penghargaan pengguna atas privasi. Tantangan besar di Indonesia dalam hal data pribadi saat ini menurutnya adalah menyadarkan ke publik tentang pentingnya privasi. 

"Privasi bukan sesuatu yang lazim dikenal masyarakat kita yang paling kepo lah satu sama lain," ujarnya. 

Mengingat tren ke depan jual beli data demi kepentingan ekonomi akan makin lazim, untuk itu masyarakat harus dididik tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Bahkan, menurutnya, jangan kaget saat perusahaan teknologi informasi mendapatkan informasi rahasia pengguna sekali pun. 

Menurutnya, hikmah yang bisa diambil dari skandal Facebook menurutnya menjadi alarm sekaligus menjadikan momentum penting hadirnya aturan perlindungan data pribadi di Indonesia. Selanjutnya, masyarakat harus sadar datanya bisa dipakai pihak tertentu untuk kepentingan bermacam-macam. 

Damar berpandangan, terhadap skandal #DeleteFacebook yang menjadi perhatian dunia itu, pemerintah Indonesia bagusnya memanggil Facebook dan meminta media sosial raksasa itu menghormati privasi warga Indonesia, melalui perjanjian tertulis. 

"Singapura sudah melakukan itu kok kemarin, memastikan datanya tidak dipakai untuk kepentingan politik," ujarnya. (ren)