Teror Air Mineral Mikroplastik, Perlukah Khawatir

Ilustrasi Botol Minuman
Sumber :
  • Pixabay/ Hans

VIVA – Minum air menjadi hal yang paling esensial bagi manusia. Air mineral juga menjadi konsumsi rutin yang dianjurkan oleh pakar-pakar kesehatan. Namun apa jadinya jika air mineral yang dianggap sehat justru telah tercemar?

Sebuah penelitian kesehatan baru-baru ini mengumumkan hasil riset yang cukup mengejutkan. Mereka menemukan sejumlah air minum dalam kemasan yang beredar luas di pasar ternyata mengandung mikroplastik. 

Temuan ini didapatkan setelah State University of New York mengerjakan riset global yang didukung Orb Media Network, organisasi media nirlaba di Amerika Serikat. 

Penelitian yang dikepalai Sherri Mason, profesor kimia dari State University of New York tersebut menguji 259 botol air minum dari 11 merek yang dijual di sembilan negara dan Indonesia salah satunya. Penelitian ini mengungkap bahwa 93 persen air botolan yang menjadi contoh ternyata mengandung mikroplastik. 

Bahkan, merek Evian dan San Pellegrino yang masuk merek internasional tak luput dari temuan partikel plastik tersebut.

Di Indonesia, Mason mengambil sampel air minum kemasan botol merek terkenal yang memiliki pasar luas di Indonesia. Peneliti antara lain membeli 30 botol air di Jakarta, Medan, dan Bali.

Hasil riset menunjukkan, kandungan mikroplastik berkisar 0-4.713 partikel per liter. Kebanyakan berukuran 6,5-100 mikrometer, atau hampir setara dengan ukuran sel darah merah.

Metode pengujian pada 11 sampel air mineral dari berbagai negara tersebut dipilih atas dasar besarnya populasi atau konsumsi air kemasan yang relatif tinggi. 

Merek-merek itu mencakup merek taraf internasional, di antaranya Aquafina (Produk PepsiCo), Dasani (Produk Coca-Cola), Evian (Produk Danone), Nestle Pure Life (Produk Nestle), dan San Pellegrino.

Sedangkan merek yang bertaraf nasional di antaranya, Aqua (Produk Danone - Indonesia), Bisleri (Produk Bisleri Internasional - India), Epura (Produk PepsiCo - Meksiko), Gerolsteiner (Produk Gerolsteiner Brunnen - Jerman), Minalba (Produk Grupo Edson Queiroz - Brasil), dan Wahaha (Produk Hangzhou Wahaha Group - China).

Pengujian dilakukan dengan menggunakan bahan pewarna bernama Nile Red yang dimasukkan ke setiap botol, sebuah teknik yang dikembangkan baru-baru ini oleh sejumlah ilmuwan Inggris untuk melacak keberadaan plastik di air laut.

Kajian sebelumnya menemukan bahwa bahan pewarna itu melekat pada partikel plastik dan membuatnya menjadi berpendar di bawah sorotan cahaya tertentu.

Profesor Mason dan beberapa peneliti  kemudian menyaring sampel partikel plastik dan menghitung setiap kepingan berukuran di atas 100 mikron, kira-kira setara dengan diameter sehelai rambut manusia.

Beberapa partikel tersebut cukup besar untuk diambil dan dianalisa menggunakan alat inframerah. Hasilnya, partikel-partikel itu teridentifikasi sebagai plastik.

Sebagian besar partikel lainnya yang berukuran di bawah 100 mikron dihitung menggunakan teknik dalam ilmu astronomi.

Setelah melakoni tes, Mason hanya menemukan 17 dari 259 botol air kemasan yang tidak mengandung partikel plastik.

Adapun jumlah partikel plastik di botol-botol air kemasan cukup beragam. Aqua Danone dari Indonesia, misalnya, memiliki 4.713 partikel plastik per liter. Kemudian, Nestle Pure Life mengandung 10.390 partikel plastik per liter. Evian memuat 256 partikel plastik per liter, dan San Pellegrino mempunyai 74 partikel plastik per liter.

Mikroplastik ada di mana-mana

Bagi banyak orang, mendengar mikroplastik tentu menyeramkan. Bagaimana sebuah partikel plastik yang tak kasat mata bisa menyusup dalam berliter-liter air mineral 'bening' yang kita minum setiap hari.

Padahal, mikroplastik bisa kita temui di mana saja bahkan pada pakaian dan kosmetik yang kita kenakan sehari-hari.

Dilansir National Ocean Service, mikroplastik adalah plastik dengan ukuran mikroskopis atau ukuran yang tidak bisa terlihat dengan mata telanjang. 

Partikel serat plastik yang bersifat mikroskopis ini sebagian besar berukuran tak lebih dari 5 milimeter. Ada juga yang menyebut ukurannya di bawah 1 milimeter. Itu artinya ukurannya bisa lebih kecil ketimbang kutu rambut  atau plankton.

Berdasarkan sumbernya, mikroplastik dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni primer dan sekunder. 

Kelompok primer itu berarti mikroplastik memang dibuat dalam ukuran kecil, biasanya dipakai dalam kosmetik atau pakaian dan sepatu yang kita kenakan, yang sering disebut microbeads.

Sedangkan kelompok sekunder adalah plastik yang ukurannya mengecil karena faktor alami seperti gelombang laut, panas ultraviolet, dan bakteri. Misalnya tas kresek di laut yang ukurannya mengecil karena pengaruh alam. 

Mencemari sejak revolusi industri

Pada akhir 2016, WHO pernah membuat penelitian yang menyebutkan mikroplastik sudah mencemari bumi sejak revolusi industri, terutama pada biota laut.

Disebutkan bahwa mikroplastik mencemari plankton dan zooplankton, yang dikonsumsi biota laut sehingga merusak rantai makanan.

Pada 2017, Orb Media pun pernah melakukan penelitian terhadap kualitas air keran di dunia. Ditemukan bahwa hampir semua air keran dunia terkontaminasi serat mikroplastik. 

Dari studi tersebut 83 persen sampel air keran yang dikumpulkan dari lebih belasan negara di lima benua, positif mengandung mikroplastik. Lokasi yang diuji mulai dari Eropa, Beirut sampai Jakarta, menunjukkan plastik ditemukan di lebih dari 70 persen sampel air keran.

Dikutip dari Time, untuk sampel di Amerika Serikat, periset menemukan 94 persen dari semua sampel air, termasuk air keran dari tempat-tempat seperti Menara Trump dan kantor pusat Environmental Protection Agency, terkontaminasi oleh plastik. 

Fragmen mikroskopik ini memasuki sistem air dengan berbagai cara, seperti misal dari pakaian serat sintetis, sampah ban, serta potongan plastik berukuran lebih besar yang tidak dapat terurai secara hayati.

Tercatat setiap tahunnya sekitar 300 juta ton plastik diproduksi. Memburuknya masalah kontaminasi ini terlihat dengan semakin banyaknya sampah-sampah plastik mengapung di tengah lautan dan sungai yang bahkan memiliki aliran deras. 

Belum ada penelitian dampak pada manusia

Pencemaran mikroplastik sudah mencapai taraf mengkhawatirkan, namun berdasarkan data belum ada yang menyebutkan dampak membahayakan mikroplastik pada manusia.

Profesor Mason menyebut bahwa tidak ada bukti mencerna plastik dalam wujud sangat kecil (mikroplastik) dapat menimbulkan penyakit pada tubuh. Namun, memahami potensi dampaknya adalah bidang yang dikaji dalam sains.

"Yang kita tahu adalah beberapa dari partikel ini cukup besar sehingga, ketika dicerna, partikel itu mungkin dikeluarkan dari dalam tubuh. Tapi sepanjang perjalanan di dalam tubuh mereka bisa melepaskan zat kimia yang menyebabkan dampak bagi kesehatan manusia," papar Prof Mason.

"Sebagian partikel ini luar biasa kecil sehingga mereka bisa masuk usus di perut, menyusurinya, dan dibawa ke seluruh tubuh. Kami tidak tahu implikasinya atau apa artinya bagi berbagai organ tubuh kita," lanjutnya.

Mendalami hal itu, VIVA mencoba mengonfirmasi soal bahaya mikroplastik pada beberapa ahli. Salah satunya Kepala Laboratorium Polimer dan Membran Institut Teknologi Bandung, Ir.Akhmad Zainal Abidin, M.Sc, Ph.D. Ia mengatakan bahwa mikroplastik tidak memiliki dampak berbahaya bagi tubuh.

"Kalau di dampak bagi kesehatan, kalau dari kita orang ahli plastik, plastik itu barang yang tidak bereaksi dengan yang lain," ungkap Zainal.

Sebab itu, dia menyebut bahwa sejauh ini penggunaan plastik sebagai wadah minuman cukup aman untuk digunakan. Lebih lanjut dia memaparkan, hal itu karena plastik sendiri tidak larut dan tercampur ke dalam tubuh. 

"Jadi walaupun plastik kecil itu kemakan itu akan keluar lagi. (Jadi) Enggak ada masalah, itu akan ke luar lagi bersama feses atau kotoran," kata dia. 

Jika memang plastik tersebut biodegradeble, hal itu juga tidak perlu begitu dikhawatirkan. Menurut Zainal sekali pun itu dicerna, juga akan keluar bersama dengan kotoran.

"Saya kira itu yang saya amati karena dari sisi prosedur dan pengujian di seluruh dunia belum ada saintifik metodenya," kata dia.

Memicu Kanker

Lain lagi yang diungkap Zainal, pakar Toksikologi, Dr.rer.nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si. berkata lain. Dalam wawancara tvOne Jumat 16 Maret 2018 ia menyebut bahwa mikroplastik justru sangat berbahaya bagi tubuh manusia jika mengendap lama.

"Hingga kini memang belum ada penelitian yang fokus mendalami masalah toksisitas dan efek nanoplastik pada manusia. Namun, kasus yang banyak diketahui sejauh ini nanoplastik hanya mencemari biota laut seperti plankton dan zooplankton, sehingga menimbulkan kelainan biologis hewan laut," ujarnya.

Namun, secara teori kedokteran ia mengatakan bahwa nanoplastik yang masuk ke tubuh memang berbahaya meskipun belum ada penelitiannya.

"Yang dikhawatirkan adalah jika mikroplastik akan terdeposisi atau menempel pada jaringan lemak atau kelenjar limpa dan mengendap sehingga berdampak pada penyakit hormonal bahkan kanker. Jika sudah mengendap di jaringan lemak akan sulit sekali dilepaskan," ujarnya.

Standar air minum di Indonesia

Terlepas dari bahaya mikroplastik, penting mencermati bagaimana partikel mikro itu bisa menyusup dalam air minum yang diproduksi dengan pengawasan ketat dan terstandar.

Menanggapi soal penelitian mikroplastik, WHO menduga bahwa air mineral tercemar melalui tutup botol.

Jenis partikel plastik yang paling banyak ditemukan adalah polipropilena, yaitu jenis plastik yang digunakan untuk membuat tutup botol yang juga dibeli di AS, China, Brasil, India, Indonesia, Meksiko, Lebanon, Kenya dan Thailand.

Mikrofiber plastik mudah diterbangkan ke udara, itu terjadi tidak hanya di luar tapi di dalam pabrik.

Di Indonesia, peredaran makanan dan minuman diawasi oleh Badan Pengawasan Obat Makanan (BPOM). Dalam praktikknya, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI no 97/Menkes/SK/VII/2002, yang dimaksud dengan air minum adalah air yang melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat dan langsung diminum. 

"Kualitas air minum dalam kemasan itu harus memenuhi syarat mikrobiologi, klinis, dan syarat fisik," kata Kepala BPOM Penny Lukito kepada VIVA di Jakarta.

Lebih lanjut ia menyebut syarat fisik bisa dilihat dari penampilannya, lalu syarat mikrobiologi terkait adanya bakteri merugikan seperti E.coli, sedangkan syarat kimia terkait zat yang ada dalam air.

Penny menambahkan jika ketiga syarat tersebut tak dipenuhi, maka air minum dalam kemasan tak bisa dikatakan memenuhi kualitas.

Penelitian air mineral mikroplastik belum sahih?

Meski mengambil banyak sampel dari berbagai dunia dan dengan metode yang cukup akurat, Penny menyebut bahwa penelitian tersebut belum sahih (sah) karena masih baru dan membutuhkan uji coba lebih lanjut. 

Di lain sisi ia memastikan bahwa kandungan air mineral yang beredar di pasaran dengan logo BPOM masih aman dikonsumsi.

"Jangan panik dulu, karena penelitian ini harus diuji lebih jauh, terutama soal efek toksisitasnya dan dosis berbahayanya untuk masyarakat," ujarnya.

Menurutnya soal mikroplastik ini masih baru dan belum diatur kadarnya oleh WHO, karenanya belum bisa dijadikan standar uji oleh BPOM.

"Pengujian efek toksisitas pada manusia belum ada, makanya belum jadi standar. Selama ini pengujian BPOM mengacu pada standar SNI, WHO, Codex. Dan belum ada standarnya  bagi manusia."

Cara BPOM atasi mikroplastik di air kemasan

Menanggapi air mikroplastik Menkes RI, Nila Moeloek justru memercayai sepenuhnya pada BPOM, menurutnya BPOM sudah menjalankan semua sesuai prosedur.

"Itu sudah tugas Badan POM RI, lebih lanjut bisa diteliti di litbangkes," ujarnya kepada VIVA di Jakarta.

Penny juga memastikan bahwa mikroplastik masih terus berada di bawah pengawasan BPOM. 

"Lembaga Internasional seperti EFSA (European Food Safety Authority), US-Environmental Protection Agency/US-EPA saat ini sedang mengembangkan pengkajian termasuk metode analisis untuk melakukan penelitian toksikologi terhadap kesehatan manusia. Belum ada studi ilmiah yang membuktikan bahaya mikroplastik bagi tubuh manusia," ujar Penny.

Lembaga lainnya juga setuju terkait belum adanya bukti dampak bahaya mikroplastik pada tubuh manusia. Batasan terkait asupan mikroplastik juga belum diterangkan lebih rinci.

"The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) selaku lembaga pengkaji risiko untuk keamanan pangan di bawah FAO-WHO belum mengevaluasi toksisitas plastik dan komponennya."

Oleh karena itu, belum ditetapkan batas aman untuk mikroplastik. Dan Codex, sebagai badan standar pangan dunia di bawah FAO-WHO belum mengatur ketentuan tentang mikroplastik pada pangan.

"BPOM RI akan terus memantau isu mikroplastik dan berkoordinasi dengan lintas keahlian, akademisi, kementerian dan lembaga terkait serta asosiasi baik ditingkat nasional maupun internasional," ujarnya. 

Di lain sisi, BPOM juga terus melakukan pengawasan pre-market dan post-market terhadap keamanan, mutu, dan gizi produk pangan sesuai dengan standar yang berlaku. (one)