Larangan Dengar Musik di Mobil, Aturan Prematur?
- VIVA.co.id/Jeffry Sudibyo
VIVA – Para pengemudi punya kebiasaan jamak di dalam mobil, yakni mendengarkan musik atau radio. Aktivitas ini dianggap ampuh jadi hiburan dan membunuh kejenuhan kala berkendara. Apalagi ketika terjebak macet atau pun sedang menempuh perjalanan panjang.
Sementara fitur hiburan memang sudah disiapkan produsen otomotif, dan seakan jadi fitur standar pada mobil-mobil saat ini. Tentu sudah sepatutnya untuk dipergunakan.
Tapi alih-alih sebagai fitur pemanja pengendara dan penumpang di dalam kabin selama perjalanan, ternyata perangkat hiburan pada mobil justru dianggap berisiko menimbulkan kecelakaan saat berkendara.
Menurut Kepolisian Republik Indonesia melalui Ditlantas Polda Metro Jaya, mendengarkan musik atau radio dapat menghilangkan konsentrasi berkendara dan meningkatkan risiko petaka di jalan. Maka itu polisi dalam waktu dekat akan menerapkan disiplin ini dengan cara melakukan penindakan berupa tilang bagi pengendara yang kedapatan mendengarkan musik atau radio di dalam mobil.
"Penjelasan penuh konsentrasi adalah penuh perhatian, dalam arti tidak boleh melakukan kegiatan dipengaruhi oleh perilaku yang dapat menurunkan tingkat konsentrasi," kata Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto kepada VIVA, Jumat 2 Maret 2018.
Sistem hiburan pada mobil. Foto: Capture Youtube
Aturan ini, menurut polisi, sebenarnya sudah tertuang pada Pasal 106 ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Pasal menyebut tiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Sementara mendengar musik atau radio, dianggap masuk dalam unsur-unsur tersebut, selain dari menggunakan telepon genggam, mengonsumsi alkohol, dan narkotika. Sanksinya seperti diatur Pasal 283 UU LLAJ, dapat dipidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp750 ribu.
Rencananya polisi masih akan terus melakukan sosialisasi. Baru setelah itu tindakan berupa tilang akan diterapkan.
***
Polisi Dianggap Mengada-ada
Usai aturan ini mengemuka ke publik, ada sebagian pihak menyatakan keberatan. Polisi dinilai mengada-ada jika benar mulai menerapkannya. Payung hukum berupa Pasal 106 ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, dianggap tak mencantumkan musik sebagai salah satu larangan tegas dalam mengemudi.
Salah satu penolakan serta protes datang dari Komunitas Konsumen Indonesia (KKI). Ketua KKI, David Tobing, bahkan meminta agar pihak Kepolisian mengklarifikasi pernyataan tersebut.
"Karena tidak ada satu pun kata atau frasa dalam pasal tersebut yang secara tegas melarang seseorang untuk mendengarkan musik ketika berkendara. Dalam pasal tersebut yang jelas-jelas dilarang adalah menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum-minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan," ujar David.
Polisi melakukan tindakan pelanggar lalu lintas. Ilustrasi. Foto: Dok VIVA
Pernyataan polisi yang mendasari larangan mendengarkan musik hanya berdasarkan survei juga disayangkan. Karena tidak disebutkan penggunaan metode survei, jangka waktu survei, wilayah survei dan melibatkan berapa banyak responden.
Polisi justru diimbau untuk melakukan proses pembuatan aturan dengan resmi melalui mekanisme yang benar. "Kalau mendengarkan musik dilarang, harus jelas dasar berpijaknya. Belum ada penelitian ilmiah yang menjustifikasi bahwa mendengarkan musik secara normal mengakibatkan pengemudi kehilangan konsentrasi," tuturnya.
Pendapat lain juga datang dari PT Suzuki Indomobil Sales sebagai agen pemegang merek Suzuki di Indonesia. Direktur Pemasaran SIS divisi roda empat, Donny Saputra, mengatakan, pihak kepolisian perlu melakukan studi empiris (melibatkan banyak sampel), terkait bagaimana musik memengaruhi konsentrasi pengemudi. Sehingga, hal ini bisa dimengerti masyarakat.
"Menurut saya, mungkin musik yang disetel keras-keras banget, sehingga ia (pengemudi) tidak aware terhadap bunyi klakson atau tanda peringatan lain," kata Donny kepada VIVA di Jakarta, Jumat 2 Maret 2018.
Dari studi tersebut, nantinya kepolisian harus menyampaikan penjelasan yang lengkap kepada masyarakat. Agar, aturan ini tak menjadi multiintepretasi atau kesalahpahaman oleh masyarakat dan tidak dianggap sebagai aturan prematur. "Bagaimana supaya ini bisa digeneralisasi, perlu penjelasan yang lebih lugas dengan kondisi dan cara yang ada," ujarnya.
***
Benarkah Ganggu Konsentrasi
Aturan baru yang digelontorkan Kepolisian juga memantik pakar keselamatan berkendara untuk berbicara. Polisi dianggap perlu menjelaskan secara rinci apa-apa saja yang dapat mengganggu konsentrasi berkendara.
Ini penting agar masyarakat benar-benar mengetahuinya dan tidak menafsirkan sendiri kebijakan baru Kepolisian.
Menurut Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu, sesuatu yang dianggap mengganggu konsentrasi tentunya dianggap berbahaya, karena bisa membahayakan dirinya dan orang lain. Orang tersebut akan bersinggungan dengan hukum yang sudah tertuang dalam undang-undang tersebut.
Kegiatan yang mengganggu konsentrasi saat mengemudi, kata Jusri, sebenarnya beragam. Ada yang bisa dilihat langsung oleh orang lain, termasuk oleh petugas kepolisian di jalan raya. Ada juga yang tidak bisa dilihat secara langsung.
"Yang mengganggu konsentrasi bukan hanya terlihat secara langsung, seperti mengemudi sambil menggunakan handphone. Pengemudi mendengar lagu kemudian terpengaruh konsentrasinya, juga bisa," kata dia kepada VIVA.
Ilustrasi mengemudi. Foto: Dok Daihatsu
Jusri mengatakan, ada beberapa indikasi bahwa pengemudi yang mendengarkan musik terganggu konsentrasinya. Hal ini bisa diketahui saat pengemudi tersebut bersenandung mengikuti lagu, bagian tubuh ikut bergerak mengikuti irama musik hingga mendengarkan musik dalam volume cukup keras.
"Harus dijelaskan secara rinci, yang mengganggu konsentrasi itu yang bagaimana. Harus dideskripsikan, misalnya pengemudi ikut nyanyi, kemudian dari gestur, volume musik atau ketika peralatan musik yang dipakai harganya luar biasa, jelas ini mengganggu konsentrasi," katanya.
Terpisah, Executive General Manager PT Toyota Astra Motor (TAM), Fransiscus Soerjopranoto menegaskan, pihaknya tetap mendukung kebijakan tersebut. "Toyota harus manut aturan itu. Mungkin ada riset dari pemerintah, bahwa musik mengganggu atau volume atau mungkin pengemudi sibuk mengganti-ganti (saluran siaran)," ujarnya.
Ia tak menjelaskan apakah aturan itu akan mengganggu pengembangan produk dalam hal fitur hiburan yang lebih modern nantinya. "Kelihatannya pemerintah memang memihak sisi keamanan. Logikanya, kan suara peringatan dari tetangga bisa enggak terdengar kan? Kami ikut aturan pemerintah," katanya.