Bisakah Liburan Tanpa Macet?
- ANTARA Foto/Yulius Satria Wijaya
VIVA – Seperti sudah jadi rumus alam, jika liburan pastilah macet. Aroma asap, kendaraan yang berjejal, suara klakson yang memekakkan telinga, sampai keletihan yang merayap di punggung pun menjadi sebuah perjuangan yang harus dilalui.
Namun entah mengapa ini seperti sudah menjadi sebuah pemandangan lumrah. Kalau pun ada yang protes mengenai kemacetan, tak akan berlangsung lama.
Menikmati macet pun akhirnya menjadi pilihan bonus sebelum menikmati liburan melegakan. Suka tidak suka, berjam-jam waktu pun terbuang percuma di tengah jejalan kendaraan.
"Super parah. Enam jam hanya menempuh 30 kilometer," tulis seorang pengendara di jejaring sosialnya, sembari menautkan foto kendaraannya yang sedang berjuang menuju Kota Bandung, Kamis, 15 Februari 2018.
Di jejaring sosial, mencari foto atau video mengenai kemacetan saat libur begitu mudah. Bisa jadi mungkin, cuma lewat medium itulah, mereka yang terkurung macet bisa nyinyir.
Mau mundur sudah tak mungkin, maju melanjutkan perjalanan sudah kadung terjebak. Namun demikian, di balik itu, tidak ada yang begitu menyesalkan atau sampai menuntut pemerintah karena macet.
Meski nyinyir soal macet, namun demikian faktanya para 'penikmat macet', kalau boleh disebutkan, tetap 'menikmati' setiap jengkal macet di perjalanan.
"Dari lagu barat lagu jepang lagu korea dangdut ampe pantura diputer masi aja macet," tulis pengguna media sosial lainnya. Bersama cuitan status Twitter itu, ia menyematkan ikon tertawa.
***
Penyakit Akut
Tahun 2015, Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat jumlah kendaraan di Ibu Kota sudah lebih banyak dari jumlah penduduk.
Laporan BPS, kendaraan roda dua sebanyak 13,9 juta lalu roda empat 3,5 juta sehingga ditotal ada 17,4 juta kendaraan. Sementara jumlah penduduk hanya 10,1 juta orang.
Banyaknya jumlah kendaraan ini juga yang menjadi penyumbang kemacetan di sejumlah ruas jalan ketika musim libur tiba.
Libur hari raya Imlek, Jumat, 16 Februari 2018, misalnya. Pengelola jalan tol Jasa Marga memperkirakan akan ada 78 ribu kendaraan keluar dari Jakarta menuju Bogor, Bandung dan lainnya.
Karena itu, mengingat akan ada 'serbuan' kendaraan asal Jakarta itu, maka seluruh kendaraan yang bersumbu tiga atau lebih diharuskan menggunakan jalur arteri atau non-tol.
Tak cuma itu, agar menghindari kendaraan ini tersendat, di Tol Cikopo-Palimanan bahkan seluruh gardu tolnya akan difungsikan yang berjumlah 26 unit.
Lalu bagaimana realitanya? Jawabnya, macet tetap tak tertolong. Tol Jakarta-Cikampek misalnya, setidaknya sepanjang 37 kilometer jalan kendaraan terpaksa merangkak.
"Kendaraan hanya bisa melaju dengan kecepatan 20 kilometer per jam," kata seorang petugas Jasa Marga saat dihubungi.
Jakarta-Bandung yang biasanya cukup ditempuh tiga jam pun berubah menjadi tujuh jam atau naik dua kali lipat. Serupa dengan Bogor, merayap pun menjadi pilihan.
Di Bandung, kota yang selalu menjadi serbuan pencari liburan, ikut mengalami nasib sama buruknya. Nyaris seluruh jalanan kota pun dijejali kendaraan pendatang.
Ya, macet dan liburan bak kopi dan gula. Tak ada macet, tak manisl ah liburan. Semua melebur menjadi sebuah sajian 'membosankan' sekaligus sebuah penyakit akut yang tak kunjung sembuh.
***
Kapan?
Masalah kemacetan memang di mana-mana. Selain buruknya perilaku pengendara, dan momentum masalah ini juga ditengarai oleh buruknya sarana dan prasarana lalu lintas.
Pemerintah dalam proyek strategis nasional sudah menggagas penambahan ruas jalan di Indonesia. Untuk tol misalnya, dalam pernyataannya Jokowi ingin ada 1.854,5 kilometer jalan tol terbangun di era kepemimpinannya.
Karena itu, Tol Trans Jawa yang telah dirancang sejak 20 tahun silam kembali dikebut dan ditarget tuntas sampai pada 2019 dengan total panjang 649 kilometer.
Begitu pun di Sumatera. Setidaknya akan ada 645 kilometer jalan tol Trans Sumatera akan bisa beroperasi sampai tahun 2019.
Apa pun itu, macet wajib menjadi perhatian serius. Ia telah membuat kerugian jauh lebih banyak. Bagaimana tidak, khusus wilayah Jabodetabek saja, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah mengkalkulasi senilai Rp100 triliun.
Angka ini, sama dengan tiga kali lipat sebuah proyek kereta api massal, Light Rail Transit, yang hanya membutuhkan duit Rp31 triliun. Atas itu, tak ada alasan lagi sesungguhnya untuk tidak memprioritaskan penanganan masalah ini.
Mendiamkan hal ini, sama dengan menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Jadi, kapan liburan bisa tanpa macet? (one)